Rabu, 02 April 2014

Musibah Bagi Jokowi Jika "Jokowi Yes PDIP No"

Kecenderungan masyarakat memilih Joko Widodo (Jokowi) tanpa PDIP muncul cukup menguat belakangan ini. Fenomena tersebut direkam dalam sejumlah survei yang menunjukkan masyarakat memang lebih memilih sosok Jokowi untuk Pilpres. Namun untuk Pileg, mereka memilih parpol lain selain PDIP.
Ketua DPP PDIP Eva Kusuma Sundari menduga kemunculan fenomena itu tidak terjadi secara alamiah, tapi sengaja dimunculkan untuk memecah Jokowi dan PDIP.
"Ya tidak bisa. Jika mau Jokowi, ya harus pilih Banteng juga. Ini kan sepertinya partai-partai banyak yang bergerak untuk mengacaukan. Jadi kalau pileg pilih partai lain, pilpres silakan Jokowi," ujar Eva saat berbincang dengan detikcom, Rabu (2/4/2014).
Eva mengungkapkan, internal partainya menangkap adanya upaya untuk mengganggu PDIP agar tidak mencapai 20 persen suara dalam pileg nanti. Salah satu gangguan itu adalah berkembangnya wacana 'Jokowi Yes, PDIP No'.
"Karena itu kita sedang membangun upaya untuk memperjelas misleading ini di masyarakat. Bahwa Jokowi dan PDIP itu berkorelasi. Mau Jokowi ya pilih Banteng," tuturnya.
Salah satu upaya ditempuh DPP PDIP, kata Eva, adalah menginstruksikan seluruh jajaran partai hingga ke daerah agar memberi pemahaman ke masyarakat soal paket Jokowi dan PDIP.
"Kami juga membuat reklame besar-besar, pilih banteng, pilih Jokowi," jelas Eva.
Fenomena 'Jokowi Yes, PDIP No' mulai ramai di masyarakat maupun media sosial. Masyarakat yang mendukung pencapresan Jokowi ternyata masih bingung dengan caleg PDIP yang akan mereka pilih. Bahkan dalam survei Charta Politika, PDIP adalah partai nomor 4 yang tidak disukai masyarakat, di bawah PD, PKS, dan Golkar.
Sebenarnya PDIP sudah menyadari adanya persoalan tersebut. Karena itu Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri secara langsung terus menyerukan agar masyarakat memilih PDIP jika ingin Jokowi jadi presiden.
"Kalau kalian mendukung Pak Jokowi menjadi presiden, maka pileg ini harus juga dimenangkan PDIP dulu!" orasi Mega saat berkampanye di Lapangan BKB Sukarame, dekat Jembatan Ampera, Palembang, Jumat (28/3/2014).

Serangan Pihak Lain
Senada dengan Eva, Wasekjen PDIP Hasto Kristiyanto ada pihak yang "bermain" untuk melemahkan Jokowi ketika menjadi presiden nanti.
"Itu bagian dari upaya-upaya yang dilakuan pihak lain untuk membuat jarak antara PDIP dengan Jokowi dan rakyat," kata Hasto, Rabu (2/4/2014).
Menurut Hasto, antara Jokowi, PDIP dan rakyat adalah satu kesatuan. PDIP mendeklarasikan Jokowi sebelum pemilu legislatif justru untuk menegaskan Jokowi adalah PDIP dan nasib pencapresan Jokowi tergantung pada perolehan suara PDIP.
"Apa yang kami persiapkan adalah satu kesatuan PDIP, Jokowi dan rakyat. Makanya kemudian pada saat kampanye, pesannya adalah PDIP hanya bisa mengusung capres apabila kami memperoleh 27,02% atau sekurangnya 25 suara," paparnya.
Soal asumsi Jokowi bukan tokoh yang melekat dengan PDIP di beberapa iklan kampanye, layaknya Ical dengan Golkar dan Prabowo dengan Gerindra, Hasto menjawab justru Jokowi sudah diorbitkan jauh hari sebelum kampanye sekarang.
"Pak Jokowi muncul jauh sebelumnya. Mulai September membacakan dedication of life, Oktober Jokowi bersama ibu ke Waduk Pluit, kemudian datang ke UI, UIN," tuturnya.
"Itu bagian dari penggelembangan calon pemimpin. Jadi yang mengatakan itu pihak-pihak yang mencoba menjauhkan PDIP, Jokowi dan rakyat. Itu bagian dari serangan-serangan yang muncul. Ya serangan itu biasa," imbuh Hasto.

Ulah Intel
Menurut Sekjen PDIP Tjahjo Kumolo, menyebut fenomena itu muncul sebagai bagian dari manuver intelijen.
"(Munculnya fenomena 'Jokowi Yes PDIP No' bagian dari) manuver Intelijen," kata Tjahjo Kumolo, Rabu (2/4/2014).
Tjahjo tak merinci bagaimana intelijen bermanuver memunculkan wacana yang ingin memisahkan Jokowi dengan PDIP tersebut, termasuk tak menyebut siapa intelijen dimaksud.
Namun Tjahjo dalam beberapa kesempatan, memang kerap menegaskan adanya permainan intelijen dalam pemilu. Dalam konteks ini, intelijen yang menargetkan PDIP atau Jokowi dan intelijen yang bermain untuk pemilu secara lebih luas seperti pada 2009 yang pernah disebut Tjahjo.
"Sulit berkomentar dulu karena sudah operasi politik," tambah Tjahjo.
Fenomena 'Jokowi Yes PDIP No' itu muncul sebagai respon tingginya elektabilitas Jokowi yang tak dibarengi dengan elektabilitas PDIP. Jokowi dinilai lebih 'mahal' dibanding partai yang mengusungnya sebagai capres.
"Betul, ada fenomena Jokowi Yes PDIP No. Jokowi kan bukan hanya dilihat sebagai kader PDIP semata, karena elektabilitasnya yang tinggi dia menggarap semua kalangan termasuk swing voters dan pemilih partai lain. Itu yang membuat elektabilitas Jokowi bisa di atas 30% sementara PDIP sekitar 20%," kata Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, kepada detikcom, Rabu (2/4/2014)

Sumber :
detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar