Ada yang menarik dari film Finding Srimulat, yang akan ditayangkan 11 April 2013. Joko Widodo, yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta, tampil sebagai aktor di film garapan sutradara Carles Gozali itu.
Tapi Jokowi tak perlu repot kursus akting. Dia tampil apa adanya, sebagai dirinya sendiri, yang saat film itu dibuat masih menjabat sebagai Walikota Solo. Jokowi menjadi cameo di film komedi yang menampilkan aktor Reza Rahadian dan aktris Rianti Cartwright itu.
Dibuat di Solo tiga tahun silam, Jokowi yang kini sibuk mengurus macet dan banjir di ibukota nyaris lupa aktingnya di film itu. Yang dia ingat, dia tak terlalu sulit berperan sebagai walikota. “Kalau saya disuruh jadi pengemis, atau jadi rakyat jelata, mungkin itu susah," kata Jokowi kepada VIVAlife, Kamis, 14 Maret 2013 di Jakarta.
Main di film layar lebar, bagi Jokowi tak soal. Asal tak diberi peran yang “aneh-aneh”, dia akan melakoninya dengan senang. Konon, sejak kecil Jokowi pernah bercita-cita jadi bintang film. "Kalau saya ganteng, pinginnya seperti itu. Tapi keluar-keluar jelek," ujarnya sambil terkekeh.
Bagi sang sutradara, kehadiran Jokowi di film itu adalah hadiah tak terduga. Awalnya, sulit bagi Carles mengajak Jokowi terlibat. "Kita meyakinkan beliau. Dia terkenal sebagai orang apa adanya. Saya bilang 'Pak ayolah bantu kami dengan tampil di film demi memajukan budaya dan Srimulat'. Akhirnya beliau luluh," kata Carles.
Tampil sebagai cameo, atau bahkan berakting peran lain, tampaknya bukan hal baru bagi selebriti politik atau pejabat publik. Selain Jokowi, sebutlah nama Yusril Ihza Mahendra, mantan menteri dan pemimpin partai politik yang kini juga jadi pengacara itu, pernah sebagai memerankan Laksamana Cheng Ho di film seri Laksamana Cheng Ho.
Gejala yang kerap disebut “tukar kaos” ini, tatkala politisi merambah dunia hiburan dan artis terjun ke dunia politik, makin biasa di dunia hiburan.
Bukan hanya sebagai cameo, para politisi itu juga terampil memerankan tokoh lain. Misalkan akting Yusril di serial Laksmana Cheng Ho. Meski tak punya latar belakang aktor, lelaki berusia 57 tahun ini mau berlatih keras.
Di film yang banyak adegan laga itu, misalnya, Yusril melakukan persiapan matang. Dia bahkan berlatih silat selama satu tahun. Itu sebabnya, saat syuting di Thailand, ia tak butuh stuntman untuk adegan tarung. Yusril juga berani memakai pedang sungguhan di serial itu.
Dan Yusril pun sepertinya ketagihan. Lelaki kelahiran Belitung ini kembali tampil di film Dream Obama. Bedanya, di film besutan Damien Dematra ini, ia tak perlu terlalu repot berlatih. Yusril memerankan dirinya sendiri, alias cameo.
Ada pula kisah mantan Gubernur DKI Sutiyoso, yang sempat muncul di beberapa FTV. Salah satunya bersama Shinta Bachir. Menurut Shinta di FTV itu, Sutiyoso berperan sebagai ayahnya. Sutiyoso juga sempat tampil di sejumlah program komedi, seperti Opera Van Java.
Makin rame
Tampaknya industri hiburan pun doyan melirik politisi tampil di layar kaca atau layar perak. Salah satu faktornya, kata sosisolog Devy Rahmawati, adalah pengaruh ketokohan masih begitu kuat di masyarakat berciri patrimonial.
"Negara mengandalkan struktur ketokohan. Di Filipina kan ada petinju jadi politisi. Dulu presiden Filipina, Estrada juga main 70 film. Di India kita tahu ada Amitabachan. Kalau di Indonesia kita tahu SBY bikin album, itu politisi yang masuk ranah artis," ujarnya kepada VIVAlife.
Ditambahkan Devy, para politisi menceburkan diri ke dunia entertainment juga didorong menguatkan popularitas mereka. "Dengan politisi itu main film atau membuat lagu, itu akan membuat publik lebih mengenal dekat, publik diingatkan bahwa dia ada," ujarnya.
Bak bertukar tempat, kini para artis di tanah air pun menyerbu dunia politik. Ada banyak artis ikut bersaing sebagai calon legislatif atau pemilihan kepala daerah. Terakhir, di Pilkada Jawa Barat, kita menyaksikan pertarungan para artis, dari Dede Yusuf, Rieka Diah Pitaloka, dan Dedy Mizwar.
Tak semua artis punya pengalaman politik. Tapi, sejumlah partai politik tetap gencar membidik selebriti maju dalam pemilihan kepala daerah, atau menjadi caleg mereka di pemilihan umum 2014 mendatang.
Bagi partai politik, popularitas para artis itu memang menjadi modal untuk mendulang suara.
Lebih enak jadi politisi?
Pertarungan politik para artis terseret sampai ke tingkat kabupaten. Partai Golkar dan Hanura, misalnya, memasang nama Limbad sebagai calon bupati Tegal. Menurut satu survei di Tegal, kata Limbad, ia punya elektabilitas tinggi. "Itu pilihan masyarakat, mereka ingin saya memimpin Kabupaten Tegal. Mudah-mudahan Kabupaten Tegal akan berubah total," ujarnya.
Lalu untuk urusan calon wakil rakyat di parlemen, artis sinetron Hengky Kurniawan masuk dalam daftar caleg Partai Amanat Nasional (PAN). Namanya sebaris dengan Ikang Fawzi dan Raslina Rasyidin. Ada pula Irwansyah yang mantap terjun ke dunia politik. Ia digandeng Partai Gerindra, untuk daerah pemilihan Banten. Suami Zaskia Sungkar itu pun sudah mendaftar menjadi caleg partai itu.
Nama para selebriti juga diincar oleh Partai Kebangkitan Bangsa. Sebut saja Tommy Kurniawan dan Arzetti Bilbina. Tommy bergabung dengan PKB untuk menjadi caleg daerah Tangerang. Bagi Tommy, pilihannya itu akan lebih menguntungkan ketimbang menjadi artis. Sebab, ia bisa punya lebih banyak waktu untuk keluarga.
"Justru kalau syuting itu jam kerjanya jauh lebih banyak. Bisa 24 jam di luar, minimal kerja 14-18 jam. Waktu tersita jauh lebih banyak di dunia entertainment," kata Tommy saat ditemui di kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat.
Kian banyaknya artis yang banting stir ke dunia politik, memunculkan juga keraguan masyarakat atas kinerja mereka. Ini tentunya, menjadi pekerjaan rumah bagi para artis yang jadi politisi itu.
Tapi mengapa masyarakat gandrung memilih artis sebagai pemimpin, atau wakil mereka?
"Masyarakat kita masih patriarkis, memilih tak berdasarkan kemampuan. Mereka menyamakan kemampuan dengan ketenaran. Kalau seseorang tenar, dianggap dia juga cukup cakap," ujar sosiolog Devy Rahmawaty.
Sumber :
life.viva.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar