Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) melontarkan kritikan
tajam pada pemerintahan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Koordinator
advokasi FITRA M. Maulana menyoroti pengalokasian sejumlah dana untuk
alokasi belanja operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja
Purnama yang mencapai Rp 26,6 miliar.
Jumlah itu dinilai sebuah
pemborosan jika dibanding dengan jumlah anggaran item yang sama pada
pemerintahan mantan Gubernur Fauzi Bowo pada tahun sebelumnya. Saat itu
nilai tunjangan operasional kepala daerah dan wakilnya sebesar Rp
17.640.355.000. "Ada perbedaan anggaran sebesar Rp 9 miliar," kata
Maulana kepada detikcom, kemarin.
Meski begitu, dia buru-buru
meluruskan bahwa perbedaan tersebut bukan karena ada indikasi korupsi
atau penggelembungan anggaran, melainkan karena faktor jumlah pendapatan
asli daerah (PAD). "Anggaran Foke (Fauzi Bowo) lebih kecil dibanding
Jokowi bukan karena Foke lebih bagus atau Jokowi lebih buruk, tapi
memang PAD zamannya Foke belum sebesar sekarang" ujarnya.
Sebagai
informasi, penyusunan jumlah biaya operasional tersebut diatur dalam
Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Berdasarkan peraturan tersebut,
daerah yang mempunyai PAD di atas Rp 500 miliar bisa menganggarkan
minimal Rp 1,25 miliar dan maksimal 0,15 persen dari PAD tahun
sebelumnya untuk operasional kepala daerah.
Jika mengacu pada
aturan tersebut, Jokowi masih dimungkinkan untuk mengalokasikan dana
operasional sebesar 0,15 persen dari PAD tahun lalu senilai Rp 26,6
triliun atau sama dengan Rp 39,9 miliar.
Namun Jokowi dan
pasangannya hanya mengambil 0,1 persen dari PAD atau sebesar Rp 26,6
miliar. Bila dibagi dua, tunjangan operasional masing-masing yakni
mencapai Rp 13,3 miliar atau sekitar Rp 1 miliar per bulan per orang.
Jokowi
membenarkan perihal data terkait biaya operasional yang dirilis oleh
FITRA. Tapi dia emoh dituding lebih boros dalam mengelola anggaran.
Kenaikan yang signifikan dibanding pendahulunya, kata Jokowi semata-mata
karena adanya kenaikan PAD.
"Kalau naik itu karena ada prosentase pendapatan. Pendapatan kami kan loncat tahun ini, itu aja," ujar dia.
Mantan
Wali Kota Surakarta itu mengatakan walau dari segi jumlah, alokasi
tersebut memang lebih tinggi dari era Foke, namun hal itu tidak linear
dengan penyerapan anggaran. "Ini kan masalah anggaran, bukan penggunaan.
Realisasinya separuhnya saja belum tentu," kata dia.
Terpisah,
pengamat politik Universitas Indonesia Andrinof Chaniago menilai rilis
dari FITRA bisa menyesatkan masyarakat. Menurutnya jumlah anggaran
operasional kedua gubernur tersebut tidak bisa diperbandingkan hanya
dari segi jumlah. "Kalau cuma membandingkan itu belum bisa disimpulkan
anggaran Jokowi itu boros, maka dilihat dulu belanjanya buat apa, ada
enggak kegunaannya," kata dia kepada detikcom.
Andrinof menilai
aksi blusukan Jokowi, yang menurut FITRA termasuk salah satu item dalam
tunjangan operasional, adalah kegiatan yang efektif walaupun menelan
anggaran yang besar. "Kalau Foke untuk apa uang yang Rp 17 miliar itu?
Dia kan cuma silaturahim antar elit-elit saja, beliin makan yang mewah.
Kalau Jokowi memang bilang untuk memecahkan masalah," tambah Andrinof.
Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta membantah tundingan yang dilontarkan Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran terkait dana blusukan Gubernur
Joko Widodo. Salah satu yang pasang badan adalah Kepala Badan Pengelola
Keuangan Daerah, Endang Wijayanti. Dia menegaskan tidak ada anggaran
untuk aktivitas blusukan yang dilakukan oleh Jokowi. "Tidak ada itu yang
namanya anggaran untuk blusukan, tidak pernah dianggarkan," kata dia
kepada detikcom, kemarin.
Sumber :
detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar