Jumat, 22 Agustus 2014

Persetujuan Pengunduran Diri Jokowi Adalah Awal Kematian Ambisi Prabowo untuk Menguasai Negeri

Setelah Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh permohonan Prabowo, Joko Widodo (Jokowi) tidak otomatis dilantik menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Jokowi terlebih dahulu harus mengundurkan diri dari jabatannya sekarang, yaitu Gubernur DKI Jakarta. Namun, mekanisme pengunduran diri tersebut harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, dimana pengaruh baik PDIP maupun Jokowi di DPRD DKI Jakarta terbilang miskin  ditambah lagi hasutan Prabowo untuk menggagalkan pelantikan presiden RI ke-7 sangatlah masif dilakukan.
Hal ini berarti pengunduran diri Jokowi ini sangat tergantung pada proses politik di parlemen DKI Jakarta yang diprediksi tidak akan semudah membalikkan tangan. Sikap Jokowi yang sangat jumawa menerima partai koalisi tanpa syarat, tanpa embel-embel juga menambah parah kondisi perpolitikan paska Pilpres 2014. Keberhasilan Jokowi mengundurkan diri, bagi Prabowo adalah awal pembunuhan karirnya sebagai calon presiden yang telah dirintisnya dengan iklan masif di media elektronik dengan trilyunan rupiah dalam waktu puluhan tahun. Hilangnya kesempatan Prabowo untuk berkuasa bagai kiamat yang melanda dirinya, kesempatan untuk maju telah benar-benar dihabisi oleh Jokowi. Uang dan umurnya dihabiskan sia-sia hanya untuk sebuah kegagalan. Yang lebih memalukan lagi adalah lawan yang dihadapi Prabowo bukanlah lawan yang sepadan, dia hanyalah seorang penjual meubel dan anak tukang kayu pula. Sungguh suatu pukulan yang sangat memalukan, perihnya akan terus terasa sampai nyawanya lepas dari raganya dan orang membawa jasatnya ke liang lahat.
“Memang persyaratannya harus begitu. Pak Jokowi harus mundur, tidak boleh rangkap dua jabatan karena gubernur pejabat negara dan presiden juga pejabat negara. Oleh karena itu, harus disetujui dulu pemberhentiannya oleh DPRD,” kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam keterangan pers di Gedung Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Jakarta, Jumat (22/8/2014).
Gamawan mengungkapkan, partai koalisi Jokowi di DKI Jakarta hanya 50 kursi dari 110 kursi. Padahal, Jokowi harus mendapatkan persetujuan setengah plus satu dari anggota DPRD atau 60 kursi.
“Partai koalisi Jokowi ada 50 kursi di DPRD DKI Jakarta. Kalau total di DPRD ada 110 kursi berarti ya 60 kursi persetujuan untuk dapat mengizinkan pengunduran diri Jokowi,” ujarnya.
Namun, Gamawan menilai bahwa bisa saja tidak semua anggota DPRD hadir dalam rapat pembahasan pengunduran diri gubernur. Intinya, 2/3 dari DPRD DKI hadir, maka rapat tersebut sah.
“Jadi kan 2/3 yang hadir di rapat itu nanti ambil keputusan 50 persen plus satu. Kalau Pak Jokowi koalisinya solid, yang 50 kursi itu solid, itu sudah tinggi persentasenya. Apalagi yang koalisi Merah Putih kan belum tentu utuh semua, jadi saya kira mudah-mudahan akan baik,” tutur Gamawan.
Jika DPRD menyetujui pengunduran diri Jokowi, lanjut Gamawan, maka tidak perlu SK lagi dari Mendagri.
“Nanti baru gubernurnya diberhentikan oleh Presiden. Pokoknya sebelum tanggal 20 Oktober. Berarti sebelum tanggal 20 Oktober itu harus sudah ada pemberhentiannya,” katanya.
Gamawan juga tidak mau berandai-andai apakah DPRD menolak atau menerima pengunduran diri Jokowi. Tetapi dia mengakui bahwa pihaknya sudah menyiapkan langkah antisipatif jika Jokowi tidak dilantik tanggal 20 Oktober karena tidak mendapat izin DPRD.
Dia juga mengatakan bahwa jabatan gubernur DKI Jakarta akan diisi oleh wakil gubernur Basuki Tjahja Purnama atau biasa disapa Ahok. Kemudian, Ahok mengajukan nama-nama yang akan menjadi wagub dari partai pengusungnya, minimal dua orang.
“Nanti DPRD akan mengusulkan kepada presiden melalui Mendagri untuk mengangkat Ahok sebagai gubernur. Jadi akan terbit SK Gubernur. Setelah itu, Ahok mengajukan nama-nama wakil gubernur dari partai pengusung minimal dua orang. Karena masa jabatan lebih dari 18 bulan, maka tentu DPRD akan memilih wagub baru,” paparnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar