Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual mengatakan pemerintahan
presiden terpilih Joko Widodo hanya punya satu cara cepat untuk membuat
ruang fiskal, yaitu memangkas subsidi bahan bakar minyak. Namun jika
Jokowi enggan melakukan hal tersebut, David menyebut dua cara yang bisa
dilakukan. "Efisiensi anggaran dan optimalisasi pendapatan," kata David
saat dihubungi, Jumat (22/8/2014).
Dua hal ini, kata dia,
dapat dilakukan pada anggaran yang bersifat tak wajib. Karena, anggaran
yang wajib seperti kesehatan dan pendidikan jumlahnya sudah diatur dalam
undang-undang. "Kalau kurang nanti bisa diimpeach," kata dia.
Untuk
optimalisasi pendapatan, David mengatakan, tak bisa dilakukan dengan
segera. Musababnya, pendapatan non pajak dari komoditas dan sumber daya
alam juga tengah melemah. Pendapatan dari pajak, kata dia, juga tak bisa
dilakukan dalam jangka pendek. "Perubahan sistem pajak kan butuh waktu
lama," ujarnya.
Menurut David, pemangkasan subsidi bahan bakar
minyak sebenarnya wajar saja dilakukan asalkan sosialisasinya baik.
"Masyarakat harus diberi pengertian apa dampaknya jika naik, dan
tentunya harus disertai pembangunan infrastruktur yang memadai," kata
dia.
Sayangnya,
kata dia, saat ini kenaikan harga BBM tak lagi menjadi rasionalitas
ekonomi saja, tapi sudah bercampur dengan kepentingan politik.
"Bargaining politik sudah tak reasonable lagi untuk hal seperti ini,"
kata dia.
Kemarin,
Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri mengatakan tantangan yang
dihadapi oleh pemerintah yang baru adalah pengelolaan fiskal.
Menurutnya, Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2015 disusun
sesuai dengan baseline budget yang didasari besaran pendapatan dan
belanja negara serta pembiayaan anggaran yang tak banyak mengalami
perubahan kebijakan. [tempo]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar