Senin, 03 Maret 2014

Kalau Jokowi Tak Tegas, sampai Kapan Pun Tanah Jakarta Tak Akan Cukup

Relokasi warga di bantaran kali dan waduk merupakan salah satu tantangan yang harus mendapatkan solusi untuk mengatasi masalah banjir di DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menyodorkan rumah susun sebagai solusi untuk relokasi warga bantaran itu.
Namun, relokasi warga bantaran kali dan waduk juga tak mudah. Ada masalah administrasi dan kebutuhan lahan menjadi kendala.
Sebagian warga bantaran kali tak punya kartu tanda penduduk (KTP) Jakarta, bahkan ada yang sama sekali tak ber-KTP. Belum lagi soal lahan yang terbatas di DKI Jakarta untuk lokasi pembangunan rusun.
"Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus melayani dulu warga yang ber-KTP DKI. Kalau tidak ada ketegasan itu, sampai kapan pun tanah Jakarta tidak akan cukup," kata pengamat perkotaan, Nirwono Yoga, kepada Kompas.com, Senin (3/2/2014).
Nirwono menilai, memberikan rumah susun kepada warga yang tidak memiliki dokumen resmi sama saja dengan memberikan kesempatan bagi para pendatang ilegal untuk terus datang ke Jakarta dan menduduki tanah yang bukan kepemilikannya.
Nirwono mengatakan, Pemprov DKI perlu sesering mungkin melakukan pendataan penduduk bantaran kali. Idealnya, sebut dia, tiga bulan sekali. Tujuan pendataan tersebut, kata dia, ialah untuk mencegah bertambahnya warga bantaran kali yang datang dari daerah-daerah ketika rumah susun telah rampung pembangunannya.
Menurut Nirwono, peruntukan unit rumah susun yang akan dibangun saat ini adalah bagi warga bantaran kali ber-KTP DKI yang telah lama tinggal di kawasan tersebut. "Jangan sampai ketika rusunnya nanti telah jadi, rusunnya ternyata tidak cukup akibat tidak adanya proses pengawasan terhadap jumlah warga bantaran kali selama proses pembangunan rusun," kata dia.
Ujung tombak pengawasan tersebut, kata Nirwono, adalah para lurah dan camat. Mereka, ujar dia, seharusnya adalah yang paling tahu persis siapa saja warganya. Pendataan, imbuh dia, akan mendapatkan tiga kategori warga, yakni mereka yang memiliki KTP DKI Jakarta, warga tak ber-KTP DKI Jakarta tetapi memiliki KTP daerah lain, dan warga yang sama sekali tak memiliki KTP.
Warga bantaran kali dengan KTP DKI, menurut Nirwono, harus menjadi prioritas dalam program rumah susun ini. Adapun untuk warga tak ber-KTP DKI tetapi memiliki KTP dari daerah lain, dia berpendapat sudah selayaknya dipulangkan ke daerah asal masing-masing. "Ini harus ada kewenangan pemerintah tingkat pusat karena urusan pemulangan kan melibatkan antardaerah," kata dia.
Sementara itu, untuk warga yang sama sekali tidak memiliki KTP, Nirwono menyarankan agar Pemprov DKI segera melakukan koordinasi dengan pemda-pemda yang ada di kawasan penyangga, seperti di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, untuk membangun rusun di wilayah itu. Nantinya, warga tak ber-KTP itu ditempatkan di sana.
Menurut Nirwono, pembangunan rumah susun tidak boleh dipusatkan di Jakarta saja, tetapi juga harus dibangun di kawasan penyangga. Untuk itu, Pemprov DKI perlu melakukan koordinasi pula dengan pemerintah pusat. "Pemerintah yang ada di Bodetabek bertugas mencari lahan yang strategis. Nanti pemerintah pusat dan Pemprov DKI membantu biaya pembangunan rumah susun beserta infrastrukturnya," kata dia.
"Idealnya pembangunan rumah susun tidak seluruhnya ada di Jakarta. Rusun di Jakarta hanya untuk yang ber-KTP DKI. Yang KTP daerah, silakan pulang ke daerah. Yang sama sekali tidak punya KTP, silakan ditampung di rumah susun, tapi di Bodetabek," ujar dia.

Problem relokasi menurut Jokowi
Saat berbincang di redaksi Kompas.com beberapa waktu lalu, Jokowi memaparkan, ada dua persoalan yang membayangi kebijakannya terkait relokasi warga yang tinggal di bantaran kali dan bantaran waduk. Pertama, relokasi mengharuskan warga yang jadi targetnya memiliki dokumen identitas resmi. Padahal, tidak semua warga bantaran memiliki dokumen tersebut.
Kondisi warga tanpa identitas tersebut tak bisa diterima dalam prosedur birokrasi sehingga relokasi warga terancam gagal. "Saya maunya masuk rusun sajalah pertamanya. Administrasinya itu baru ikut. Nah, administrasi kita kacau. Ada anak yang enggak ada akta, sekeluarga enggak punya KTP. Birokrasi yang kayak begitu enggak bisa nerima. Mau buat apa dong?" kata Jokowi.
Persoalan kedua, lanjut Jokowi, adalah kurangnya rumah susun di Jakarta untuk menampung warga dari bantaran kali. Dari perhitungan Jokowi itu, Jakarta mesti membangun sekitar 8.633 blok rusun. Ancar-ancarnya, sebut dia, satu blok rusun terdiri dari enam lantai dengan masing-masing blok memiliki 120 hunian.
Menurut Jokowi, membangun rusun bukan perkara mudah. Jika satu blok membutuhkan lahan seluas 330 meter persegi, Pemprov DKI butuh 2.844 hektar. Luas itu nyaris setara dengan 30 persen luas Jakarta. "Bayangkan saja di mana Jakarta tanah segitu? Kita nyari lahan dua hektar saja susah. Ini lagi, ribuan hektar begitu," lanjutnya.
Untuk memecahkan masalah tersebut, Jokowi mengaku tengah melirik daerah pinggiran DKI Jakarta sebagai lokasi pembangunan rusun, misalnya Marunda, Rorotan, Cengkareng, Cakung, dan sebagainya. Itu pun, lanjutnya, Pemprov DKI perlu membangun sejumlah infrastruktur terlebih dahulu supaya warga bantaran kali bersedia dipindahkan ke sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar