Senin, 10 Februari 2014

Dendam Megawati kepada SBY, Dibalaskan Jokowi

Megawati tahu rasanya bagaimana disanjung dan dihargai oleh banyak orang, Dia juga pernah mengalami manisnya menjadi pemenang Pemilu tahun 1999, setelah sekian lama dia dibungkam oleh rejim Soeharto. Megawati tahu rasanya bagaimana ia ditinggal pergi oleh orang-orang yang satu perjuangan dengannya, tapi ia juga mengalami manisnya berjuang dengan orang-orang yang loyal terhadap perjuangannya.
Kalau berbicara mengenai teman seperjuangan, hingga kini, masih banyak yang tetap loyal terhadap garis perjuangannya.
Megawati sangat dihormati mereka, bahkan banyak anak muda yang telah berhasil dia kembangkan potensinya. Jokowi, Ganjar P, Rieke P, Puan Maharani, Risma, Rano Karno, Teras Narang, Pramono anung, Miing Bagito, dll.
Dari sekian banyak yang menindasnya, mulai dari Soeharto, hingga kasus 27 Mei, Dia dapat memaafkan para aktor dibalik setiap peristiwa itu.
Soeharto, beserta keluarganya, sepertinya Megawati tidak menaruh dendam kesumat terhadap keluarga itu, hal itu dapat terlihat ketika Megawati menjadi Presiden, dia tidak ada memenjarakan orang-orang dibalik pembungkaman terhadap dia selama masa orde baru, meskipun itu dapat dia lakukan ketika masih menjabat presiden. Tapi kayaknya Megawati dapat menerima itu semua sebagai suatu proses yang harus dijalani.
Peristiwa 27 Mei, Sutiyoso, Wiranto, Prabowo adalah para petinggi ABRI saat itu, yg dalam pemikiran saya, mereka tahu persis mengenai penyerangan terhadap markas PDI Perjuangan saat itu, jika boleh jujur, mereka juga layak dimintai pertanggungjawaban sebagai petinggi ABRI saat itu, Tapi Megawati dapat memaafkan mereka bahkan mereka menjadi partner dikemudian hari.
Begitu juga ketika pemilihan Presiden tahun 1999, dimana Gus Dur terpilih menjadi Presiden, padahal dari logika sederhana Megawatilah yang lebih wajar terpilihsebagai Presiden sebagai partai Pemenang Pemilu, tapi Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra dengan Poros Tengahnya, mengelabui Megawati. Saya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Megawati saat itu, pasti disayat-sayat. Setelah disayat-sayat lalu terinjak-injak. Pasti rasanya sangat menyakitkan. Meskipun itu yang terjadi, Megawati masih tetap dapat memaafkan mereka-mereka yang mengelabuinya. Yusril masih dipakai Menteri ketika Megawati Presiden.
Tetapi ada seorang anak manusia yang sampai saat ini belum mendapatkan kata maaf dari Megawati, dialah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Entah apa pasalnya, entah apa kesalahan SBY, hanya Megawati dan Tuhan yang tahu. Peristiwa itu telah lama berlangsung, memasuki tahun ke 10, belum ada tanda-tanda Megawati memaafkan SBY. Dugaan saya, SBY telah menyakiti hati Megawati yang paling dalam. Seorang Taufik Kiemas pun di masa hidupnya tidak bisa mendamaikannya. Berbagai cara dilakukan oleh alm. Taufik Kiemas untuk mendamaikan mereka, sampai akhir hayatnya, tetap belum berhasil.
Selama 9 tahun berlalu masa kepemimpinan SBY, Megawati selalu mengkritisi kebijakannya dengan tajam. Suaranya lantang, amarahnya berkobar-kobar melihat cara SBY memimpin negara ini. Tersebutlah berulangkali kata, “Pencitraan”. Rupanya pencitraan yang begitu rupa, yang dilakukan oleh SBY pada sekitar awal 2004, sangat membekas dihati Megawati.
Pencitraan SBY harus dibalas dengan kata kinerja dan kerja.
Megawati menemukan sosok yang dapat membalaskan dendamnya terhadap SBY, seorang yang anti tesis dari SBY. Kurus, sederhana, merakyat dan pekerja keras, selalu tersenyum, suka blusukan, itulah Jokowi.
Megawati dengan jeli menarik Jokowi ke Jakarta untuk sebuah pekerjaan yang berat. Dia tahu, pertaruhannya besar, tapi Megawati telah banyak makan asam garam. Nalurinya benar dan dendamnya terbalaskan.
Bisa kita lihat hasilnya. Ketika beberapa kali ada acara yang dihadiri SBY dan Jokowi, maka Jokowi yang seorang Gubernur disambut dengan tepuk tangan yang meriah dari para hadirin dan bahkan ada yang sampai berdiri tepuk tangan.
Beberapa contoh: Seperti peringatan Hari Guru Nasional 2013, 27 nov’ 2013. Ketika pembawa acara menyebut nama sang Gubernur, tepuk tangan meriah, tetapi ketika giliran pembawa acara menyebut nama Presiden SBY, tepuk tangan melempem alias hampir gak ada. Dapatkah anda merasakan apa yang dirasakan SBY ketika itu? Itu sangat menyakitkan. Tak bisa dibohongi, itu benar-benar sakit. Idem kejadian di Kemayoran, dll.
Maka tak heran, jika kita memperhatikan sangat jarang Presiden didampingi Jokowi, jika ada acara-acara, jikapun Jokowi hadir, itu pasti hanya sebentar, karna Istana meyakini, itu musibah, dan lebih baik jika ada acara, untuk sementara Jokowi tak perlu diundang. Jangan harap ini terjadi di jaman Foke, hampir setiap hari acara yang di Jakarta, Foke selalu mendampingi Presiden.
Istana menyadari effek Jokowi itu, daripada setiap ada Jokowi, Presiden seperti dipermalukan, maka lebih baik menghindarinya.
Sampai episode ini, Megawati puas dan tentunya dia tersenyum di tempat sunyi tempatnya bernaung. Itu makanya sesudah beberapa kali kejadian itu, Megawati selalu bersama-sama dengan Jokowi. Seakan Megawati ingin mengatakan, “Jokowi adalah saya, saya adalah Jokowi, terimalah sakit yang kualami ketika itu, oh SBY…”
Tentunya Megawati menunjuk Jokowi menjadi calon Gubernur Jakarta ketika itu bukan bertujuan untuk membalas dendam kepada SBY, tetapi anda boleh memperhatikan bagaimana wajah Megawati akhir-akhir ini, setengah tahun belakangan, sumringah, selalu tersenyum. Tidak murung lagi seperti selama 9 tahun ini. Bagaikan putri yang lagi kasmaran, meskipun usianya kini 67 tahun.
Begitulah rasa dendam yang telah terbalaskan, pelakonnya akan merasa puas.
Apakah Megawati memberikan hadiah atas hal itu kepada Jokowi?
Kita tunggu tanggal mainnya. Sang Putri masih membisu…

Sumber :
kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar