Kamis, 24 April 2014

Ke Mana Arah Koalisi Gerindra?

Pemilu legislatif sudah selesai dilaksanakan, namun dari penghitungan cepat tidak ada satu pun partai politik yang bisa mengajukan capres sendiri, karena semua tidak memenuhi syarat 25 persen suara sah nasional. Oleh sebab itu mengharuskan setiap partai politik membentuk koalisi. Namun sampai saat ini peta koalisi belum ada satu pun yang mengkristal, seluruh partai yang mau berkoalisi masih bersifat cair.
Lalu kemana arah koalisi lima partai-partai yang berbasis massa Islam? Apakah mereka akan bergabung dengan PDI-P yang mengusung Joko Widodo sebagai capres? Atau mereka menjatuhkan pilihan berkoalisi dengan Golkar yang mengusung Aburizal Bakrie sebagai capres, atau malah malakukan sinergi dengan Gerindra yang mengusung capresnya Prabowo Subianto? Atau bisa juga adanya gagasan koalisi poros tengah Jilid II, atau Koalisi Indonesia Raya? Hal tersebut bisa saja menjadi suatu alternatif.
Sampai saat ini kini belum ada sinyal yang kuat yang mengindikasikan kemana parpol-parpol yang berbasis massa Islam akan berlabuh, karena peta koalisi masih sangat cair. Bahkan PDIP sebagai pemenang quick count yang diprediksi akan kebanjiran rekan koalisi ternyata baru menggandeng satu partai yaitu Partai Nasdem. Koalisi yang akan dilakukan parpol merupakan isu sentral dalam banyak pembicaraan publik selepas pemilu legislatif 9 April yang lalu.
Berkaitan dengan pembicaraan tentang koalisi, hal ini tidak boleh dibiarkan hanya menjadi kepentingan para elite. Koalisi harus ditempatkan pada wacana publik dan untuk kepentingan publik. Artinya, dalam konteks ini, publik harus mencermati dan menilai bagaimana para elite itu bermanuver dalam pembentukan koalisi politik mereka, yang dilakukan untuk menentukan pasangan kandidat pemimpin tertinggi eksekutif di negara ini. Kalangan masyarakat madani perlu mengawal agar tujuan pembentukan koalisi tetap dalam lingkup public interest, bukan elite interest.
Saya kira penting bagi media massa, para aktivis media sosial, intelektual, mahasiswa, dan para pengamat untuk bersikap kritis terhadap pembentukan koalisi dari sejumlah kekuatan partai politik yang ada. Dapat dipastikan mereka akan tampil dalam pemilihan Presiden 9 Juli mendatang, oleh sebab itu, yang perlu dipertanyakan, apakah hal itu berorientasi publik atau tidak?
Isu utama koalisi saat ini tidak boleh dibiarkan berkisar tentang siapa yang harus dipasangkan dengan calon presiden tertentu dan tidak pula boleh dibiarkan hal ini hanya berbicara tentang partai apa yang bergabung kepada partai apa, lalu, berapa poros yang akan hadir dalam konstestasi calon Wakil Presiden dan calon Presiden 9 Juli mendatang. Sebab, ketika hanya berbicara masalah itu, tidak akan ada titik temunya dengan kepentingan publik.
Kita harus mengupayakan bahwa koalisi yang terbentuk akan memberi ekspektasi positif tentang Indonesia kedepan atau 2014-2019. Sebagai contoh, apa kontribusi koalisi yang terbentuk terhadap masalah kesejahteraan rakyat, khususnya dalam aspek kesenjangan sosial yang semakin tajam dan penurunan angka kemiskinan yang subtansial? Perlu disadari, garis kemiskinan yang kita pakai sebagai dasar perhitungan angka kemiskinan tidak mencerminkan kesepakatan pandangan dunia tentang kemiskinan yang sesungguhnya terjadi.
Dengan berbicara koalisi tadi, partai-partai yang berbasis massa Islam yang hampir pasti lolos PT (parliamentary threshold) sekitar 33 persen, namun sampai saat ini belum ada satu partai pun yang secara transparan akan berkoalisi dengan siapa. Pertemuan partai-partai dan ormas Islam di rumah pengusaha almarhum Hasyim Ning tidak mengisyaratkan apa-apa, apakah akan mendukung Jokowi, Aburizal Bakrie, Prabowo atau akan membentuk suatu koalisi alternatif, seperti yang dilontarkan Amien Rais dalam pertemuan partai-partai Islam, yaitu Koalisi Indonesia Raya.
Diperkirakan PKB akan mengarah koalisinya ke PDI-P, karena kalau mau berkoalisi dengan Gerindra tidak akan mungkin karena ada Yenni Wahid di dalamnya, namun belakangan ini terlihat PKB mulai mengambil jarak lantaran pernyataan Jokowi yang tidak menginginkan koalisi bagi-bagi kursi atau koalisi transaksional. Sementara PPP yang tadinya sudah tegas mendukung Prabowo, belakangan dibatalkan oleh sejumlah pengurus teras partai tersebut, akibat terjadinya konflik di internal partai, bahkan disusul dengan penonaktifan Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali dalam Rapimnas PPP yang digelar pada Sabtu malam 19 April 2014.
Menurut kaca mata penulis partai-partai yang berbasis massa Islam pada akhirnya akan lebih memilih berkoalisi dengan Partai Gerindra dari pada dengan PDI-P atau Partai Golkar. Hal ini disebabkan beberapa faktor yang membuat peluang Partai Gerindra lebih didukung oleh partai-partai berbasis Islam daripada PDI-P dan Golkar.
Pertama, secara ideologis platform Partai Gerindra lebih bisa diterima bahkan didukung oleh partai-partai Islam, karena Partai Gerindra yang menonjolkan nasionalisme dan anti dominasi asing, hal ini lebih pas dengan aspirasi sebagian besar konstituen partai-partai berbasis massa Islam. Kedua, dilihat dari sejarah, tidak pernah ada friksi antara partai-partai berbasis massa Islam dengan Prabowo Subianto secara pribadi maupun dengan Partai Gerindra. Perlu diketahui saat masih aktif di dinas kemiliteran Prabowo Subianto dikenal sebagai sosok perwira yang selalu membela kepentingan ormas-ormas Islam yang dimarjinalkan rezim Orde Baru.
Ketiga, dengan adanya sikap PDI-P yang katanya tidak menghendaki koalisi transaksional secara tidak langsung menguntungkan posisi Partai Gerindra, di mana Prabowo akan menjadi alternatif bagi partai-partai yang kecewa terhadap sikap Jokowi dan PDI-P. Dari ke empat partai Islam yang kemungkinan lolos PT, diperkirakan hanya PKB yang tidak akan berkoalisi dengan Partai Gerindra, karena ada musuh bebuyutan Muhaimin di dalam partai Gerindra.
Hasil Rapimnas PPP tanggal 19 April 2014 malam menganulir dukungan PPP kepada Prabowo, bacapres  dari Partai Gerindra, pada hal tanggal 18 April 2014, Ketua umum DPP-PPP memberikan dukungan kepada Prabowo. Pembatalan dukungan itu menjadikan posisi Prabowo cukup kritis, karena batalnya dukungan PPP tersebut, maka Partai Gerindra masih sendirian,  padahal mereka membutuhkan tambahan sebanyak 13 persen suara lagi untuk mengusung Prabowo menjadi capres.  Artinya, Partai Gerindra memerlukan dukungan dari 2 partai lagi, agar mencukupi 25 persen suara nasional.
Kalau dilakukan koalisi antara Partai Gerindra dan Demokrat tidak saja akan meredupkan popularitas calon presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo, namun juga akan menjadi daya tarik bagi partai-partai berbasis massa Islam. Masalah aktivitas penjajakan koalisi oleh sejumlah parpol pasca pemilihan anggota legislatif pada April lalu. Menurut penulis, Partai Demokrat akan lebih nyaman berkoalisi dengan Partai Gerindra, karena berbagai alasan, salah satu alasannya adalah karena popularitas capres Prabowo Subianto lebih mempunyai nilai jual, selain komunikasi politik dengan PDI-P cukup sulit dilaksanakan. Sampai saat ini, komunikasi Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Demokrat SBY belum cair. 
Sementara di sisi lain, hubungan politik Prabowo dan Megawati juga cukup terganggu akibat kisruh Perjanjian Batu Tulis yang dinilai Prabowo merugikan pihaknya. Kondisi tersebut akan membuat Partai Gerindra dan Partai Demokrat semakin dekat untuk saling mendukung pada Pilpres Juli 2014 mendatang. Oleh sebeb itu koalisi Partai Gerindra yang paling potensial itu adalah dengan Partai Demokrat, karena Gerindra memiliki Prabowo effect yang kuat, yang akan dilapis oleh pengaruh SBY yang masih siginifikan, kalau ada kesepahaman partai–partai berbasis Islam lain seperti PKS, PAN bisa memposisikan diri untuk berkoalisi dengan Partai Gerindra.
Kalau hal ini terwujud akan ada tiga partai yang berkoalisi Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS, dengan prosentase sekitar 28 persen, sementara terhadap PPP tidak usah dihiraukan dulu sampai mereka menyelesaikan konflik di internalnya.
Gambaran ke depan yang sudah jelas tampak adalah koalisi di mana parlemen akan terdiri atas kekuatan-kekuatan partai yang terdistribusi secara merata. Pemerintahan koalisi tidak terhindarkan lagi. Publik berharap pemerintahan mendatang tidak terjebak pada koalisi bagi-bagi kekuasaan yang gagap memberikan solusi bagi persoalan-persoalan bangsa ini. Sekali lagi, kepentingan rakyat harus diletakkan di garda terdepan dalam menghitung untung dan rugi koalisi. Percayalah, jika mengutamakan masyarakat, sampai kapan pun mereka akan membela namun sebaliknya, jika melupakan rakyat, sampai kapan pun mereka akan memusuhinya.[Datuak Alat Tjumano, adalah peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia, Jakarta / detik].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar