Rabu, 18 Juni 2014

Mampukah Jokowi Menang di Kandang Banteng Sendiri?

Jawa Tengah (Jateng) merupakan salah satu dari tujuh provinsi yang bakal menjadi ajang pertarungan seru antara capres Prabowo Subianto dan Joko Widodo di Pilpres 9 Juli 2014.
Terkonsentrasinya penduduk di Jawa, Sulawesi Selatan, serta Sumatra Utara, menjadikan perolehan suara dari pemilih di Jawa dan dua provinsi itu sangat penting bagi duet Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK.
Jateng sejak Pemilu 1955 menjadi lumbung suara bagi Partai Nasional Indonesia (PNI), yang kemudian berfusi dengan partai nasionalis, Kristen, dan Katolik berubah jadi PDI kemudian bermetamorfosis menjadi PDI Perjuangan. Dari pemilu ke pemilu selalu juara di provinsi ini, kecuali pada masa rezim Orde Baru yang selalu langganan jadi pecundang.
Sejak Pemilu 1999 hingga Pileg 2014, PDI Perjuangan menjadi kekuatan dominan di DPRD Provinsi Jateng. Meskipun sejumlah tokohnya terjerat kasus korupsi, termasuk Murdoko, eks ketua DPRD Jateng dan ketua PDI Perjuangan Jateng, partai berlogo banteng moncong putih ini tidak pernah kalah sejak 1999.
"Sejak dulu Jawa Tengah memang menjadi kandang banteng yang selalu bisa diandalkan untuk mendulang peroleh suara secara nasional," kata analis politik Universitas Diponegoro Semarang Mochamad Yulianto.
Setelah sempat mengalami penurunan perolehan suara dalam pemilu sebelumnya di Jateng, PDI Perjuangan kembali membuktikan tanduknya masih bertaji dengan meraih 4.675.913 suara di Pileg 2014. Besarnya dukungan pemilih Jateng pada PDI Perjuangan ini dibuktikan dengan tak ada satu pun partai yang mampu mendekati perolehan suaranya, bahkan setengahnya pun tidak.
PKB yang menempati posisi kedua di Jateng meraih 2.259.365 suara. Jadi, di Jateng, pasangan Jokowi-JK memiliki modal suara cukup besar. Oleh karena itu, ketika Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengumumkan partainya merapat ke PDI Perjungan, pendukung capres ini layak lega. Setidaknya modal suara dari kalangan nasionalis dan sebagian kaum santri bisa disatukan.
Kalau sebelumnya Partai Nasdem menyokong Jokowi, kemudian Partai Hanura dan PKPI juga berada di barisan belakang capres nomor urut 2 tersebut, itu menjadi nilai tambah tersendiri bagi mantan wali kota Solo tersebut.
Apabila perolehan suara lima partai pendukung Jokowi, yakni PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI, di Jawa Tengah pada Pileg 2014 itu digabungkan, jumlahnya memang belum bisa menandingi akumulasi perolehan suara koalisi partai pendukung Prabowo bila Partai Demokrat dimasukkan dalam kelompok koalisi ini. Demokrat secara resmi memang tidak mendukung Prabowo, tapi mayoritas anggota DPR Demokrat menyokong mantan panglima Kostrad itu.
Akumulasi perolehan suara koalisi partai pengusung Jokowi-JK di pileg lalu tercatat 8.370.953 suara, sedangkan perolehan Prabowo tercatat 8.635.797 suara termasuk dari pendukung Demokrat di Jateng yang menyumbang 1.278.619 suara.
Secara matematis, melihat potensi perolehan suara kedua capres berdasarkan hasil yang dicapai masing-masing partai, Jokowi malah kalah tipis dari Prabowo, terpaut 250.000-an suara.
Tetapi, menghitung kekuatan riil dukungan calon kepala negara atau kepala daerah hanya berdasarkan perolehan suara masing-masing partai pendukung banyak biasnya.
Pilpres adalah memilih sosok pemimpin negara dengan logika memilih yang beda ketika mencoblos calon anggota legislatif. Kedekatan dan kesamaan ideologi pemilih dengan capres/cawapres mungkin jadi pertimbangan, namun tampaknya hal itu bukan merupakan ikatan yang terlalu kuat.
Terlepas ada kepentingan pragmatis, menyeberangnya tokoh PKB yang juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD ke kubu Prabowo, lalu dukungan senior Partai Golkar Luhut Panjaitan dan Ginandjar Kartasasmita ke Jokowi, itu menandakan pilihan kepada capres lebih cair.

Merah-Hijau
Meminjam tipologi masyarakat Jawa yang digagas oleh Indonesianis, Clifford Geertz, sekat santri dan abangan dalam memilih presiden/wakil presiden juga sudah memudar. Apalagi pada kedua kubu capres-cawapres, koalisi partai-partainya tidak satu warna, tapi merah-hijau atau hijau-merah.
Merenggangnya sekat itu memberi keuntungan pada masing-masing capres yang selama ini dicitrakan merupakan representasi dari kalangan merah (nasionalis). Artinya, Prabowo dan Jokowi tetap bakal mendapat dukungan dari kalangan hijau (santri) karena koalisi pendukungnya merah-hijau.
Sigi yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia dan dipublikasikan pada 4 Juni 2014 menyebutkan elektabilitas Jokowi di Jateng tercatat mencapai 38,57 persen, jauh melampaui rivalnya, Prabowo Subianto, yang membukukan 15,54 persen.
Namun jangan terlalu dini menyimpulkan bahwa Jokowi-JK bakal menang telak di Jateng. Masih ada sejumlah variabel yang bakal membuat dukungan setiap capres berfluktuasi, misalnya, penampilan dalam debat dan kerja kader di akar rumput. Apalagi masa kampanye sampai tanggal 4 Juli 2014 sehingga masih ada waktu untuk merayu pemilih yang masih ragu.
Bila capres/cawapres mampu meyakinkan pemilih, mereka berpeluang merebut sebagian dari kelompok golput di Jateng yang pada Pileg 2014 tercatat lebih dari 10 juta pemilih. Citra tegas dan tak mau didikte asing yang coba dibangun Prabowo, misalnya, cukup berhasil meraih simpati.
Membaiknya kemampuan debat Jokowi pada sesi kedua juga diyakini bakal menambah dukungan suara, apalagi bila dalam debat ketiga hingga kelima ia mampu tampil prima. Debat capres yang digelar dalam lima sesi dan ditayangkan stasiun televisi nasional bisa memandu pemilih mengambang untuk menentukan capres yang dianggap visi, misi, dan programnya cocok dengan kebutuhan mereka.
"Pemilih terdidik, termasuk kalangan pengusaha, pilihannya lebih realistis. Debat tema Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial, Ahad (14/6) bisa memberi pertimbangan seseorang untuk memilih siapa," kata ekonom Undip Semarang Nugroho SBM.
Rekam jejak Jokowi di provinsi tersebut memang berkilau. Itu ditunjukkan oleh elektabilitas Jokowi yang tinggi di Jateng. Ketika berpolemik dengan gubernur Jateng Bibit Waluyo, Jokowi juga berhasil merebut simpati publik dan media.
Terlepas dari itu, saat memimpin Solo, ia memang sukses mengubah kota berslogan The Spirit of Java itu menjadi kawasan yang lebih nyaman dan menjadi tujuan wisata baru setelah Yogyakarta.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila sampai saat ini elektabilitas Jokowi di Jateng jauh melampaui rivalnya, Prabowo, yang juga punya akar keluarga dari provinsi ini. Namun, dengan hasil itu bukan berarti kemenangan sudah di genggaman Jokowi.
Kompetisi 'head to head' selevel pilpres tentu bakal berlangsung lebih panas, sengit, bahkan kadang keji. Cela Jokowi selama memimpin Solo, misalnya, masih tingginya jumlah warga miskin dan kelanjutan nasib Mobil Esemka hingga kasus pengadaan bus TransJakarta mulai disoal.
Lalu ada pula fitnah yang menyebar luas, seperti Jokowi non-muslim, keturunan Tionghoa, hingga dikabarkan meninggal dunia. Kubu Jokowi mengakui efek dari kampanye hitam itu ada sehingga elektabilitasnya belakangan ini cenderung stagnan, sedangkan pada saat sama elektabilitas Prabowo kian naik.
Prabowo sebenarnya menghadapi kampanye negatif pula, seperti dari agama ibu dan saudara kandungnya yang non-Muslim, status warga negara, hingga penculikan aktivis. Uniknya, dalam kasus penculikan aktivis, sebagian awam malah berpersepsi bahwa Prabowo di-bully oleh para seniornya yang berada di kubu pesaing.
Menghentikan kampanye hitam pada saat ini nyaris mustahil karena sebagian besar kabar menyesatkan tersebut beredar dan direplikasi secara masif melalui media sosial. Pemberitaan negatif, juga positif, terhadap Jokowi dan Prabowo melalui media sosial tidak mengenal masa kampanye. Berita-berita sarat kepentingan politik itu akan terus direproduksi.
Dalam perang informasi, benar atau salah tidak terlalu penting karena yang diperlukan oleh penyebar kabar itu adalah melemahnya kekuatan lawan. Apakah kampanye hitam atau negatif bakal menggoyahkan kekuatan Jokowi dan menguntungkan Prabowo di Jateng, pilpres 9 Juli nanti yang akan membuktikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar