Pendukung fanatik calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Joko Widodo di dunia maya dinilai menggiring opini publik yang bertujuan agar Jokowi tidak pernah salah di mata publik.
Pendukung fanatik Jokowi yang kemudian menimbulkan istilah baru yakni pasukan nasi bungkus (panasbung), dinilai Emrus Sihombing tidak mengedepankan aspek moral dalam berpolitik. Pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) itu mengatakan adanya akun bayaran pendukung Jokowi di media sosial sebagai bentuk penggiringan opini publik untuk tujuan tertentu.
"Kalau memang akun-akun di media sosial seperti di twitter itu dikendalikan, berarti ada maksud tertentu menggiring opini publik. Harusnya ketika berpolitik, tidak boleh lepas dari moral. Seharusnya dalam memperoleh kekuasaan itu netral, tidak ada penggiringan," ujar Emrus usai acara diskusi di hotel Grand Alia, Minggu (27/4/2014).
"Satu orang membawahi banyak akun di media sosial, itu sama saja dengan kebohongan publik. Sepertinya banyak orang yang berkomentar, padahal hanya dikendalikan satu orang supaya terbentuk opini," lanjutnya.
Direktur Lembaga Emrus Corner itu memaparkan penggiringan opini publik yang dilakukan akun bayaran pendukung Jokowi tak jauh beda dengan money politics. Apalagi setelah beredar informasi, akun yang biasa berkomentar untuk mendukung Jokowi dan menjelek-jelekkan capres lain itu ternyata menerima gaji.
"Apalagi seperti itu (pendukungnya menerima gaji). Itu tidak jauh beda dengan menghalalkan money politics. Seharusnya gerakan masyarakat itu natural, tidak ada penggiringan," tuturnya.
"Ini sama saja dengan politik mobilisasi Hitler. Bedanya, mobilisasi Hitler saat itu dilakukan dengan ancaman. Pergerakan lewat media sosial seperti itu (akun bayaran), menghalalkan money politics," imbuhnya.
Sebelumnya, beredar kabar tim pendukung Jokowi membentuk semacam jaringan udara yang bergerak melalui jaringan internet. Mereka masuk melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter serta banyak media massa online.
Bahkan, kabarnya mereka menarik banyak orang untuk dilibatkan dalam serangan udara tersebut. Sebagian besar dibayar sekitar Rp500 ribu hingga Rp1 juta per kepala hanya untuk membuat ramai dunia maya dengan isu-isu soal Jokowi.
"Kebanyakan itu penjaga toko, penjaga gerai telepon seluler, ada juga yang tukang becak," ujar salah seorang sumber saat berbincang dengan Tribunnews.
Bicara Revolusi Mental, Jokowi Seharusnya Bercermin
Menanggapi wacana revolusi mental. Emrus ingatkan Jokowi sebaiknya bercermin lebih dulu sebelum berbicara revolusi mental.
Hal tersebut terkait pencapresan Jokowi yang tak lepas dari kendali Megawati sebagai Ketua Umum PDIP, dan penyusunan visi misi yang tidak disusun sendiri oleh Jokowi. Pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing, mengatakan sebaiknya Jokowi merevolusi mentalnya terlebih dulu sebelum merevolusi mental masyarakat.
"Dia katakan revolusi mental. Pertanyaan publik, apa dia sudah lakukan revolusi mental. Apa pencapresan dia karena revolusi mental atau karena diusung Megawati? Harusnya dia dulu yang revolusi mental, jangan hanya masyrakat disuruh revolusi mental," ujar Emrus usai acara diskusi di hotel Grand Alia, Minggu (27/4/2014).
"Berani tidak dia (Jokowi) katakan, Menteri-menterinya tidak ada dari PDIP atau didominasi PDIP? Supaya tidak ada utang politik. Kalau Menteri nantinya masih didominasi PDIP, revolusi mental belum berjalan baik," lanjutnya.
Mengenai visi misi Jokowi yang tidak disusun sendiri oleh orang nomor satu Jakarta tersebut, Emrus mengkritisi seharusnya Jokowi yang menyusun sendiri dibantu oleh tim lainnya. Bukan sebaliknya, tim yang menyusun visi misi dan Jokowi tinggal terima beres.
"Seharusnya tidak boleh visi misi disusun bukan oleh Jokowi. Harusnya Jokowi yang susun, tim memberikan masukan. Jangan Megawati sebagai centralnya. Kalau begitu sama sama seperti boneka," tukasnya. [tribunnews]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar