Senin, 11 November 2013

Ini Solusi Jokowi Siapkan Permukiman Layak di Jakarta

Ketersediaan permukiman layak huni di Jakarta hingga kini masih sangat terbatas. Akibat gencarnya arus urbanisasi, kota seluas 662,33 kilometer persegi itu kini banyak bermunculan perkampungan kumuh.
Data Badan Pusat Statistik menyebut, hingga tahun 2011 lalu masih ada 392 rukun warga dengan luas 3119,16 hektar wilayah di Jakarta masuk kategori kumuh.
Kepala Seksi Perencanaan Perumahan Dinas Perumahan dan Gedung DKI Jakarta, Romel Pasaribu mengatakan, ada 4 kriteria yang masuk dalam lingkungan layak huni.
Yakni, tersedianya fasilitas air, listrik serta lingkungan yang bersih dan sehat. "Idealnya, kalau dalam perencanaan kami itu, satu rumahnya dihuni 4 orang," kata Romel, Kamis (7/11/2013) lalu.
Ada dua alternatif yang bisa dilakukan Pemerintah Provinsi Jakarta untuk membangun permukiman layak huni, yaitu rumah susun dan kampung deret.
Menurut Romel pemerintah provinsi DKI Jakarta akan lebih memprioritaskan pembangunan kampung deret di wilayah permukiman padat penduduk.
"Ini kampung deret, jadi kan uang pemerintah daerah itu terbatas, kami idealnya kan peremajaan, bangun rumah susun itu cukup berat, uang terbatas, tak sanggup, bangun rusun juga butuh waktu yg lama. Nah pak Jokowi (Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo) punya program kampung deret," kata Romel.
Rencananya, ada 26 lokasi di Jakarta yang akan dibangun kampung deret. Jakarta Pusat 10 lokasi, Jakarta Utara 6 lokasi, Jakarta Barat 3 lokasi, Jakarta Selatan 3 lokasi dan Jakarta Timur 4 lokasi.
Untuk penempatannya, kata Romel, dibagi menjadi tiga kategori. Warga yang tinggal di kawasan kumuh berat atau di daerah baru akan ditempatkan ke rumah susun. Sedangkan kawasan kumuh sedang dan ringan akan dibangun kampung deret.
"Sebenarnya rusun itu untuk kumuh berat, masuk ke rusun atau di daerah baru itu stok rusun. Tapi kumuh sedang dan ringan itu hanya perbaikan saja, masuk ke kampung deret,"
Alternatif lain selain rusun dan kampung deret adalah perbaikan sarana infrastruktur seperti saluran dan jalan.
"Kan gak hanya sekedar rumah, ada perbaikan sarana infrastruktur, saluran, jalan. Jadi jangan sekadar rumahnya aja yang bagus tapi lingkungannya jelek,” kata Romel.

Selain Atas Nama Banjir, Jokowi Dianggap 'Nguwongke'
Sistem transaksi penyediaan rumah di Jakarta dinilai berbau neo liberalisme yang mengikuti kebutuhan pasar. Dengan kondisi demikian rumah hanya mampu dibeli bagi mereka yang memiliki ekonomi baik dan tinggi.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, lantas mempertanyakan bagaimana dengan warga ibu kota kalangan bawah yang selama ini tidak terperhatikan.
"Nah, Pak Jokowi (Gubernur DKI Joko Widodo) masuk di situ, kebijakan perumahan yang dilakukannya misalnya bagaimana memindahkan mereka yang tinggal di wilayah banjir ke rumah susun," lanjut Yayat, Kamis (07/11/2013).
Yayat menjelaskan kebutuhan akan rumah makin tinggi namun kemampuan membeli makin rendah, sementara suplainya masih sangat terbatas. Maka prioritasnya yang terjadi sekarang adalah mengkombinasikan antara kebijakan penanggulangan banjir dibarengi dengan penyediaan perumahan murah atau rumah susun.
"Sebab tidak akan bisa atau repot jika memindahkan warga ke rumah susun tanpa ada alasan yang jelas," ujarnya. "Atas nama bencana, atas nama banjir, maka akan lebih mudah."
Dia menyebutkan sebetulnya pembangunan rumah susun telah dimulai pada era kepemimpinan gubernur sebelumnya, Fauzi Bowo. Namun pada saat itu Fauzi Bowo hanya membangun lalu membiarkan rusun tersebut kosong.
"Dulu banyak rusun dibangun tapi tidak dihuni. APBN sudah bantu rusun di Pulogadung, Marunda, kenapa dibiarin kosong?"
Kendati demikian Yayat tidak menyebut program pengadaan hunian layak berupa rumah susun pada era Fauzi Bowo tidak berhasil. "Bukan gagal, tapi gak mau repot," ucapnya.
Sekarang, kata Yayat, sama Jokowi ditawarkan. "Kamu tinggal gratis tiga bulan, dikasih televisi dan lainnya, itu artinya apa, nguwongke," jelas Yayat.
Yayat menekankan, jangan sampai sudah miskin, digusur, ditelantarkan, dan tidak diperhatikan. "Mereka kan manusia, jadi membangun kota harus memanusiakan orangnya. Kalau dimanusiakan tidak ada orang (warga) yang berontak."
Sumber :
detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar