Program Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang diluncurkan Gubernur Joko Widodo
untuk melayani kesehatan 4,7 juta jiwa penduduk DKI, pada 10 November
2012 lalu mulai dikeluhkan rumah sakit swasta. Keluhan itu berujung pada
mundurnya dua rumah sakit swasta, yakni RS Thamrin dan RS Admira resmi
dari peserta pelayan KJS.
Ini adalah persoalan yang kesekian
dari program KJS. Sebelumnya, KJS Jokowi juga pernah diterpa masalah
penyalahgunaan oleh warga mampu.
Lantas apa penyebab mundurnya rumah sakit dari KJS Jokowi?
Pihak
rumah sakit menilai program ini belum matang. Mereka merasa model klaim
asuransi yang diterapkan DKI Jakarta malah membebani.
Saat baru
diluncurkan, rumah sakit bebas mengajukan klaim berdasarkan biaya yang
dihabiskan seorang pasien. Tapi per 1 April kemarin, sesuai arahan
Kementerian Kesehatan, sistem berobat harus menerapkan pola perpaket
atau yang disebut dengan Indonesian Case Based Groups (INA CBG's). Tapi
untuk tahap awal sistem ini masih bersifat uji coba dan akan dievaluasi
kembali.
Dengan sistem ini, pola pembayaran klaim kesehatan tidak
100 persen terlunasi. Misalnya, dari 75 persen klaim berobat pasien
yang mereka lakukan, DKI hanya mampu mengcover biaya 30 persen. Padahal
biaya klaim yang dikeluarkan lebih angka itu. Rata-rata, biaya klaim
yang dikeluarkan pihak rumah sakit mencapai 43 persen.
Seperti
yang dikeluhkan RS MH Thamrin. Mereka menilai pembayaran klaim kesehatan
yang ter-cover hanya 30 persen dari biaya yang dikeluarkan. Dan itu
jelas merugikan mereka sebagai penyedia layanan kesehatan.
"Prinsip
tidak menolak tapi tetap dukung program KJS. Tapi berlakunya INA CBG's
awal April, kami kirim surat ke Kadis kami nggak sanggup. Dari hasil
simulasi yang kami lakukan, yang di cover 30 persen dari biaya yang kami
keluarkan," jelas juru bicara RS MH Thamrin, Abdul Barry.
Senada
dengan RS MH Thamrin, RS Admira juga membantah jika alasannya mundur
sebagai sikap tidak mendukung program KJS. Sebab yang mereka
permasalahkan adalah proses klaim jutaan warga tak menguntungkan.
"Sama dengan rumah sakit lainnya, kami dukung KJS," tegas Direktur Utama Rumah Sakit Admira, Chairulsjah.
Sistem
INA CBGs merupakan pola pengobatan paket untuk setiap jenis penyakit
yang di derita oleh pasien KJS. Paket tersebut terdiri dari tarif kamar
inap, jasa dokter, tindakan, obat, barang habis pakai dan lama
perawatan.
Adapun yang menghitung tarif paket tersebut adalah Tim
Case Mix dari Kemenkes. Sistem INA CBGs sudah berlaku secara nasional
di 1.200 rumah sakit swasta dan pemerintah yang tersebar di seluruh
Indonesia.
Lalu seperti apa sistem berobat paket tersebut?
Menurut Wakil Ketua Nasional Center for CaseMix (NCC) Achmad Soebagyo,
jika pasien menderita sakit usus buntu tanpa komplikasi maka rumah sakit
sudah punya paket yang tepat untuk pembiayaan seperti keluhan itu.
Dengan sistem ini, lanjut Achmad, justru rumah sakit hanya mengendalikan
satu biaya dan tidak mengurangi mutu pelayanan.
Perhitungan
paket tersebut sesuai dengan biaya yang dikumpulkan dari beberapa rumah
sakit di Indonesia. Karena untuk program Jamkesmas saat itu, kecukupan
dananya tertentu, sehingga klaim yang diberlakukan baru 75 persen dari
hitungan NCC.
"Dan pada prinsipnya selama ini tarif itu di kelas III itu masih subsidi," ucapnya.
Seiring
dengan diterapkannya KJS, sistem ini pun diujicobakan di Jakarta.
Rupanya, penerapan tarif dari rumah sakit di Jakarta malah merugi dengan
sistem ini. Padahal, 500 rumah sakit swasta di berbagai kota dapat
menjalankan sistem.
"Itu yang harus diteliti, apakah standarnya.
Nah nanti bisa kita kumpulkan rumah sakit yang keberatan itu kita tanya.
Unit costnya berapa. Jangan tarif, itu beda. Karena tarif kan mungkin
ada tambahan biaya lain," ungkapnya.
Selain soal unit cost,
masalah lain dari sistem INA CBG's adalah kurangnya jasa dokter.
Kekurangan dokter terjadi karena sistem INA CBG's masih disubsidi
pemerintah sehingga dananya terbatas.
"Nah di sini memang jasa ini juga harus diatur standar-nya," jelas Achmad.
Jadi, lanjut Achmad, inti dari permasalahan ini adalah kecukupan dana dan yang terbentur dengan kewajiban menjalankan standar.
"Nah biasanya rumah sakit melakukan cross subsidi. Misal dana dari kelas A dan B menutupi kelas III," ucapnya.
Sumber :
merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar