Berharap masalah kemacetan Jakarta sirna dalam satu tahun kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) - Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memang bagai pungguk merindukan bulan. Namun, saat mass rapid transit akhirnya dimulai pembangunannya dan monorel kembali dilanjutkan, harapan warga pun tumbuh.
Mass rapid transit (MRT) di Jakarta diharapkan segera terwujud setelah proses pembangunan dimulai 10 Oktober silam. Jokowi pun menyatakan selalu berkaca dari rencana pembangunan proyek angkutan massal yang sempat terbengkalai pada era kepemimpinan sebelumnya.
Untuk itu, ia berjanji mengawal sendiri pembangunan MRT dan monorel agar kereta dalam kota ini nanti nyata ada. Khusus MRT, dijanjikan bisa beroperasi tahun 2017.
Di luar impian memiliki angkutan massal modern yang fungsional dan membuat perubahan dalam perwajahan kota Jakarta, harapan warga kian melambung kala beberapa kebijakan jangka pendek untuk mengatasi kemacetan juga telah dirintis realisasinya oleh duet Jokowi-Ahok.
Beberapa langkah untuk mengatasi kemacetan yang telah dikerjakan pada tahun pertama pemerintahan keduanya, antara lain, penataan simpul kemacetan di pasar-pasar besar di Jakarta, seperti Tanah Abang, Pasar Minggu, dan Jatinegara. Di Pasar Tanah Abang, yang merupakan pasar garmen terbesar di Asia Tenggara, kini arus lalu lintas relatif lancar setelah ratusan pedagang kaki lima dipindahkan ke Blok G Tanah Abang.
Upaya mengembalikan fungsi jalan raya juga dilakukan dengan menertibkan parkir liar di badan jalan. Langkah yang dilakukan petugas adalah mencabut pentil roda sepeda motor atau mobil. Dengan langkah ini, kendaraan yang ditindak bisa lebih banyak ketimbang menggembok ban atau menderek kendaraan ke kantor suku dinas perhubungan setempat atau kantor polisi. Tindakan ini juga ditiru di sejumlah kota lain di Indonesia.
Tersandera masalah
Namun, mengatasi kemacetan tak sesederhana mencabut pentil atau menertibkan PKL. Menurut catatan Jabodetabek Public Transportation Policy Implementation Strategy (JAPTraPIS), ada lebih dari 53 juta perjalanan per hari di wilayah Jabodetabek pada 2010 dan 17 juta di antaranya adalah perjalanan lintas kabupaten/kota. Karena itu, penyediaan transportasi massal dan angkutan reguler sebagai angkutan pengumpan sangat dibutuhkan.
Pada tahap ini, Pemprov Jakarta tidak bisa bekerja sendiri, tetapi harus bergandengan tangan dengan pemda sekitar, hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran pemerintah pusat dalam mengatasi kemacetan. Jika pemerintah pusat hanya berpangku tangan bahkan membanjir dengan mobil murah seperti yang dilakukan saat ini, niscaya usaha Jokowi-Ahok berujung di NOL BESAR!
Saat ini, tersedia kereta api dan bus kota. Kereta api, baik KRL maupun kereta lokal, menjadi andalan para komuter lintas provinsi. Namun, kapasitas angkut kereta api masih jauh dibandingkan dengan kebutuhan perjalanan komuter. Hingga tahun 2013 ini, rata-rata perjalanan kereta api mengangkut sekitar 600.000 orang per hari.
Adapun bus antarkota masih menghadapi persoalan daya tampung kecil, ketiadaan standar pelayanan minimal sehingga pengguna tidak mendapatkan jaminan keamanan dan kenyamanan, serta masalah waktu tempuh yang sering terganjal kemacetan di jalan.
Persoalan lain yang masih dihadapi angkutan umum di Jakarta adalah penataan rute agar efektif. Selama ini, penumpang harus berkali-kali berganti angkutan untuk sampai tujuan. Hal ini membuat angkutan umum cenderung memboroskan waktu dan uang bagi penggunanya. Belum lagi soal buruknya armada angkutan umum dan sopir ugal- ugalan yang selalu memicu kecelakaan.
Di sisi lain, penataan organisasi angkutan massal satu-satunya milik Jakarta, yaitu transjakarta, jauh dari tuntas. Transjakarta yang saat ini masih dikelola unit pengelola (UP) dirasakan belum memadai untuk mengakomodasi pengelolaan yang lebih mandiri.
Rencana pengalihan UP menjadi BUMD belum juga terwujud hingga kini. Padahal, dengan BUMD, pengelolaan transjakarta diharapkan bisa lebih baik. Salah satunya terkait pendapatan BUMD yang tidak hanya bergantung pada tiket dan subsidi saja, tetapi juga bisa bersumber dari berbagai hal, seperti pendapatan dari pengelolaan halte.
Kepada Kompas, Kamis (10/10/2013) lalu, Jokowi menyatakan baru pada 2014, itu pun mungkin di akhir tahun, 1.000 bus baru untuk menggantikan armada bus sedang yang bobrok akan terealisasi. Demikian juga dengan janji pengadaan 1.000 bus baru untuk transjakarta. Pembenahan sistem manajemen angkutan umum juga baru akan dilakukan tahun depan.
Hambatan internal
Terlepas dari beberapa masalah yang menyandera realisasi penataan transportasi di Jakarta, Darmaningtyas dari Masyarakat Transportasi Indonesia mengingatkan, ada langkah-langkah kecil yang diyakini mampu mengurai simpul-simpul kemacetan. Kuncinya adalah duet Jokowi-Ahok harus bisa mengerahkan semua sumber dayanya, yaitu semua dinas hingga wali kota dan jajaran di bawahnya.
Penataan PKL dan lalu lintas di sekitar pasar besar di Jakarta adalah salah satu ide yang disampaikan Darmaningtyas melalui surat terbuka bagi Jokowi-Ahok ketika keduanya baru saja menjabat gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta sekitar setahun lalu.
Meski realisasi penataan sekarang ini dianggap cukup bagus, tetap ada masalah terkait koordinasi antarinstansi yang berpotensi mengganjal, bahkan menggagalkan program tersebut. Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono saat menertibkan PKL, angkutan ngetem, dan parkir liar di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, empat bulan silam, mengeluh karena ia harus mencarikan tempat relokasi bagi sekitar 2.000 pedagang.
"Ada yang diperbolehkan memakai area terminal untuk PKL yang khusus berjualan pada malam hari karena terminal juga sepi kalau malam. Sebagian lagi didorong menempati lantai dua dan tiga di kompleks pasar," katanya.
PKL yang pindah ke dalam pasar sampai saat ini mengeluh kekurangan konsumen hingga 80 persen dibandingkan dengan ketika masih membuka lapak di jalanan. Upaya pemerintah kota setempat bersama PD Pasar Jaya belum optimal untuk menarik pembeli agar berkenan naik ke lantai dua.
Pengamat perkotaan Yayat Supriyatna mengatakan, butuh edukasi terus-menerus kepada warga dan konsumen agar mau menaati aturan, seperti parkir di lahan parkir resmi yang dikelola pihak pasar baru kemudian berbelanja di tempat semestinya.
Untuk mengenalkan dan menanamkan kebiasaan baru itu, butuh kerja keras dari dinas di luar dinas perhubungan, di antaranya dinas pertamanan, dinas pendidikan, serta dinas koperasi, UMKM, dan perdagangan. Wali kota beserta jajarannya yang memang bertanggung jawab di tingkat kota berwenang mengawal terus realisasi kebijakan.
Dinas koperasi, UMKM, dan perdagangan, misalnya, seharusnya saat ini sudah bisa memaparkan dan merintis programnya untuk mendata PKL di seluruh Jakarta, terutama yang mengokupasi badan jalan. Kemudian, memetakan tempat-tempat yang strategis untuk penampungan PKL dan berbagai hal yang dibutuhkan untuk relokasi.
Dinas pertamanan bertanggung jawab menata, membersihkan, dan melengkapi fasilitas trotoar. Trotoar adalah fasilitas penting yang bisa memudahkan masyarakat bermobilitas dengan berjalan kaki atau sebagai sarana berpindah-pindah moda transportasi umum.
Dinas pendidikan berwenang mengampanyekan pola hidup yang benar pada setiap siswa. Hal ini bisa diturunkan dalam kurikulum pendidikan juga dalam tugas dan wewenang kepala sekolah hingga guru. Sekolah menjadi pusat pembelajaran setiap siswa untuk disiplin.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Azas Tigor Nainggolan pernah menyindir sejumlah sekolah yang malah menjadi simpul kemacetan karena banyaknya mobil terparkir untuk antar jemput siswa. Di sisi lain, banyak sekolah menengah pertama dan atas yang sebagian besar muridnya belum berhak memiliki SIM malah di depan gerbang sekolah dipadati sepeda motor dan mobil milik murid-muridnya.
Kemudian, jika ribuan anggota satpol PP di tingkat provinsi ataupun yang tersebar di tingkat kota disiagakan untuk menegakkan ketertiban umum, sudah pasti parkir liar, PKL, serta sejumlah praktik alih fungsi trotoar dan jalan secara ilegal bisa dicegah. Akan tetapi, di tangan siapakah wewenang menggerakkan semua instansi itu agar turut aktif fokus mengurai simpul kemacetan?
Jokowi sampai kini tetap setia blusukan ke pasar, kali, sampai ke kelurahan demi mengontrol anak buahnya. Perhatiannya terpecah dalam upaya menangani berbagai permasalahan yang membelenggu Jakarta. Mungkin, akan lebih efektif jika dinas-dinas dan wali kota direkrut dalam tim khusus untuk mengurai kemacetan sehingga pelaksanaan kebijakan dan pengawasannya lebih mudah dilakukan.
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar