Senin, 03 Maret 2014

Tak Percaya Bocoran, Pengamat Masih Menduga-duga Adanya Tarik Menarik Kubu Mega dan Kubu Jokowi

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mewacanakan deklarasi calon presiden Maret 2014 ini, atau sebelum pemilihan legislatif dilaksanakan 9 Arpil mendatang.
Meskipun telah ada bocoran dari sumber internal PDIP yang dapat dipercaya bahwa PDIP penetapan capres telah terjadi 2 minggu yang lalu, tetapi sejauh ini para pengamat belum yakin benar siapa calon presiden yang akan diusung, apakah mantan Presiden Megawati Soekarnoputri ataukah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi)? Berikut pendapat para pengamat yang belum meyakini bocoran yang diperoleh Tempo.
Pengamat politik dari The Indonesia Institute Hanta Yudha dan Pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia Hamdi Muluk, kemungkinan itu masih jauh.
Hanta mengatakan, sejauh ini dua kubu masih tarik-menarik di tubuh PDIP. Satu kubu menginginkan Megawati yang sudah dua kali maju ikut pada pemilihan presiden, yakni pada Pilpres 2004 dan 2009 namun selalu kalah.
Kubu lainnya menjagokan Jokowi, mantan Wali Kota Solo yang kini selalu bertengger posisi pertama dalam banyak surevei sebagai tokoh pemilik elektabilitas paling tinggi.
"Setahu saya, bersasarkan dari luar dan dari dalam, analisis informasi yang saya dapat, PDIP menurut saya belum ada keputusan Mega atau Jokowi," kata Hanta, Minggu (2/3/2014) kemarin.
Hanta mengatakan Jokowi tidak mengetahui keputusan PDIP. "Kalau orang menganggap sudah pasti itu, ya belum," katanya.
Menurut analisis Hanta, bila Jokowi dicalonkan PDIP sebagai presiden, ia yakin Megawati akan mengumunkannya sebelum Pemilu Legislatif 2014. "Karena untung, ngapain nunggu lama-lama," katanya.
Tetapi bila sampai 9 April 2014 belum diumumkan calon presiden dari PDIP maka, tujuannya terdapat dua poin.
"Mega yang akan maju, atau Jokowi yang akan dimajukan, atau Mega dipasangkan Jokowi. Jokowi mau enggak dijadikan cawapres? Atau Jokowi dengan siapa, atau Jokowi dengan trah Bung Karno, atau Mega dengan siapa? Jadi tarik menarik masih sangat kuat," ungkapnya.
Prof Hamdi menilai, masuknya Jokowi sebagai juru kampanye PDIP hanya memanfaatkan popularitas nama Gubernur DKI Jakarta tersebut agar PDIP bisa meraih suara optimal di pemilu legislatif (pileg) 2014.
Pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia ini mengatakan elektabilitas PDIP bisa terdongkrak jika mengumumkan Jokowi sebagai calon Presiden sebelum hari pencoblosan pileg. Namun bila tidak diumumkan sebelum pileg, belum tentu suara PDIP terdongkrak.
"Jokowi hanya juru kampanye saja toh, dan belum tentu calon Presiden. Katakan saat pileg PDIP dapat 24 persen suara. Tiba-tiba capresnya bukan Jokowi. Masyarakat akan marah, merasa dikhianati," ujar Hamdi kepada TRIBUNnews.com.
"Kalau masyarakat lihat, ternyata bukan Jokowi capres anda, ternyata orang lain. Jangan main-main juga. Hitung dengan matang kemungkinan-kemungkinan itu," lanjutnya.
Mengenai kabinet bayangan yang dibentuk PDIP, Hamdi menilai agak lucu dan aneh. Karena menurutnya hak untuk menentukan susunan kabinet adalah hak prerogatif Presiden, dan bukan hak parpol. Ia menuturkan saat ini saja belum jelas siapa capres yang diusung PDIP.
"Sekarang yang paling penting, siapa Presidennya. Agak aneh PDIP membuat kabinet bayangan. Ini kan sistem presidential, Menteri itu kan hak prerogatif Presiden. Tanya dulu dong Presidennya, Presidennya siapa belum jelas," ujarnya.
"Tidak mendongkrak juga (isu kabinet bayangan PDIP) untuk suara PDIP. Orang sekarang pengen tahu, siapa capres anda," tandasnya.
Hamdi Muluk mengatakan kampanye merupakan strategi untuk merayu orang. Dalam ilmu psikologi, merayu dan mempengaruhi orang bertujuan agar dapat memilih partai secara positif.
"Jurkam memang penting, cari siapa orang paling populer, yang disenangi orang. Dia (Megawati) realistis, Jokowi lebih dahsyat darinya. Sekarang Jokowi lagi top-topnya. PDIP berpikir rasional, rugi kalau tak memanfaatkan pesona Jokowi. Nama Jokowi lebih dahsyat dari Mega untuk kampanye PDIP," kata Hamdi.
Jika Megawati dinilai tidak pede kampanye untuk PDIP tanpa Jokowi, Hamdi menduga mungkin saja Jokowi menjadi jurkam nasional dalam konteks Pileg.
"Tapi jika ternyata setelah pileg, PDIP tidak mencapreskan Jokowi, ia hanya diperalat sebagai votgeter," paparnya.
"Andaikan ternyata capresnya Megawati, kemungkinan orang atau pemilih bisa berbalik ke partai lain. Resikonya bisa fatal, jika ternyata tiket capres diambil Megawati," kata Hamdi.

Sumber :
tribunnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar