Kebijakan Kementerian Perdagangan merevitalisasi pasar diyakini gagal total. Tak terkecuali langkah Joko Widodo (Jokowi) yang menjalankan kebijakan serupa ketika menjabat wali kota Surakarta periode 2004-2012. Hal ini disampaikan Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), Caleg Hanura 2009, Abdullah Mansuri di Jakarta, Jumat (28/2/2014).
Dari pengalaman para pedagang pasar, program revitalisasi tak pernah melibatkan para pengusaha kecil, dan dijalankan sepihak oleh pemerintah daerah. Desain pengucuran dana yang langsung dari pemerintah pusat juga tak jelas pengawasannya. Padahal nominalnya cukup besar, yakni Rp 5 miliar per pasar.
"Di daerah, revitalisasi pasar sering dianggap proyek untuk pemasukan oknum pemda," ujarnya.
Kementerian Perdagangan hingga 2013 telah mengucurkan Rp 1,6 triliun untuk revitalisasi pasar tradisional. Program ini menyentuh 461 pasar di seluruh Indonesia. Tahun ini, targetnya ada 80 pasar dimodernisasi, dengan dana Rp 500 miliar.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengklaim kebijakan pihaknya berhasil meningkatkan omzet para pedagang. Itu diucapkan saat dia berkunjung ke Pasar Cibeber, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pekan lalu.
"Omzet pedagang naik mulai 30 persen sampai 200 persen di pasar yang sudah kita bangun," kata Bayu.
IKAPPI membantah klaim Kemendag. Asosiasi pedagang pasar menunjukkan beberapa kegagalan program revitalisasi pasar untuk mendukung argumennya.
Misalnya kasus pemugaran Pasar Tambah Rejo, Surabaya, Jawa Timur. Program ini menjadi unggulan dari Kemendag di era Gita Wirjawan.
Faktanya mayoritas pedagang tahun lalu banyak yang pindah karena sepi, dan malah memperoleh penghasilan lebih baik di tempat lain.
Abdullah menambahkan kegagalan revitalisasi pasar di Surakarta yang dijalankan pada era kepemimpinan Joko Widodo. Program Jokowi itu, dinilai pedagang tidak berkelanjutan dalam menyediakan faktor pendukung stabilnya aktivitas jual-beli.
"Di Solo yang sering dianggap revitalisasi pasar terbaik, kami punya catatan empat pasar sepi pembeli. Paling parah, di Pasar Pucang Sawit, Surakarta, dari 400 kios, hanya terisi 8 kios, sehingga kalau malam jadi lokasi prostitusi," kata Abdullah.
Daftar ini bisa bertambah panjang lagi, pada beberapa pasar yang jadi proyek percontohan. Kasus pasar jadi sepi setelah dipugar tak kalah mencolok muncul di Bagansiapi-api, Pasar Sentolo, Kulon Progo, DIY, serta Pasar Prembun di Kebumen.
Pangkal persoalannya karena pemerintah hanya fokus pada proyek. Hal ini ditekankan Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Riza Damanik.
Lantaran pembangunan hanya ditekankan pada perbaikan fisik, akhirnya tidak menyentuh pemberdayaan manusia yang berjualan di dalamnya. "Jika revitalisasi tidak dibarengi dengan melibatkan pedagang maka konflik sangat besar," ucapnya.
Sumber :
merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar