Pidato Kebudayaan merupakan tradisi tahunan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang didirikan Gubernur Ali Sadikin (1966-1977). Diadakan sejak 1989, malam ini dengan menggandeng Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta dan pihak lainnya, DKJ kembali menggelar pidato kebudayaan yang kali ini disampaikan Karlina Supelli.
"Saya setuju dengan beliau bahwa kebudayaan bukan hanya mencakup hal-hal yang monumental belaka, bukan melulu juga menyangkut hal-hal keseharian, seperti cara kita mengisi kehidupan dari hal yang paling sederhana. Kebudayaan adalah juga bagaimana kita memperlakukan diri sendiri, orang lain dan masyarakat secara keseluruhan," kata Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo ( Jokowi ) di Taman Ismail Marzuki (TIM) malam ini, Jakarta, Senin (11/11/2013).
Karlina Supelli adalah salah satu warga terbaik yang menyampaikan pidato yang bisa merefleksikan jalan kebudayaan sebuah bangsa dari waktu ke waktu. Pidato kebudayaannya berjudul 'Kebudayaan dan Kegagapan Kita'.
"Yang mengadakan ini DKJ dengan memilih tokoh yang mampu memotret keadaan berbagai perspektif. Terpilih ibu Karlina Supelli yang bisa memotret masalah kebudayaan," ujar Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Arie Budhiman di tempat yang sama.
Terkait dengan kebudayaan, Arie menyayangkan bahwa DKI Jakarta sebagai ibu kota Indonesia belum memiliki peraturan daerah tentang kebudayaan. Pihak eksekutif sudah menyampaikan Raperda kebudayaan sejak 2012 namun hingga sekarang tidak ada tindak lanjut dari kalangan DPRD DKI Jakarta.
"Seharusnya Raperda kebudayaan jadi prioritas karena kebijakan ini bukan mengatur dinas tapi strategi kebudayaan Jakarta," terang Arie.
Dalam pidato kebudayaan ini, Karlina memotret budaya dari berbagai sisi. Pertama dirinya berorasi dan mendeskripsikan tentang hutan. Bagi masyarakat adat di seluruh Indonesia, hutan bukan hanya sekadar sebagai sumber mata pencaharian.
"Hutan adalah acuan bagi rasa merasa akan kosmos, sejarah muasal, tata hukum dan tunjuk ajar perilaku. Hutan di Kalimantan diramalkan mendekati punah bila laju pembabatan tidak berkurang," kata Karlina di atas panggung dengan background penggundulan hutan akibat tambang dan lainnya.
Di sisi lain, Karlina memotret kebudayaan sebagai peta jerih payah manusia yang tidak pernah selesai. Reformasi membawa banyak perubahan terhadap praktik-praktik pekerja budaya, khususnya menyangkut kebebasan berekspresi.
Namun, pada saat bersamaan, nalar ekonomi atau nalar korporasi semakin leluasa mencengkramkan pengaruhnya ke hampir semua bidang kehidupan.
"Sebetulnya lebih tepat dilihat sebagai kebebasan yang batas-batasnya ditentukan oleh kepentingan pasar. Bagaimana nalar ekonomi mengendalikan, mengatur, dan mengarahkan pelbagai bidang pendidikan, politik, kebudayaan dan sebagainya, semata-mata berdasarkan prinsip dan kinerja pasar," tutur Karlina.
Di sisi lain, Karlina juga memotret budaya baru masyarakat Indonesia yang disebut globalisasi. Melalui berbagai label yang menggiurkan, gaya hidup mewah, prestise dan status, serta prinsip-prinsip kenikmatan, didesakkan ke dalam benak bawah sadar konsumen.
"Konsumerisme bukan hanya soal psikologis atau gejala sosial, tetapi gejala budaya yang sengaja dirancang untuk memungkinkan mesin industri gaya hidup terus berputar. Seperti makhluk rakus yang tidak pernah kenyang," katanya.
Sumber :
merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar