Kecenderungan masyarakat memilih Joko Widodo (Jokowi) tanpa PDIP muncul cukup menguat
belakangan ini. Fenomena tersebut direkam dalam sejumlah survei yang
menunjukkan masyarakat memang lebih memilih sosok Jokowi untuk Pilpres.
Namun untuk Pileg, mereka memilih parpol lain selain PDIP.
Ketua
DPP PDIP Eva Kusuma Sundari menduga kemunculan fenomena itu tidak
terjadi secara alamiah, tapi sengaja dimunculkan untuk memecah Jokowi
dan PDIP.
"Ya tidak bisa. Jika mau Jokowi, ya harus pilih
Banteng juga. Ini kan sepertinya partai-partai banyak yang bergerak
untuk mengacaukan. Jadi kalau pileg pilih partai lain, pilpres silakan
Jokowi," ujar Eva saat berbincang dengan detikcom, Rabu (2/4/2014).
Eva
mengungkapkan, internal partainya menangkap adanya upaya untuk
mengganggu PDIP agar tidak mencapai 20 persen suara dalam pileg nanti.
Salah satu gangguan itu adalah berkembangnya wacana 'Jokowi Yes, PDIP
No'.
"Karena itu kita sedang membangun upaya untuk memperjelas
misleading ini di masyarakat. Bahwa Jokowi dan PDIP itu berkorelasi. Mau
Jokowi ya pilih Banteng," tuturnya.
Salah satu upaya ditempuh
DPP PDIP, kata Eva, adalah menginstruksikan seluruh jajaran partai
hingga ke daerah agar memberi pemahaman ke masyarakat soal paket Jokowi
dan PDIP.
"Kami juga membuat reklame besar-besar, pilih banteng, pilih Jokowi," jelas Eva.
Fenomena
'Jokowi Yes, PDIP No' mulai ramai di masyarakat maupun media sosial.
Masyarakat yang mendukung pencapresan Jokowi ternyata masih bingung
dengan caleg PDIP yang akan mereka pilih. Bahkan dalam survei Charta
Politika, PDIP adalah partai nomor 4 yang tidak disukai masyarakat, di
bawah PD, PKS, dan Golkar.
Sebenarnya PDIP sudah menyadari adanya
persoalan tersebut. Karena itu Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri secara
langsung terus menyerukan agar masyarakat memilih PDIP jika ingin
Jokowi jadi presiden.
"Kalau kalian mendukung Pak Jokowi menjadi
presiden, maka pileg ini harus juga dimenangkan PDIP dulu!" orasi Mega
saat berkampanye di Lapangan BKB Sukarame, dekat Jembatan Ampera,
Palembang, Jumat (28/3/2014).
Serangan Pihak Lain
Senada dengan Eva, Wasekjen PDIP Hasto
Kristiyanto ada pihak yang "bermain" untuk melemahkan Jokowi ketika menjadi presiden nanti.
"Itu bagian dari upaya-upaya yang dilakuan pihak lain untuk membuat
jarak antara PDIP dengan Jokowi dan rakyat," kata Hasto, Rabu (2/4/2014).
Menurut Hasto,
antara Jokowi, PDIP dan rakyat adalah satu kesatuan. PDIP
mendeklarasikan Jokowi sebelum pemilu legislatif justru untuk menegaskan
Jokowi adalah PDIP dan nasib pencapresan Jokowi tergantung pada
perolehan suara PDIP.
"Apa yang kami persiapkan adalah satu
kesatuan PDIP, Jokowi dan rakyat. Makanya kemudian pada saat kampanye,
pesannya adalah PDIP hanya bisa mengusung capres apabila kami memperoleh
27,02% atau sekurangnya 25 suara," paparnya.
Soal asumsi Jokowi
bukan tokoh yang melekat dengan PDIP di beberapa iklan kampanye,
layaknya Ical dengan Golkar dan Prabowo dengan Gerindra, Hasto menjawab
justru Jokowi sudah diorbitkan jauh hari sebelum kampanye sekarang.
"Pak
Jokowi muncul jauh sebelumnya. Mulai September membacakan dedication of
life, Oktober Jokowi bersama ibu ke Waduk Pluit, kemudian datang ke UI,
UIN," tuturnya.
"Itu bagian dari penggelembangan calon pemimpin.
Jadi yang mengatakan itu pihak-pihak yang mencoba menjauhkan PDIP,
Jokowi dan rakyat. Itu bagian dari serangan-serangan yang muncul. Ya
serangan itu biasa," imbuh Hasto.
Ulah Intel
Menurut Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo, menyebut fenomena itu muncul sebagai bagian dari manuver intelijen.
"(Munculnya fenomena 'Jokowi Yes PDIP No' bagian dari) manuver Intelijen," kata Tjahjo Kumolo, Rabu (2/4/2014).
Tjahjo
tak merinci bagaimana intelijen bermanuver memunculkan wacana yang
ingin memisahkan Jokowi dengan PDIP tersebut, termasuk tak menyebut
siapa intelijen dimaksud.
Namun Tjahjo dalam beberapa kesempatan,
memang kerap menegaskan adanya permainan intelijen dalam pemilu. Dalam
konteks ini, intelijen yang menargetkan PDIP atau Jokowi dan intelijen
yang bermain untuk pemilu secara lebih luas seperti pada 2009 yang
pernah disebut Tjahjo.
"Sulit berkomentar dulu karena sudah operasi politik," tambah Tjahjo.
Fenomena
'Jokowi Yes PDIP No' itu muncul sebagai respon tingginya elektabilitas
Jokowi yang tak dibarengi dengan elektabilitas PDIP. Jokowi dinilai
lebih 'mahal' dibanding partai yang mengusungnya sebagai capres.
"Betul,
ada fenomena Jokowi Yes PDIP No. Jokowi kan bukan hanya dilihat sebagai
kader PDIP semata, karena elektabilitasnya yang tinggi dia menggarap
semua kalangan termasuk swing voters dan pemilih partai lain. Itu yang
membuat elektabilitas Jokowi bisa di atas 30% sementara PDIP sekitar
20%," kata Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, kepada
detikcom, Rabu (2/4/2014)
Sumber :
detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar