Rabu, 16 Oktober 2013

Jokowi-Ahoki dan Komitmennya

Tanggal 15 Oktober 2012, Joko Widodo (Jokowi) resmi dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Fauzi Bowo, sementara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dilantik sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta menggantikan Prijanto.
Pada masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI, Jokowi bersama Ahok menjanjikan berbagai program, mulai dari pendidikan dan kesehatan gratis untuk masyarakat, penanganan masalah banjir dan macet, hingga penataan kawasan kumuh dan pedagang kaki lima (PKL).
Selama satu tahun masa pemerintahannya, program-program tersebut sudah mulai dilaksanakan, yakni kesehatan gratis yang diwujudkan melalui Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan pendidikan gratis dengan Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Bukan hanya itu, penataan kawasan kumuh juga telah direalisasikan melalui pembangunan rumah susun (rusun) dan penataan kampung, sementara penataan PKL dilakukan dengan revitalisasi pasar, misalnya Pasar Blok G Tanah Abang dan penyelenggaraan berbagai kegiatan yang melibatkan PKL, diantaranya Pasar Malam Kaki Lima yang diadakan setiap Sabtu malam di sepanjang Jalan Medan Merdeka Selatan.
Untuk solusi dari dua permasalahan utama di Ibu kota, yaitu banjir dan macet, Jokowi dan Ahok juga telah mengambil sejumlah langkah. Masalah banjir akan diantisipasi melalui pengerukan waduk, normalisasi sungai, perluasan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai daerah resapan serta pembangunan sumur-sumur resapan.
Berbeda halnya dengan masalah macet yang akan ditangani dengan pembangunan sarana transportasi massal atau Mass Rapid Transit (MRT) yang pembangunan fisiknya sudah resmi dimulai pada Kamis (10/10/2013) lalu, kemudian akan disusul dengan pembangunan monorel serta dibarengi pula dengan peremajaan angkutan umum berupa penambahan armada-armada baru, baik bus Transjakarta maupun bus sedang (metromini atau kopaja).

Butuh pengawalan
Beberapa pengamat menilai program-program yang dicanangkan oleh Jokowi dan Ahok saat ini baik dan tepat sasaran. Maksudnya, menyasar langsung ke akar permasalahan yang ada di ibu kota.
Salah satu ahli tata kota di Indonesia Nirwono Joga memandang dalam satu tahun pemerintahan Jokowi-Ahok telah membawa semangat perubahan terhadap kota Jakarta dan hal ini turut menyenangkan masyarakat.
"Selama satu tahun, kita bisa lihat, Jokowi-Ahok bisa membawa semangat perubahan, semangat untuk berbenah demi menciptakan Jakarta yang baru. Masyarakat pun ikut dibuat senang dengan terpilihnya mereka berdua sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017," kata Nirwono, Selasa (15/10/2013).
Meskipun demikian, Nirwono mencatat lima hal penting yang perlu digarisbawahi selama satu tahun kepemimpinan Jokowi-Ahok. Pertama, belum ada perubahan signifikan dalam penanganan kemacetan.
"Macet belum berkurang. Penambahan unit-unit armada angkutan umum berupa bus Transjakarta dan bus sedang belum direalisasikan. Kemudian, pembangunan MRT juga baru saja dimulai, jadi dampaknya belum bisa kita rasakan sekarang. Lalu, kebijakan ganjil genap dan penerapan jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) yang belum ada kelanjutannya," ujar dia.
Kedua, Nirwono menilai langkah penanganan masalah banjir di ibukota yang masih kurang, misalnya rencana pengerukan seluruh waduk, yakni dari total 42 waduk yang ada di Jakarta, baru dua yang dilakukan pengerukan, yaitu Waduk Pluit dan Waduk Ria Rio. Kemudian, rencana normalisasi 13 sungai, revitalisasi 14 situ dan pembangunan sumur-sumur resapan yang belum terlaksana sepenuhnya.
"Ketiga, yaitu penataan kampung-kampung kumuh. Sebetulnya, realisasi rencana ini sudah bisa dilihat, namun kita masih harus menunggu untuk merasakan dampaknya secara keseluruhan, yakni Jakarta yang lebih rapi," tutur dia.
Terkait penataan kampung kumuh, Nirwono mengapresiasi langkah Jokowi-Ahok untuk mengajak para pengembang swasta menunaikan kewajibannya, yakni berpartisipasi dalam pembangunan kota Jakarta melalui tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) di masing-masing perusahaan, sehingga mengurangi penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.
"Selanjutnya, yang harus dicatat, perluasan dan pengembangan RTH (Ruang Terbuka Hijau) di Jakarta sampai dengan saat ini masih sedikit, yaitu dari target 30 persen, tapi baru direalisasikan 9,8 persen. Jelas ini masih sangat kurang dan harus lebih ditingkatkan lagi supaya bisa mencapai target," ungkap dia.
Kelima, Nirwono juga mengapresiasi gebrakan Jokowi-Ahok yang berhasil melakukan penertiban PKL di ibukota sehingga di beberapa wilayah, terutama di pasar-pasar tradisional, para pedagang tidak lagi berjualan di trotoar atau di badan jalan, seperti yang sudah dilakukan di Pasar Blok G Tanah Abang, Jakarta Pusat.
"Ada sekitar 20 pasar yang harus dibenahi di kota ini, dan baru satu yang sudah dibenahi. Untuk menyempurnakan program penertiban PKL, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI harus membuat peta sebaran pedagang sekaligus melakukan pendataan dengan akurat, sehingga mempermudah dalam melakukan relokasi pedagang," tambah dia.
Sementara itu, tak jauh berbeda dengan Nirwono, pengamat asal Universitas Trisakti Yayat Supriyatna juga turut mengapresiasi langkah dan kebijakan yang telah dilakukan Jokowi-Ahok hingga sejauh ini. Namun, Yayat lebih menekankan kepada pentingnya pengawalan terhadap seluruh program yang telah direncanakan.
"Program-program Jokowi-Ahok itu bagus. Tapi, realisasinya masih belum menyentuh akar permasalahan, misalnya pembangunan MRT yang hasilnya baru bisa kita rasakan enam tahun lagi, atau langkah penanganan banjir yang hasilnya juga belum bisa kita rasakan dalam waktu dekat. Semuanya memang butuh waktu. Oleh karena itu, harus ada pengawalan hingga semua program benar-benar terlaksana," kata dia.
Yayat menuturkan salah satu modal yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan adalah komitmen yang kuat. Dalam hal ini, lanjutnya, Jokowi-Ahok dituntut untuk membuktikan janji-janji membangun kota Jakarta hingga masa kepemimpinannya berakhir.
"Siapapun gubernurnya, sebenarnya sudah terikat dengan komitmen masa jabatannya, yaitu selama lima tahun. Sejauh ini, Jokowi-Ahok sudah membuktikan bahwa mereka dapat bekerja dengan baik. Pertanyaan besar sekarang adalah apakah mereka tergoda untuk mengambil kesempatan mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 mendatang atau lebih memilih untuk meneruskan pembangunan di ibu kota?" ujar dia.

Komitmen empat tahun mendatang
Semasa pemerintahan Jokowi-Ahok, tak jarang muncul berbagai survei yang memberikan gambaran mengenai peluang-peluang yang dimiliki oleh Jokowi dan Ahok sebagai calon pemimpin Indonesia selanjutnya, mengingat kinerjanya yang sejauh ini dinilai baik di mata umum.
Sebut saja survei terbaru yang dilakukan oleh Cyrus Network pada September 2013 lalu. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa Jokowi dan Ahok merupakan pasangan yang paling banyak dipilih masyarakat Indonesia sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 2014 mendatang, mengalahkan pasangan capres dan cawapres lainnya dalam survei itu, diantaranya Prabowo Subianto-Dahlan Iskan atau Aburizal Bakrie-Hatta Rajasa.
Menanggapi survei tersebut, Jokowi mengaku tidak pernah memiliki urusan dengan masalah pencalonan untuk 2014 mendatang.
"Saya nggak ngerti masalah survei-survei, capres dan semuanya itu. Saya nggak mikirin. Urusan saya itu PKL, kampung-kampung kumuh, rusun, transportasi, macet dan banjir. Udah cukup lah, itu aja urusan saya, fokus saja di situ. Saya nggak ngurusin capres ataupun survei itu," kata Jokowi pada suatu kesempatan wawancara.
Senada dengan Jokowi, Ahok juga mengaku tidak pernah mempedulikan hasil survei yang menyebut dirinya pantas mendampingi Jokowi sebagai cawapres pada Pemilu tahun depan.
"Jadi Wakil Gubernur DKI saja sudah bikin saya mabuk. Pusing lho saya dan pak gubernur mikirin Jakarta. Nggak lah, saya nggak ngurusin survei-survei. Lagipula, kalau dua-duanya (Jokowi-Ahok) meninggalkan Jakarta, gimana nanti kelanjutan pembangunannya?" kata Ahok.
Sementara itu, pengamat pemerintahan Mas`ud Said mengatakan berdasarkan penelitian, hanya tujuh persen kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, yang hubungannya berjalan rukun selama masa kepemimpinannya. Sedangkan, 93 persen lainnya melakukan pecah kongsi.
"Akan tetapi, untuk pasangan Jokowi-Ahok ini masih belum bisa dinilai, belum kelihatan, apakah akan terus kompak hingga akhir masa jabatan, atau malah akan pecah kongsi. Perlu diingat bahwa pecah kongsi dapat mengganggu jalannya pemerintahan serta pelayanan terhadap masyarakat," ungkap Mas'ud.
Bagi sebagian warga ibu kota, Jokowi dan Ahok merupakan pasangan yang ideal dalam memimpin Jakarta. Oleh karena itu, sejumlah warga berharap agar Jokowi dan Ahok menyelesaikan tugas-tugasnya hingga akhir masa jabatan.
"Sejauh ini, yang saya lihat kinerja Jokowi-Ahok itu baik. Jadi, sebaiknya Jokowi dan Ahok fokus dengan kewajibannya saat ini saja, yaitu membangun dan membenahi Jakarta. Nggak usah pikirin 2014 (Pemilu) lah. Toh, tugasnya juga masih banyak di sini (Jakarta)," kata Risma (27), warga Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Tak jauh berbeda dengan Risma, warga Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Abdul Aziz (35) juga berharap agar Jokowi dan Ahok tidak melepas jabatannya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI hingga akhir periode, yakni 2017.
"Jokowi-Ahok itu menurut saya memang pasangan pemimpin yang ideal. Tapi, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di Jakarta, yaitu macet, banjir, kawasan kumuh dan PKL. Kalau keburu maju ke Pemilu tahun depan, takutnya nanti program-programnya tidak ada yang berjalan dengan baik. Saya harap Jokowi dan Ahok tidak mudah tergiur untuk mengikuti pencalonan sebagai presiden atau wakil presiden sebelum masa jabatannya berakhir," pungkas Abdul.
Kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden memang menggoda, terlebih ketika popularitas tengah melejit, sehingga elektabilitas juga semakin tinggi. Namun, di sisi lain, ada komitmen yang harus tetap dipegang teguh, yaitu komitmen terhadap kota Jakarta beserta seluruh warganya untuk terus mengawal pelaksanaan program-program pembangunan hingga masa jabatan benar-benar berakhir.
Komitmen yang kuat itu diperlukan agar seluruh program pembangunan yang telah direncanakan dapat dibuktikan dengan hasil yang baik dan tepat sasaran, sehingga tidak berhenti di tengah jalan atau malah berujung menjadi sekedar wacana atau sekedar komitmen saja.

Sumber :
antaranews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar