Tiba-tiba saja Joko Widodo (Jokowi) menjadi bintang di panggung politik nasional. Belum setahun menjadi Gubernur DKI Jakarta, mantan Walikota Solo ini langsung memperoleh dukungan dari berbagai komponen.
Dukungan terlihat dari liputan media. Secara kasat mata bisa dilihat dan rasakan, Jokowi menjadi salah seorang 'media darling' dari sedikit tokoh yang sejatinya banyak berinteraksi dengan komunitas media.
Dampak atas statusnya itu, membuat suara yang menginginkan agar Jokowi menjadi capres, terus terusan bergeliat di berbagai liputan media. Sampai akhirnya beberapa bulan lalu mucul relawan yang menamakan diri Projo.
Lahirnya Projo atau Pro Jokowi (untuk jadi presiden) memang tidak sekadar respon terhadap pemberitaan media. Melainkan karena di internal PDIP sendiri, diam-diam muncul semacam faksi tidak resmi. Faksi ini ditengarai mencium adanya keraguan Megawati menjadikan Jokowi sebagai capres.
Yang cukup menarik untuk dicatat, sebelum tingkat elektabilitas Jokowi mencapai angka persentase yang tertinggi, tokoh sekaliber Jusuf Kalla (JK) tidak segan-segan menyatakan ingin berpasangan dengan Jokowi.
Yang lebih menarik lagi, JK tidak atau belum mempersoalkan apakah dia mau menjadi cawapresnya Jokowi atau dianya sendiri yang mau menjadi cawapres. Yang pasti ketidakseganan JK nyaris keluar dari proporsionalitas.
JK sampai-sampai hampir lupa, bahwa Jokowi merupakan kader PDIP. Sementara JK merupakan politisi Golkar, partai yang secara historis tidak pernah berhenti bersaing dengan PDIP dalam memperebutkan posisi di panggung nasional. JK yang mantan Wakil Presiden bahkan pernah menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar.
Sikap JK yang ingin berduet dengan Jokowi, sesuatu yang cukup menarik. Dalam arti menarik dan kontroversil. Sebab secara chemistry politik, tidak ada dasar untuk memastikan JK-Jokowi atau Jokowi-JK bisa bersenyawa dengan baik.
Selain itu, pada saat JK sudah menyatakan ketertarikannya berduet dengan Jokowi, sejumlah partai non-Golkar justru berusaha menggaet saudagar Bugis tersebut. Mereka ingin agar JK bisa menjadi capres ataupun cawapres. Sebutlah partai-partai seperti Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Namun anehnya, tak satupun di antara partai-partai itu yang mampu meyakinkan JK. Hingga tulisan ini disusun, semangat JK berduet dengan Jokowi lebih kuat ketimbang melirik tawaran tiga partai di atas. Api semangat JK berduet dengan Jokowi, masih belum padam.
Entah secara kebetulan atau tidak. Yang jelas tidak jauh dari kediaman pribadi JK, di Jl Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, awal 2014, sudah beroperasi Sekretariat Nasional Pro Jokowi (Projo).
Namun niat JK berduet dengan Jokowi belum mendapat respons positif. Terutama dari Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri. Beberapa kalangan menyebut, agak sulit bagi JK mendapatkan 'kartu restu' dari Megawati.
Alasannya, saat JK menjadi Wapres, Megawati sering dijadikannya sasaran kritik. JK menyindir Megawati yang ketika menjadi Presiden, memberi konsesi Gas Tangguh di Papua Barat, kepada RRC.
Sindiran JK cukup mengiris sukma Megawati. Sebab dibumbui oleh ilustrasi bahwa konsesi dengan harga murah tersebut, ditandai dengan 'dansa berdua' antara Putri Presiden Soekarno itu dengan Presiden RRC di Beijing.
Sementara itu berkembang pula kekhawatiran, JK hanya ingin memanfaatkan popularitas Jokowi. Mengingat ketertarikan JK berduet dengan Jokowi muncul secara tiba-tiba. Bagaikan bulan purnama di siang hari. Keinginan JK dikuatirkan hanya mau memaksimalkan momentum. Kebetulan, tidak ada politisi yang cepat bersikap menarik empati Jokowi.
Kekhawatiran bahwa JK hanya ingin memanfaatkan momentum dan kalau perlu memanfaatkan 'kartu joker' yang sudah di tangan Jokowi, semakin tebal, dipicu oleh beberapa alasan atau fakta.
Setelah tidak lagi dipilih oleh SBY sebagai duetnya menghadapi Pilpres 2009, JK menyatakan bahwa dia akan kembali ke kampung halamannya, di Makassar. Di kota asalnya itu, seperti janjinya, JK akan memanfaatkan waktu untuk keluarga. Tapi nyatanya,tidak demikian. Dalam Pilpres 2009, JK masih dengan berduet bersama Wiranto.
Setelah gagal di Pilpres 2009, lagi-lagi JK tidak kembali ke kampung. Ia justru menjadi Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia. Posisi tersebut, memberi JK ruang dan panggung untuk berinteraksi di dunia politik.
Janji mundur dari dunia politik, tak pernah lagi disinggung oleh JK. Sampai tiba-tiba JK muncul sebagai mantan Wapres yang mau maju kembali dalam kontes perebutan jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
JK yang sudah pernah menikmati banyak jabatan, pantas dikategorikan sebagai warga senior. Sepatutnya sebagai senior citizen, JK perlu memberi kesempatan kepada yang lebih muda usia.
Apapun ceritera tentang JK tapi kalau ulasan ini dikembalikan ke judulnya di atas, jelas sekali terlihat adanya manuver politik yang kontras satu sama lain. Ada manuver politik yang terlalu agresif sehingga membuat orang belum apa-apa sudah membikin jarak.
Tapi ada pula manuver politik yang dilakukan secara "tidak berisik" tetapi terus menghidupkan berbagai komunikasi. Yang terakhir inilah cara yang dilakukan Hatta Rajasa terhadap Jokowi maupun Megawati Soekarnoputri.
Jokowi memang bukan pilihan terbaik capres PDIP. Jokowi antara lain, belum bisa menunjukkan kemampuannya sebagai Gubernur dari sebuah kota Megapolitan. Kalau tingkat Gubernur masih belum mampu, lantas bagaimana dengan jabatan Presiden, jabatan birokrasi tertinggi di Indonesia ?
Ketidakmampuan itu terlihat dari data penyerapan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Catatan yang ada menunjukkan, APBD 2013 hanya bisa diserap 38%. Fakta ini sangat bertolak belakang dengan laporan-laporan media yang menempatkan Jokowi sebagai Gubernur yang dalam waktu singkat, sudah cukup berhasil.
Keberhasilan itu selalu ditekankan, antara lain karena Jokowi memiliki pasangan (Ahok) yang sejiwa dan sehati dalam menjalankan pekerjaan sebagai pimpinan daerah. Tetapi mencari capres yang sempurna, juga bukan persoalan mudah. Jadi perlu ada toleransi biarpun hanya sedikit. Atas dasar itu, pilihan pada Jokowi bisa dimengerti.
Tapi kalau PDIP ingin Jokowi berhasil memerintah Indonesia (manakala memang terpilih sebagai Presiden), sejak awal Jokowi sudah harus diduetkan dengan pasangan yang mampu menutupi kekurangannya. Terutama dalam hal manajemen birokrasi berskala raksasa.
Untuk itu Jokowi perlu diduetkan dengan sosok yang memiliki kriteria seperti yang diutarakan di atas. Atau sang pendamping dijamin dia tidak akan menyudutkan Jokowi di kemudian hari. Atau tidak tergoda menjadi orang nomor satu di saat pemerintahan masih belum menyelesaikan masa tugasnya.
Yang dipasangkan dengan Jokowi itu juga harus memiliki modal dalam berbagai hal. Mulai darimodal materi, pengalaman birokrasi nasional, politisi yang mengerti masalah-masalah mikro dan makro ekonomi.
Singkatnya, cawapres pendamping Jokowi haruslah politisi komplit yang punya misi membangun bangsa. Bukan untuk membangun kerajaan bisnis baru bagi keluarga. Tidak pula politisi yang memiliki aura nepotisme.
Jika kriteria itu yang dibutuhkan, sosok tersebut bisa mengerucut ke Ketua Umum DPP PAN, Hatta Rajasa.
Mengapa Hatta Rajasa? Politisi asal Palembang, Sumatera Selatan ini, secara materi sudah mapan. Kemapanannya sudah dimulai ketika ia belum masuk dalam pemerintahan.Hatta seorang pebisnis alumni ITB yang kemudian menggunakan insting bisnis tersebut untuk kegiatan politik.
Hatta Rajasa yang sudah masuk kabinet di era reformasi, menjadi menteri secara berturut sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri dan SBY.
Jabatan-jabatan yang pernah dipegangnya, Riset dan Teknologi (Menristek), Perhubungan (Menhub), dan Sekretaris Negara (Mensesneg).Terakhir Hatta Rajasa menjabat Menko Perekonomian.
Faktor mendasar yang membuat Hatta Rajasa merupakan sosok ideal berduet dengan Jokowi terletak pada alasan psikologis, kemanusiaan dan profesional. Sehingga dari berbagai pertimbangan, termasuk profesionalisme, Hatta Rajasa merupakan sosok yang tepat diduetkan dengan Jokowi.
Menteri yang paling kaya pengalaman ini, bakal rugi jika dia sendiri masih melirik kandidat partai lain. Dengan PDIP, Hatta dikenal mempunyai hubungan yang baik. Khususnya dengan mendiang Taufiq Kiemas, suami Megawati yang juga sama dengan Hatta berasal dari Palembang.
Hubungan baik itu dimanfaatkannya untuk mengakhiri sisa-sisa perseteruan politik antara TK dengan Presiden SBY. Peran mediasi dilakukan Hatta Rajasa pada awal-awal pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I, tahun 2005.
Saat itu status Hatta Rajasa belum lagi berbesanan dengan Presiden SBY. Cara Hatta Rajasa mengakhiri perseteruan TK dengan SBY, sangat elegan. Hatta mengundang TK ke Palembang dan di sanalah TK bertemu secara kebetulan dengan SBY.
Pertemuan itu seperti mengingatkan nostalgia dari ketiga tokoh tentang ibukota Sumatera Selatan. Sebab SBY sendiri ketika sebagai jenderal aktif, pernah menjadi Panglima Kodam Sriwijaya yang berpusat di Palembang.
Peran mediasi ini tidak bisa dianggap sebagai sebuah pekerjaan yang gampang. Apalagi pelaksanaannya dilakukan saat emosi di antara dua pihak yang berseteru sedang panas-panasnya.
Hatta sebagai mediator SBY dan kubu Teuku Umar, bisa dianggap berhasil. Karena pada akhirnya hubungan kaku antara SBY dan TK mencair.Di saat hubungan SBY dan TK sudah mencair, Hatta Rajasa juga melobi TK agar mengizinkan puterinya Puan Maharani masuk ke Sekretariat Kabinet.
Tujuannya agar Puan memiliki pengetahuan praktis dan pengalaman lapangan tentang denyut pekerjaan di jantung birokrasi negara. Gagasan ini tidak terwujud. Namun adanya gagasan itu telah mencairkan kekakuan yang selama bertahun-tahun mengganjal hubungan dua elit politikus nasional.
Oleh karenanya masuknya Hatta Rajasa dalam duet PDIP, diperkirakan tidak akan menimbulkan goncangan. Bahkan bagi Puan Maharani, Ketua DPP PDIP, sekaligus Ketua Fraksi PDIP di DPR-RI, masuknya Hatta Rajasa dalam duet PDIP bukan sesuatu yang bertentangan dengan ideologi partai.
Bahkan secara pribadi sebagai anak semata wayang TK dan Megawati, masuknya "Uwak atau Paman Hatta", bisa menjadi semacam obat pengingat rindu almarhum TK. Kalaupun masuknya Hatta Rajasa melahirkan tudingan sebagai sebuah rantai nepotisme dan aliansi kedaerahan, biarlah Hatta Rajasa sendiri yang harus menghadapi dan mengatasinya.
Last but not least important, kata orang yang suka berbahasa planet, secara politik, Hatta Rajasa sebagai Ketua Umum DPP PAN, juga memiliki portofolio yang kuat. Artinya, jika Hatta berkoalisi dengan PDIP, koalisi itu bukan sesuatu yang dipaksakan. Koalisi itu memiliki alasan yang kuat.
Kedua partai juga tidak pernah saling menyerang. PAN dan PDIP sama-sama partai terbuka kendati PAN lebih kental dengan ke-Islamannya sedangkan PDIP lebih kental ideologi kemajemukannya. Jika keduanya digabung, koalisi tersebut akan merupakan sesuatu yang menyejukkan.
Karena itu dapat dipastikan, jika dua-duanya punya keinginan yang sama, konkritisasi duet PDIP-PAN, tidak akan mengalami kesulitan sama sekali.
Sumber :
inilah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar