Senin, 07 Juli 2014

Breaking News: Operasi Rahasia Kopassus dan BIN Untuk Mempengaruhi Hasil Pemilu

Kopassus dan Badan Intelijen Nasional (BIN) terlibat dalam operasi rahasia guna mempengaruhi pemilihan presiden.
Menurut laporan-laporan yang terdokumentasikan tentang pertemuan-pertemuan di markas Kopassus belakangan ini, operasi tersebut dirancang untuk menjamin kemenangan Jenderal Prabowo pada 9 Juli. Prabowo Subianto sempat lama menjadi orang binaan Pentagon dan intelijen AS.
Survey-survey menunjukkan, Prabowo kini bersaing ketat dengan lawannya yang sipil, gubernur Jakarta Joko “Jokowi” Widodo.
Prabowo dan Jokowi dijadwalkan berdebat di televisi untuk terakhir kalinya sebelum hari pencoblosan.
Pemilihan umum di negara kepulauan ini, dan di tengah diaspora global masyarakat indonesia, diperkirakan merupakan kedua yang paling besar di tahun ini. Nomor satu ditempati oleh pemilu India yang diselenggarakan Mei lalu.
Prabowo terlibat dalam kasus-kasus pembunuhan warga sipil dan penyiksaan. Meskipun kini memasang pose nasionalis tulen, karirnya di militer dihabiskan untuk bekerjasama dengan DIA (Badan Intelijen Pertahanan AS) dan pejabat-pejabat tingkat tinggi Amerika. Ia pun pernah membawa masuk Pasukan Khusus AS bersenjata lengkap ke wilayah Indonesia.
Prabowo telah menyerukan agar hak rakyat Indonesia untuk memilih dalam pemilihan langsung (direct vote) dicabut. Ia menjelaskan bahwa hal ini akan dilakukan setelah musyawarah dengan “elit-elit politik.”
Dalam dua obrolan off-the-record bersama saya, Prabowo mengatakan Indonesia “belum siap untuk demokrasi.” Ia katakan bahwa presiden waktu itu, Gus Dur, seorang ulama populer dari kalangan sipil, “bikin malu” Indonesia karena buta. Prabowo menyesalkan angkatan bersenjata yang tunduk pada Gus Dur dan bicara panjang lebar tentang masa depan politik dirinya. “Apa saya cukup punya nyali,” tanya Prabowo, “Apa saya punya nyali untuk disebut diktator fasis?”
Rangkaian laporan dan komentar saya tentang Jenderal Prabowo telah menjadi isu dalam pemilu kali ini.
[Tim] Kampanye Prabowo menuding saya “musuh bangsa” dan menghimbau agar militer menangkap saya. Angkatan bersenjata telah menyatakan bahwa saya telah “menjadi target operasional.” Kamis pekan ini Prabowo berpidato, memohon agar rakyat Indonesia mengabaikan laporan-laporan saya tentang dirinya hanya karena saya orang asing.
Laporan-laporan di bawah ini datang dari orang-orang yang terlibat dalam operasi BIN/Kopassus. Mereka berbicara kepada saya secara anonim.
Laporan mengenai rapat-rapat di markas Kopassus di Cijantung datang dari sumber-sumber yang hadir dalam rapat-rapat tersebut.
Panggilan telepon dari saya pada tanggal 4 Juli untuk meminta komentar Jenderal Prabowo tidak dijawab. Saya menelpon ke nomor telepon genggam yang pernah saya kontak saat menghubungi Prabowo sebelumnya.
—-
Markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur, adalah sebuah tempat yang terkenal di Indonesia.
Di tempat inilah para aktivis pro-demokrasi diculik oleh Kopassus (yang saat itu dimimpin Prabowo), disiksa, dan rupanya-rupanya dieksekusi pada tahun 1997-98. Ketika itu terjadi perlawanan besar-besaran terhadap mertua Jenderal Prabowo, yakni Suharto, seorang diktator yang dibekingi AS.
Tiga belas dari keseluruhan korban penculikan hingga kini masih hilang dan diduga telah meninggal. Salah satu pimpinan tim kampanye Prabowo, Jenderal Kivlan Zen, menyatakan bahwa dirnya mengetahui di mana mayat mereka dikuburkan.
Cijantung juga merupakan situs pelatihan Kopassus yang diselenggarakan AS. Ke tempat ini pula para pejabat AS sering berkunjung. Selama Prabowo masih menjabat, sejumlah nama jenderal, Panglima Pasifik (CINCPAC) dan Sekretaris Pertahanan, tertulis dalam buku tamu.
Pada suatu hari dalam pekan ini (sumber-sumber terlibat minta agar saya tidak menyebut tanggalnya), para agen senior Kopassus mengadakan rapat di Cijantung pada malam hari.
Topik pembicaraannya adalah operasi rahasia untuk menjadikan Prabowo Presiden.
Diantara hadirin adalah sejumlah veteran operasi-operasi rahasia di Aceh dan Papua Barat.
Sang komandan-pimpinan memulai rapat dengan mengatakan “Kamu nyantai aja, kita udah kerja, teman-teman udah kerja semua dan kita menang — Kopassus dan orangnya Prabowo, kita menang.”
Mereka menyebutnya “operasi khusus” yang dilakukan oleh “pasukan khusus ini.”
Kendati sifatnya luar biasa–mencurangi pemilu sipil untuk memenangkan salah satu kandidat–sang komandan menyebut operasi tersebut sebagai perpanjangan (extension) dari taktik lumrah “operasi a la Kopassus”.
Menurut seorang peserta rapat, operasi ini dimulai setelah pemilu legislatif April lalu, ketika Prabowo dan Jokowi keluar sebagai dua kandidat presiden.
Menurut aturan hukum Indonesia, angkatan bersenjata dan badan-badan intelijen harus mengambil sikap netral.
Anggota aktif TNI bahkan tidak punya hak untuk memilih.
Presiden Indonesia saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono, adalah seorang jenderal pensiunan. Susilo juga bekas atasan Prabowo.
Susilo secara teknis netral dalam pemilihan ini, walaupun baru-baru ini dia memberi sinyal bekingan ke Prabowo.
Menurut bahasan rapat tersebut dan rapat-rapat lainnya, dan menurut pihak-pihak yang terlibat, operasi rahasia ini akan melibatkan kecurangan di bilik suara (ballot tampering), aksi kekerasan jalanan, ancaman terhadap pendukung Jokowi, dan jika perlu “menghabisi orang.”
Operasi tersebut juga melibatkan tindakan-tindakan berskala lebih kecil, termasuk oleh pihak-pihak yang terpancing–dalam pandangan mereka–fakta bahwa artikel saya yang mengutip cercaan Prabowo terhadap Gus Dur telah menjadi isu di akar rumput.
Minggu lalu ketika saya mengeluarkan artikel tersebut, muncul spanduk-spanduk di jalanan yang menampilkan foto Gus Dur berjejer dengan kutipan Prabowo yang berbunyi:
“Militer pun bahkan tunduk pada presiden buta! Bayangkan! Coba lihat dia, bikin malu saja!”
Menurut seorang agen, “soal spanduk itu sangat ditakuti di dalam [pimpinan tim Kopassus/BIN], sangat merugikan.”
Akibatnya, orang-orang berkendaraan sepeda motor Kopasus diperintahan untuk melepas spanduk-spanduk tersebut.
Namun demikian, bahwa Prabowo melecehkan Gus Dur masih dibahas hingga kini.
Kamis kemarin, sesuai permintaan mereka, saya bertemu dengan keluarga Gus Dur di Jakarta. (lihat “Regarding the Late Gus Dur,” “Terkait Almarhum Gus Dur”).
—–
Operasi Kopassus/BIN untuk mencurangi bilik suara–setidaknya menurut yang diketahui sumber-sumber saya–tidak menyasar tabulasi suara di pusat, melainkan penghitungan suara pada TPS-TPS yang terletak di unit-unit kecil pemerintahan setempat, dari kabupaten ke bawah (local precincts).
Operasi ini akan melibatkan pendistribusian uang terselubung (covert money) yang kini tengah berlangsung, “uang itu tidak kelihatan, uang di pinggir jalan.”
Uang tersebut (sebagian besar dalam bentuk uang kontan) digunakan untuk “main dengan kertas suara”, dengan menempatkan agen di dalam ruang-ruang penghitungan suara atau membayar pegawai negeri yang akan mengawal kotak suara.
Upaya ini khususnya difokuskan di Jawa Tengah, Barat dan Timur, namun katanya akan berlangsung pula di sejumlah tempat di seluruh provinsi.
Menurut para peserta rapat, uang ini didistribusikan lewat Kopassus dan BIN, namun sumber utama dari dana ini masih rahasia, “sangat tertutup sumbernya dari mana”.
Menurut pihak-pihak yang terlibat, operasi rahasia ini dijalankan oleh para komandan senior. Untuk Kopassus sendiri, mereka sebetulnya belum yakin akan peranan komandan Kopassus, Jenderal Agus Sutomo. Namun, seperti yang diklaim dalam salah satu rapat di Cijantung, persetujuan tersebut datang dari Presiden, Jenderal Susilo, sebagai “perintah langsung” yang turun dalam minggu-minggu terakhir ini, dan bahwa koordinasi operasi–di luar rantai komando–berasal dari Prabowo.
(Prabowo sebenarnya dipecat dari militer setelah kalah dari perebutan kekuasaan pada tahun 1998. Jenderal Susilo adalah salah satu dari para jenderal yang menandatangani perintah pemecatan tersebut).
Meski demikian, dalam kasus BIN, kepala BIN saat ini, Marciano Norman, dikatakan terlibat penuh (fully on board) dalam operasi tersebut. Marciano dekat dengan Aburizal Bakrie, seorang oligark dan pendukung Prabowo.
BIN memiliki hubungan dengan CIA. Namun masih belum jelas–sama sekali–bagaimana CIA berhubungan dengan operasi ini.
—-
Banyak orang Indonesia menyatakan kekhawatiran mereka bahwa pemilu kali ini akan berlangsung dengan kekerasan.
Operasi Kopassus/BIN diam-diam telah melakukan kekerasan atas nama kubu Prabowo.
Diantara mereka yang berada di ruang rapat Cijantung itu adalah para organizer berlatar belakang agen sipil yang mendapat tugas dari Kopassus untuk membuat “ribut di bawah.”
Beberapa peserta rapat mengaku telah memancing massa bayaran untuk menyerang pertemuan-pertemuan pro-Jokowi dan lainnya. Mereka bekerjasama dengan milisi-milisi jalanan milik Prabowo yang telah mendapat pelatihan di Bogor. Beberapa unit serupa digambarkan “..sudah berlatih, [dan] sering merampok di mana mana.”
Taktik yang sering dipakai Kopassus/BIN ini ditambah lagi dengan pendekatan baku lainnya: telepon dan sms anonim yang mengancam sasaran yang dituju atau orang-orang terdekat mereka dengan kematian, atau hal yang lebih buruk dari itu.
Pada kenyataannya, sebuah buku panduan lama Kopassus yang bocor ke publik telah secara resmi menyebutkan keberadaan taktik ini. Panduan itu menyatakan: anggota Kopassus harus terlatih menggunakan “taktik dan teknik teror.”
Terkait pelaksanaan ancaman-ancaman tersebut, pembunuhan politik yang dilakukan Kopassus memiliki sejarah yang panjang. BIN dikenal dengan teknik-tekniknya yang rumit, misalnya arsenik yang digunakan untuk membunuh Munir.
Namun, pembunuhan politik dalam pemilihan tingkat nasional adalah urusan sensitif. Dalam salah satu rapat di Cijantung, dinyatakan bahwa dulu jika situasi bertambah buruk, mereka akan “ambil orang, habisi orang”, seperti yang dilakukan Kopassus di bawah pimpinan Prabowo selama krisis tahun 1997-98.
Namun sekarang keadaannya berbeda. Pelaku operasi senyap harus memiliki sensitivitas politik. Seorang peserta rapat berkomentar terkait sejumlah target, “[orang] bisa melukai”, tapi mungkin tidak membunuh mereka.
Lebih ke pokok persoalan, dalam sebuah rapat muncul satu pernyataan menyangkut pembunuhan: “Paling tidak, dalam kondisi ini, [orang-orang top] dari kubu [Jokowi], jangan.” Namun buat “karyawan kecil [Jokowi], entah–nggak apa-apa.”
Kebijakan ini nyaris paralel dengan apa yang dikatakan Prabowo kepada saya di tahun 2001 tentang pembantaian massal: jangan lakukan [pembantaian] di ibukota, di depan para saksi, “tapi di desa-desa di mana tak seorang pun tahu.”(Lihat: “Do I have the guts,” Prabowo asked, “am I ready to be called a fascist dictator?”).
Mengacu pada perencanaan kemungkinan pembunuhan/penganiayaan dalam waktu dekat ini, salah seorang komandan Kopassus di Cijantung mengatakan: “Orang sipil tidak bisa, hanya kopasus yang bisa.”
Pernyataan ini mengacu pada fakta bahwa banyak dari kerja-kerja operasi di lapangan dilakukan oleh orang-orang sipil yang secara rahasia bekerja sebagai agen Kopassus paruh waktu/tetap.
Pada tanggal 9 November 2010, saya mengeluarkan dokumen-dokumen Kopassus yang diantaranya meliputi daftar aktivis yang ditarget Kopassus di Papua. Dokumen-dokumen tersebut juga merinci jaringan agen sipil Kopassus di tempat yang sama.
Menurut data-data personil Kopassus yang saya laporkan saat itu, jejaring agen sipil Kopassus meliputi “reporter suratkabar lokal dan stasiun-stasiun televisi nasional, mahasiswa, staf hotel, seorang pegawai pengadilan, seorang pegawai negeri sipil yang bekerja di bidang seni dan budaya, seorang anak usia 14 tahun … petani [lebih dari satu]. buruh [lebih dari satu] … sopir ojek, [dan] seorang penjaga kios pula yang mengawasi orang-orang yang membeli SIM card, serta seorang sopir yang bekerja pada sebuah perusahaan rental mobil…”
Dengan jejaring seperti ini, Kopassus memiliki posisi yang nyaman untuk mengintai–dan bertindak melawan–orang-orang yang menarik perhatian mereka dalam pemilihan yang akan berlangsung pekan depan dan di waktu-waktu pasca-pilpres.  [indonesiamedia]

1 komentar:

  1. Anggota Kopassus & BIN yg dimaksud di atas jelas akan dianggap "Junior' oleh tokoh2 kopassus dan BIN di belakang Jokowi sprt. Jendral TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan, Jendral TNI (Purn) Fachrul Rozi, Jendral (Purn) Subagyo HS,  Mantan Panglima TNI Wiranto, Jendral TNI (Purn) Sumardi, Mantan Wakil Komandan Jenderal Kopassus Letjen TNI (Purn) Sutiyoso dan Mantan Danjen Kopasus Muchdi PR, Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal (Purn), A.M Hendropriyono, blm lagi dr mantan POLRI sprt Jend. Pol (Purn.) Da'i Bachtiar.
    Jadi gue yakin mereka yg akan mengacaukan dan mencurangi Pilpres tdk akan nekad tanpa perhitungan orang2 berkemampuan dan berpengalaman 3 bahkan 4 level di atasnya yg berada di barisan garda Jokowi tsb. Tapi itu semua juga jangan lupa ada kekuatan Allah yg melindungi Jokowi dan orang2 baik lainnya. Rakyat adalah kekuatan maksimal, jd jangan coba2 membenturkan diri dg kekuatan rakyat.
    Sabar, berpikir jernih dan cerdas tanpa emosi dan tetap meneguhkan pilihan utk Jokowi sbg Presiden RI 2014-2019 karena berpengalaman dan berprestasi baik sbg kepala daerah maupun pengusaha. Gue sbg rakyat yg beriman dan terbiasa hidup susah karena tdk diberi keadilan oleh penguasa, maka gue sama sekali tdk takut ancaman manusia manapun. Hanya Allah yg gue takuti. Allahu Akbar, Allah akan melindungi Jokowi dan seluruh rakyat Indonesia.

    BalasHapus