Banjir yang terjadi di Jakarta pada musim hujan ini berlangsung lebih
lama dan lebih menyebar dibandingkan tahun 2013. Pakar Tata Kota
Nirwono Joga mengungkapkan, hujan lokal yang mengguyur Jakarta pada Rabu
(5/2/2014) kemarin, membuktikan kalau banjir bukan hanya disebabkan karena air kiriman dari daerah hulu.
"Tidak ada lagi alasan gubernur (Jokowi) dan wagub (Ahok), banjir
mengatasnamakan curah hujan yang lebat atau menyalahkan air kiriman
dari luar Jakarta," kata Joga kepada Kompas.com, Jakarta, Kamis
(6/2/2014).
Selama kurang lebih tiga pekan ini, lanjut dia, curah
hujan yang turun di daerah Jabodetabek merata, yaitu sekitar 130
milimeter per detik. Menurut Joga, curah hujan tersebut masih dalam
tahap normal. Tergenangnya kawasan ring I dan hampir seluruh wilayah ibu
kota membuktikan bahwa sistem drainase yang buruk.
Saat ini,
drainase di Jakarta telah dipenuhi sampah, lumpur, dan utilitas.
Revitalisasi drainase merupakan permasalahan lama Jakarta yang hingga
kini belum tuntas penyelesaiannya. Aliran drainase pun tidak terhubung
baik dengan sungai, waduk, dan situ yang berada di sekitarnya.
Lebih
lanjut, Joga menjelaskan, Pemprov DKI Jakarta harus berani membuat
drainase dengan diameter hingga 3 meter agar kapasitas saluran air lebih
besar. Selain itu, Pemprov DKI juga diimbau untuk membuat rencana induk
revitalisasi drainase.
Agar titik banjir
Jakarta semakin berkurang tiap tahunnya, akademisi Universitas Trisakti
ini menyarankan Pemprov DKI untuk merevitalisasi waduk yang ada di
Jakarta, daripada mengeluarkan anggaran untuk membuat waduk-waduk baru.
Menurut
Joga, antara satu waduk dengan waduk lainnya kini tidak berfungsi
optimal karena tidak terhubung dengan baik. Contohnya Waduk Melati dan
Waduk Setiabudi yang belum optimal.
"Segera harus dituntaskan
tahun ini. Karena di sana permasalahannya, daripada pusing membangun
waduk baru dan waduk di luar Jakarta," kata Joga.
Selain itu,
Pemprov DKI melalui Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) DKI
juga harus melakukan audit bangunan. Salah satu penyebab terjadinya
genangan di hampir seluruh ruas jalan di Jakarta karena daerah
peruntukkan resapan telah berubah menjadi aspal, disemen, dibeton, dan
sebagainya.
Oleh karena itu, Dinas P2B harus tegas menegakkan
peraturan kepada setiap pemilik bangunan untuk membuat sumur resapan
atau koefisien ruang hijau hingga 30 persen. Sehingga, air hujan yang
mengguyur ke daerah itu dapat diserap oleh ruang hijau maupun sumur
resapan, dan air tidak dibuang ke jalan.
Langkah selanjutnya
adalah dengan mengedukasi warga untuk tidak membuang sampah ke sungai.
Terlebih, Pemprov DKI telah memiliki peraturan daerah (Perda) nomor 3
tahun 2013 tentang pengelolaan sampah.
"Kalau Pemprov serius melakukan lima hal ini dalam jangka waktu satu tahun, saya bisa memastikan titik banjir berkurang," ujar Joga.
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar