Setelah Mahkamah Konstitusi yang menolak seluruh permohonan
Prabowo, Joko Widodo (Jokowi) tidak otomatis dilantik menjadi orang nomor
satu di Indonesia.
Jokowi terlebih dahulu harus mengundurkan diri dari
jabatannya sekarang, yaitu Gubernur DKI Jakarta. Namun, mekanisme
pengunduran diri tersebut harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, dimana pengaruh baik PDIP maupun Jokowi di DPRD DKI Jakarta terbilang miskin ditambah lagi hasutan Prabowo untuk menggagalkan pelantikan presiden RI ke-7 sangatlah masif dilakukan.
Hal ini berarti pengunduran diri Jokowi ini sangat tergantung pada proses politik di parlemen DKI Jakarta yang diprediksi tidak akan semudah membalikkan tangan. Sikap Jokowi yang sangat jumawa menerima partai koalisi tanpa syarat, tanpa embel-embel juga menambah parah kondisi perpolitikan paska Pilpres 2014. Keberhasilan Jokowi mengundurkan diri, bagi Prabowo adalah awal pembunuhan karirnya sebagai calon presiden yang telah dirintisnya dengan iklan masif di media elektronik dengan trilyunan rupiah dalam waktu puluhan tahun. Hilangnya kesempatan Prabowo untuk berkuasa bagai kiamat yang melanda dirinya, kesempatan untuk maju telah benar-benar dihabisi oleh Jokowi. Uang dan umurnya dihabiskan sia-sia hanya untuk sebuah kegagalan. Yang lebih memalukan lagi adalah lawan yang dihadapi Prabowo bukanlah lawan yang sepadan, dia hanyalah seorang penjual meubel dan anak tukang kayu pula. Sungguh suatu pukulan yang sangat memalukan, perihnya akan terus terasa sampai nyawanya lepas dari raganya dan orang membawa jasatnya ke liang lahat.
“Memang persyaratannya harus begitu. Pak Jokowi harus mundur, tidak
boleh rangkap dua jabatan karena gubernur pejabat negara dan presiden
juga pejabat negara. Oleh karena itu, harus disetujui dulu
pemberhentiannya oleh DPRD,” kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
dalam keterangan pers di Gedung Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
Jakarta, Jumat (22/8/2014).
Gamawan mengungkapkan, partai koalisi Jokowi di DKI Jakarta hanya 50
kursi dari 110 kursi. Padahal, Jokowi harus mendapatkan persetujuan
setengah plus satu dari anggota DPRD atau 60 kursi.
“Partai koalisi Jokowi ada 50 kursi di DPRD DKI Jakarta. Kalau total
di DPRD ada 110 kursi berarti ya 60 kursi persetujuan untuk dapat
mengizinkan pengunduran diri Jokowi,” ujarnya.
Namun, Gamawan menilai bahwa bisa saja tidak semua anggota DPRD hadir
dalam rapat pembahasan pengunduran diri gubernur. Intinya, 2/3 dari
DPRD DKI hadir, maka rapat tersebut sah.
“Jadi kan 2/3 yang hadir di rapat itu nanti ambil keputusan 50 persen
plus satu. Kalau Pak Jokowi koalisinya solid, yang 50 kursi itu solid,
itu sudah tinggi persentasenya. Apalagi yang koalisi Merah Putih kan
belum tentu utuh semua, jadi saya kira mudah-mudahan akan baik,” tutur
Gamawan.
Jika DPRD menyetujui pengunduran diri Jokowi, lanjut Gamawan, maka tidak perlu SK lagi dari Mendagri.
“Nanti baru gubernurnya diberhentikan oleh Presiden. Pokoknya sebelum
tanggal 20 Oktober. Berarti sebelum tanggal 20 Oktober itu harus sudah
ada pemberhentiannya,” katanya.
Gamawan juga tidak mau berandai-andai apakah DPRD menolak atau
menerima pengunduran diri Jokowi. Tetapi dia mengakui bahwa pihaknya
sudah menyiapkan langkah antisipatif jika Jokowi tidak dilantik tanggal
20 Oktober karena tidak mendapat izin DPRD.
Dia juga mengatakan bahwa jabatan gubernur DKI Jakarta akan diisi
oleh wakil gubernur Basuki Tjahja Purnama atau biasa disapa Ahok.
Kemudian, Ahok mengajukan nama-nama yang akan menjadi wagub dari partai
pengusungnya, minimal dua orang.
“Nanti DPRD akan mengusulkan kepada presiden melalui Mendagri untuk
mengangkat Ahok sebagai gubernur. Jadi akan terbit SK Gubernur. Setelah
itu, Ahok mengajukan nama-nama wakil gubernur dari partai pengusung
minimal dua orang. Karena masa jabatan lebih dari 18 bulan, maka tentu
DPRD akan memilih wagub baru,” paparnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar