Ekonom senior PT Standard Chartered, Fauzi Ichsan, menyangsikan
program-program yang dijanjikan presiden terpilih versi rekapitulasi
KPU, Joko Widodo, akan dapat terealisasi. Program-program seperti
pembangunan tol laut, infrastruktur desa, persawahan dan sebagainya,
akan terbentur anggaran. "Dananya dari mana? Sementara belanja negara
sebagian besar tersedot oleh subsidi BBM," katanya saat dihubungi Jumat (15/8/2015).
Ekonom dari Bank Internasional Indonesia, Juniman, mengatakan
pemerintahan Joko Widodo akan berhadapan dengan era moneter ketat karena
bank sentral Amerika kemungkinan akan menaikan tingkat suku bunganya
pada tahun depan. "Itu akan diikuti dengan kenaikan tingkat suku bunga
Bank Indonesia. Says perkirakan BI Rate tahun depan akan kembali naik 25
basis poin," kata Juniman kepada Tempo, Jumat (15/8/2014).
Menurut
Juniman, pemerintah harus mengantisipasi hal itu dengan berbagai bauran
kebijakan akibat dari pengalihan arus modal dari emerging market ke
negara-negara maju karena pengetatan moneter tersebut. "Masalah ini
harus diantisipasi dengan hati-hati. Kalau tidak Indonesia bisa masuk
lagi dalam jurang krisis," ujarnya.
Juniman
mengatakan, hal lain yang akan dihadapi akibat dari kondisi global
tersebut adalah defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan akan
terus terjadi jika pemerintah tidak melakukan berbagai langkah
antisipasi dalam era moneter ketat tersebut. Untuk mengantisipasi hal
itu, Juniman mengatakan pemerintah harus bekerja ekstra untuk melakukan
pendalaman pasar agar pasar keuangan di Indonesia lebih berkualitas.
"Reformasi struktural harus terus dilakukan," katanya.
Selain
itu, sempitnya ruang fiskal juga akan dihadapi oleh pemerintahan
mendatang. Meurut dia, tekanan fiskal akibat masih tingginya subisid
energi akan menjadi bumerang jika tidak segera dilakukan langkah konkrit
dengan menaikan harga bahan bakar minyak. Selama ini, beban penyumbang
terbesar terhadap defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi
berjalan adalah tingginya impor minyak dan gas.
"Dengan
kenaikan harga BBM maka ruang fiskal yang dimiliki pemerintah sekarang
akan lebar. Tapi yang penting, kenaikan harga ini harus dikompensasi
dengan pembangunan infrastruktur untuk memberikan stimulus terhadap
pembangunan," ujarnya.
Program Infrastruktur Jokowi Sulit Terealisasi
Dalam
nota keuangan RAPBN 2015, beban subsidi energi untuk BBM dan listrik
sebesar Rp 363,5 triliun. Meski jumlahnya menurun dibanding APBNP 2014,
pemerintah yang baru tetap akan mendapat beban pengalihan subsidi BBM
sebesar Rp 50 triliun dari pemerintahan sebelumnya. "Meningkatnya beban
subsidi BBM dalam RAPBN 2015 akan membatasi ruang gerak pemerintahan
baru," kata Fauzi.
Dengan adanya pengalihan beban subsidi,
pemerintahan yang baru akan menerima warisan bom waktu fiskal. Karena
itu, pemerintahan baru harus memiliki fleksibilitas fiskal apabila tetap
ingin menjalankan berbagai proyek di atas, termasuk menaikkan harga BBM
bersubsidi. "Siapapun yang akan jadi presiden, harga BBM harus
dinaikkan," kata Fauzi.
Menurut
Fauzi, bom waktu fiskal tidak perlu terjadi apabila pemerintah yang
sekarang mau menanggung sedikit risiko tersebut dengan menaikkan harga
BBM bersubsidi setidaknya 20 persen. Nantinya, beban kenaikan harga BBM
pemerintahan yang baru tidak terlalu besar.
Sementara itu, ekonom
dari Universitas Indonesia, Anton Gunawan, mengatakan pemerintahan yang
baru tidak perlu takut terhadap beban fiskal. Sebab, program-program
infrastruktur tidak harus selalu menggunakan anggaran APBN. Pemerintah
bisa mengkaji opsi kerja sama investasi dengan pihak swasta. "Dengan
catatan, semua proses yang menghambat kelancaran proyek seperti
perizinan berbelit dan korupsi harus dipangkas," katanya.
Anton
setuju dengan rencana kebijakan Joko Widodo yang akan memangkas subsidi
BBM dalam waktu empat tahun. Namun, ia tidak sepakat bila pemerintahan
yang baru tetap terpaku pada paradigma terbatasnya ruang fiskal. "Kalau
paradigma itu tidak diubah, proyek infrastruktur akan terus jalan di
tempat." [tempo]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar