Menurut tim pakar Seknas Jokowi, Eva Kusuma Sundari, dengan ide itu, Jokowi diyakini merupakan simbol kepemimpinan yang transformatif, yang membawa nilai-nilai baru yang dipraktikkan dalam pemerintahan, maupun berbangsa dan bernegara.
"Pemimpin yang mengusung revolusi mental demi mewujudkan transformasi RI menjadi bangsa yang berdaulat, berdikari dan berkepribadian sebagai perwujudan Trisakti abad 21 merupakan pemimpin yang transformatif," tegas Eva di Jakarta, Minggu (27/4/2014).
Dia menjelaskan 'revolusi mental' adalah bagian dari membangun masyarakat Pancasila yang adil dan makmur, seperti perintah pembukaan UUD 1945, sehingga mampu membangun manusia untuk menjadi bangsa yang cerdas dan sejahtera sudah sepantasnya menjadi prioritas.
"Bangsa yang maju tidak pernah meninggalkan proyek nation and character building," imbuhnya.
Dia menyatakan, Jokowi sebenarnya sudah memulainya di Jakarta. Ini terlihat dengan perilaku masyarakat yang tidak lagi buang sampah di kawasan Dutamas, Angke, Jakarta Barat. Kebijakan revitalisasi Kali Angke sudah mampu membuat masyarakat memahami dan menjalankan nilai-nilai baru, yaitu tanggung jawab sosial untuk mencegah banjir dengan stop membuang sampah sembarangan.
Dia melanjutkan, membangun kebudayaan berbasis kepribadian demikian, merupakan tugas dan panggilan sejarah Indonesia sebagai bangsa yang besar untuk menjadi subyek dalam kehidupan dan lingkungannya. Nusantara, dengan kekuatan budaya maritimnya, terbukti mampu menjadi pusat peradaban Budha di saat jaman Sriwijaya, maupun Hindu di era Majapahit.
Sebagai negara kepulauan, maka laut merupakan kekuatan, termasuk nilai-nilai yang menjadi karakter masyarakat jaman Sriwijaya dan Majapahit, yaitu pikiran yang terbuka (open minded), kreatif, egalitarian, explorer atau penakluk, inklusif, serta multikulturisme yang diposisikan sebagai keniscayaan dan relijius sekaligus toleran.
"Itulah kepribadian masyarakat gotong royong Indonesia, yang harus dikembangkan dan dikuatkan kembali untuk menjadi dasar kebudayaan kita," tandas Eva.
Meski demikian, lanjutnya, pengembangan kebudayaan kemandirian hanya dapat diwujudkan jika didukung kekuatan ekonomi. Itu hanya bisa dicapai jika kedaulatan politik dalam genggaman.
"Tentu saja faktor manusia atau SDM menjadi penggerak atas semua proyek transformasi masyarakat tersebut. Sehingga pendidikan harus dikembalikan rohnya sebagai pusat pembentukan karakter menuju perwujudan kebudayaan berbasis kepribadian," jelas Eva.
"Transformasi masyarakat yang berkarakter sebagai masyarakat maritim
di atas memerlukan kepemimpinan yang bisa jadi panutan bagi rakyat." [Markus Junianto Sihaloho/beritasatu]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar