Gubernur dan senator menjadi sumber utama calon presiden dan wapres di negara yang memiliki akar demokrasi kuat seperti di Amerika Serikat.
Dalam sejarah presiden AS, sebanyak 16 orang gubernur tercatat menjadi Presiden dan 23 senator/anggota kongres menjadi orang nomor 1 di Gedung Putih.
Tradisi ini ada baiknya ditiru di Indonesia. Potensi pemimpin daerah yang memiliki kemampuan dan track record terbaik di Tanah Air harus bisa diwakafkan untuk negara, agar menjadi pemimpin nasional atau calon presiden atau wakil presiden.
"Di AS gubernur-gubernur terbaik umumnya naik pangkat menjadi Presiden dan Wapres. Di Indonesia tradisi demokrasi itu tidak berkembang," kata Direktur Pemberitaan LKBN Antara Akhmad Kusaeni dalam diskusi di Bandung, Jawa Barat, Minggu (22/12/2013).
Menurut dia, hanya 6 presiden AS yang berasal dari profesi lain seperti militer, pengacara dan wartawan. Presiden AS yang berasal dari militer adalah Bapak Bangsa AS George Washington, Zachary Taylor, Ulyses Grant dan Dwight D Eisenhower.
Adapun Presiden AS yang berasal dari Gubernur misalnya adalah Jimmy Carter (Georgia), Ronald Reagan (California), Bill Clinton (Arkansas), George W Bush (Texas).
Senator dan anggota Kongres yang menjadi presiden antara lain Barack Obama (Illinois), Andrew Johnson (Tenesse), Lyndon B Johnson (Texas), JFK (Massachusset).
Kusaeni mengatakan menjadi presiden di AS adalah pekerjaan mengurus rakyat, makanya mencalonkan diri sebagai capres disebut "running for public office".
Public office tentu saja ada jalur kariernya, biasanya dimulai dari jabatan publik seperti gubernur atau anggota parlemen. "Jadi tidak bisa ujuk-ujuk setiap orang bisa menjadi calon presiden seperti di Indonesia," ujarnya.
Di Indonesia sistem rekrutmen capres tidak terstruktur dan tidak jelas. Siapa saja bisa menjadi capres tanpa harus melalui jalur jabatan publik sebelumnya.
"Pemilik partai ramai-ramai mau jadi presiden. Bahkan raja dangdut yang merasa diri populer juga mau jadi capres," ujar Kusaeni.
Pengamat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhroh menilai kecilnya peluang kepala daerah untuk menjadi pemimpin nasional dikarenakan tidak berfungsinya sistem partai dalam kaderisasi.
"Partai politik tidak bisa menjalankan fungsinya yakni fungsi partai kader. Kita tidak menyalahkan satu dua elemen kesalahan kita, karena kita tak mampu memutuskan oligarki partai. Hal itu ada terus karena ada pihak-pihak yang menikmati. Di birokrasi juga ada tapi di partai politik lebih luar biasa," katanya.
Sumber :
viva.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar