Megawati tahu rasanya bagaimana disanjung dan dihargai oleh banyak
orang, Dia juga pernah mengalami manisnya menjadi pemenang Pemilu tahun
1999, setelah sekian lama dia dibungkam oleh rejim Soeharto. Megawati
tahu rasanya bagaimana ia ditinggal pergi oleh orang-orang yang satu
perjuangan dengannya, tapi ia juga mengalami manisnya berjuang dengan
orang-orang yang loyal terhadap perjuangannya.
Kalau berbicara mengenai teman seperjuangan, hingga kini, masih banyak
yang tetap loyal terhadap garis perjuangannya.
Megawati sangat dihormati
mereka, bahkan banyak anak muda yang telah berhasil dia kembangkan
potensinya. Jokowi, Ganjar P, Rieke P, Puan Maharani, Risma, Rano Karno,
Teras Narang, Pramono anung, Miing Bagito, dll.
Dari sekian banyak yang menindasnya, mulai dari Soeharto, hingga kasus
27 Mei, Dia dapat memaafkan para aktor dibalik setiap peristiwa itu.
Soeharto, beserta keluarganya, sepertinya Megawati tidak menaruh dendam
kesumat terhadap keluarga itu, hal itu dapat terlihat ketika Megawati
menjadi Presiden, dia tidak ada memenjarakan orang-orang dibalik
pembungkaman terhadap dia selama masa orde baru, meskipun itu dapat dia
lakukan ketika masih menjabat presiden. Tapi kayaknya Megawati dapat
menerima itu semua sebagai suatu proses yang harus dijalani.
Peristiwa 27 Mei, Sutiyoso, Wiranto, Prabowo adalah para petinggi ABRI
saat itu, yg dalam pemikiran saya, mereka tahu persis mengenai
penyerangan terhadap markas PDI Perjuangan saat itu, jika boleh jujur,
mereka juga layak dimintai pertanggungjawaban sebagai petinggi ABRI saat
itu, Tapi Megawati dapat memaafkan mereka bahkan mereka menjadi partner
dikemudian hari.
Begitu juga ketika pemilihan Presiden tahun 1999, dimana Gus Dur
terpilih menjadi Presiden, padahal dari logika sederhana Megawatilah
yang lebih wajar terpilihsebagai Presiden sebagai partai Pemenang
Pemilu, tapi Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra dengan Poros Tengahnya,
mengelabui Megawati. Saya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan
Megawati saat itu, pasti disayat-sayat. Setelah disayat-sayat lalu
terinjak-injak. Pasti rasanya sangat menyakitkan. Meskipun itu yang
terjadi, Megawati masih tetap dapat memaafkan mereka-mereka yang
mengelabuinya. Yusril masih dipakai Menteri ketika Megawati Presiden.
Tetapi ada seorang anak manusia yang sampai saat ini belum mendapatkan
kata maaf dari Megawati, dialah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Entah apa
pasalnya, entah apa kesalahan SBY, hanya Megawati dan Tuhan yang tahu.
Peristiwa itu telah lama berlangsung, memasuki tahun ke 10, belum ada
tanda-tanda Megawati memaafkan SBY. Dugaan saya, SBY telah menyakiti
hati Megawati yang paling dalam. Seorang Taufik Kiemas pun di masa
hidupnya tidak bisa mendamaikannya. Berbagai cara dilakukan oleh alm.
Taufik Kiemas untuk mendamaikan mereka, sampai akhir hayatnya, tetap
belum berhasil.
Selama 9 tahun berlalu masa kepemimpinan SBY, Megawati selalu
mengkritisi kebijakannya dengan tajam. Suaranya lantang, amarahnya
berkobar-kobar melihat cara SBY memimpin negara ini. Tersebutlah
berulangkali kata, “Pencitraan”. Rupanya pencitraan yang begitu rupa,
yang dilakukan oleh SBY pada sekitar awal 2004, sangat membekas dihati
Megawati.
Pencitraan SBY harus dibalas dengan kata kinerja dan kerja.
Megawati menemukan sosok yang dapat membalaskan dendamnya terhadap SBY,
seorang yang anti tesis dari SBY. Kurus, sederhana, merakyat dan pekerja
keras, selalu tersenyum, suka blusukan, itulah Jokowi.
Megawati dengan jeli menarik Jokowi ke Jakarta untuk sebuah pekerjaan
yang berat. Dia tahu, pertaruhannya besar, tapi Megawati telah banyak
makan asam garam. Nalurinya benar dan dendamnya terbalaskan.
Bisa kita lihat hasilnya. Ketika beberapa kali ada acara yang dihadiri
SBY dan Jokowi, maka Jokowi yang seorang Gubernur disambut dengan tepuk
tangan yang meriah dari para hadirin dan bahkan ada yang sampai berdiri
tepuk tangan.
Beberapa contoh: Seperti peringatan Hari Guru Nasional 2013, 27 nov’
2013. Ketika pembawa acara menyebut nama sang Gubernur, tepuk tangan
meriah, tetapi ketika giliran pembawa acara menyebut nama Presiden SBY,
tepuk tangan melempem alias hampir gak ada. Dapatkah anda merasakan apa
yang dirasakan SBY ketika itu? Itu sangat menyakitkan. Tak bisa
dibohongi, itu benar-benar sakit. Idem kejadian di Kemayoran, dll.
Maka tak heran, jika kita memperhatikan sangat jarang Presiden
didampingi Jokowi, jika ada acara-acara, jikapun Jokowi hadir, itu pasti
hanya sebentar, karna Istana meyakini, itu musibah, dan lebih baik jika
ada acara, untuk sementara Jokowi tak perlu diundang. Jangan harap ini
terjadi di jaman Foke, hampir setiap hari acara yang di Jakarta, Foke
selalu mendampingi Presiden.
Istana menyadari effek Jokowi itu, daripada setiap ada Jokowi, Presiden seperti dipermalukan, maka lebih baik menghindarinya.
Sampai episode ini, Megawati puas dan tentunya dia tersenyum di tempat
sunyi tempatnya bernaung. Itu makanya sesudah beberapa kali kejadian
itu, Megawati selalu bersama-sama dengan Jokowi. Seakan Megawati ingin
mengatakan, “Jokowi adalah saya, saya adalah Jokowi, terimalah sakit
yang kualami ketika itu, oh SBY…”
Tentunya Megawati menunjuk Jokowi menjadi calon Gubernur Jakarta ketika
itu bukan bertujuan untuk membalas dendam kepada SBY, tetapi anda boleh
memperhatikan bagaimana wajah Megawati akhir-akhir ini, setengah tahun
belakangan, sumringah, selalu tersenyum. Tidak murung lagi seperti
selama 9 tahun ini. Bagaikan putri yang lagi kasmaran, meskipun usianya
kini 67 tahun.
Begitulah rasa dendam yang telah terbalaskan, pelakonnya akan merasa puas.
Apakah Megawati memberikan hadiah atas hal itu kepada Jokowi?
Kita tunggu tanggal mainnya. Sang Putri masih membisu…
Sumber :
kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar