Pesan yang tersurat pada sampul belakang DVD itu, bunyinya: Selama ini, salah satu yang hilang dari kehidupan kita sebagai bangsa adalah kepercayaan.
Rakyat tidak percaya bahwa pemimpin dan wakil yang mereka pilih akan menepati janji mereka. Akhirnya rakyat hanya melaksanakan hak pilih sekadar untuk menunaikan hak sebagai warga negara. Kini kami punya sebuah harapan. Muncul pemimpin yang bersih, cakap, dan bisa dipercaya. Pak Jokowi adalah harapan kami, para warga Jakarta. Tapi, baru sesaat harapan itu muncul, kami diganggu oleh para avonturir politik yang mendorong-dorong beliau menjadi calon presiden. Oleh karena itu sebagian besar warga DKI yang telah memilih Jokowi mengharapakan agar dia seharusnya menunaikan tugas di Jakarta sebelum dicapreskan.
Secara teoritis, desakan untuk mencapreskan Jokowi ataupun sikap Jokowi yang tunduk dan patuh terhadap keputusan apapun dari PDIP menurut Eisenhardt (1989) dalam agency theory menekankan hubungan antara principal (pemberi tugas) dengan agent (yang diberi tugas). Kondisi yang dapat diciptakan dari situasi seperti ini nantinya mirip dengan teori negara patrimonial, relasi pemimpin atau elit politik sebagai pemegang kekuasaan dengan rakyat bersifat asimetris. Sebagai patron, elit politik mendominasi sumber daya ekonomi politik.
Jokowi bagaikan seorang kutu loncat yang berpindah dari satu jabatan ke jabatan lain dalam waktu singkat. Baru sebentar memegang jabatan sebagai Wali Kota Solo, dia sudah dicalonkan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dan kini baru seumur jagung menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, dia sudah didorong untuk dicalonkan sebagai presiden pada Pemilu 2014. Publik lalu bertanya-tanya, apa sebenarnya prestasi kerja yang sudah diperlihatkan Jokowi, mengingat dia tidak pernah menyelesaikan tugasnya dalam satu masa periode pun.
Jokowi seharusnya bisa memberi bukti kepada publkik bahwa dia mampu membereskan Ibukota dari banjir, macet dan berbagai kesemrawutan yang ada. Jika dia dan Ahok mampu membuktikan hal itu, penulis yakin pada Pemilu setelah 2014, tidak ada pasangan lain yang mampu bersaing dengan pasangan tersebut dalam pemilihan presiden nanti. Karena publik sendiri sudah melihat hasil kerja nyata dari yang bersangkutan.
Menurut Ali Mustofa (2013), ada beberapa sebab kutu loncat yaitu pertama, mencari peluang karir politik yang lebih strategis. Kedua, insiden politik. Ketiga, pragmatism politik. Ada banyak ciri dalam politik kutu loncat yaitu : pertama, telinga besar dan pintar mengolah isu menjadi konflik, agar pelaku kutu loncat menjadi “pahlawan” karena dapat menyelesaikan konflik tersebut, yang sebenarnya diciptakannya. Kedua, pintar obral senyum dan suara dengan alasan untuk kepentingan rakyat. Ketiga, scapegoatism, ahli jurus kambing hitam, karena pelaku politik kutu loncat selalu menyatakan dirinya benar dan pihak lain yang salah.
Terlepas dari itu semua, patut dipertanyakan siapakah sebenarnya pembuat DVD tersebut. Apa mungkin mereka adalah warga yang sangat mengharapkan Jokowi menyelesaikan tugasnya untuk membereskan ibu kota Jakarta dari kemacetan berkepanjangan dan banjir yang tidak pernah surut serta sederat permasalahan lainnya. Jika betul itu merupakan harapan warga Jakarta, kenapa mreka tidak mencantumkan nama. Menurut hemat penulis, hanya ada dua kemungkinan. Pertama. DVD tersebut dibuat oleh lawan politik yang tidak ingin Jokowi maju sebagai capres, dan kedua DVD itu justru dibuat oleh pendukung Jokowi sendiri.
Kalau kemungkinan pertama dibuat oleh lawan politik, karena mereka sadar selama ini cara untuk menghambat lajunya elektabilitas Jokowi tidak bisa dilakukan dengan membuat perlawanan secara terbuka. Mereka sadar bahwa kekuatan Jokowi adalah, dia bersikap apa adanya serta sederhana. Jokowi mencoba memperbaiki keadaan dengan cara mengkomunikasikannya dengan masyarakat secara langsung melalui blusukan ke berbagai lokasi. Jokowi juga berani melawan arus jika merasa pendapatnya benar, sehingga dia akhirnya mendapat dukungan secara politik dari publik secara luas.
Kemungkinan kedua justru DVD itu dibuat oleh pendukung fanatik Jokowi sendiri, untuk mendorong Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri agar segera mencalonkan Jokowi sebagai capres sebelum pelaksanaan Pemilu Legislatif. Ketua Umum DPP PDIP Megawati menunjukkan sinyal telah merestui pencapresan Jokowi. Bahkan menurut kabar yang santer beredar, Mega telah setuju mendeklarasikan capres sebelum pileg.
Walaupun sinyal restu Mega untuk Jokowi memang pasang surut, namun ada beberapa hal yang memberi kesan kuat Mega mulai legowo. Semakin mendekati Pemilu, Mega juga semakin intens bertemu Jokowi. Kadang keduanya makan bersama, kadang mengajak Wagub DKI Basuki Thajaja Purnama (Ahok). Mega juga sering meluangkan waktu untuk blusukan bareng Jokowi. Oleh kalangan internal PDIP, Mega dinilai sedang mendidik langsung Jokowi.
Pertanyaan selanjutnya adalah jika Jokwi menjadi capres, siapa yang akan dicalonkan Megawati sebagai cawapres. Prediksi sebelumnya adalah Megawati capres, dan Jokowi cawapres. Namun karena elektabilitas Jokowi terlalu jauh dari elektabilitas Mega sendiri, maka publik lebih menginginkan Jokowi capres, sehingga kemungkinan Mega akan mencalonkan salah satu anaknya sebagai cawapres. Menjadi masalah nanti, jika perolehan suara PDIP dalam Pileg tidak mencukupi untuk mengusung pasangan capres/cawapres sendiri. Otomatis PDIP harus berkoalisi dengan partai politik lainnya, yang kemungkinan besar menghendaki cawapres berasal dari parpol tersebut. Kondisi ini diperkirakan menjadi salah satu pertimbangan Ketua Umum DPP PDIP, Megawati masih ragu untuk mendeklarasikan Jokowi sebagai capres sebelum pemilu legislatif April 2014 mendatang.
Siapapun yang terpilih sebagai presiden, menurut penulis, ada tugas dalam bidang politik yang sudah menantinya yaitu menumbuhkan demokrasi yang sehat, menumbuhkan trust dan efficacy serta terjalinnya komunikasi pemerintah dengan rakyat yang semakin baik.
Hal ini selaras dengan pendapat beberapa pakar bertaraf internasional seperti VO Key dalam Public Opinion and American Democracy mengatakan, demokrasi yang menimbulkan bencana merupakan tanggung jawab elit kekuasaan bukan tanggung jawab massa. Sementara itu, Stephen Craig dalam The Malevolent Leaders (1993) mengatakan, tanpa trust dan efficacy suatu pemerintahan akan sulit membangun komitmen-komitmen dengan para elit, sehingga akan menghambat upaya-upaya pembangunan nasional. Sedangkan, Robert Dahl dalam Democracy and It’s Crisis mengatakan, pembangkangan kooperativitas para elit
politik merupakan konsekuensi dari kurang responsifnya Presiden terhadap koreksi-koreksi mereka.
Sumber :
Penulis : Yacob Rambe adalah peneliti senior di Forum Dialog (Fordial) dan Kajian Nusantara Bersatu, Jakarta.
detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar