Selasa, 24 Desember 2013

Jokowi dan Dilema Mega

Joko Widodo (Jokowi) masih fenomenal. Dalam semua survei tetap menempatkan ‘Wong Solo’ ini dominan. PDIP pun cukup cerdas mengelola. Bagaimana jika Megawati masih ambisius nyapres? Mungkin itulah akhir dari gemerlapnya nama Jokowi. Atau, adakah kemungkinan partai lain merangkulnya?
Sampai mendekati tutup tahun 2013 nama Jokowi tetap moncer. Dia digadang-gadang mayoritas kalangan untuk tampil menggantikan SBY. Sikapnya yang santun, sumanak, dan tegas, memberi harapan rakyat, bahwa Jokowi memang layak mengendalikan negeri ini. PDIP partai yang memayunginya, cukup cerdas mengelola popularitas Jokowi. Mega acap mengajaknya dalam banyak kesempatan. Bersama-sama turun ke bawah untuk berakrab-akrab ria dengan rakyat, dan itu terlihat gayeng. Jokowi dan petinggi partainya harmonis, potret indah yang membuat siapa saja merasa ayem.
Jokowi pun pandai menjaga potensinya. Tidak menutup diri dilibatkan banyak pihak. Tampil tanpa ambisi. Menjaga omongan dan tingkahnya. Tetap populis. Tidak takabur. Dan konsistensi itu yang menggerus lawan-lawan politiknya. Kendati itu baru dalam tahap penyuaraan-penyuaraan lembaga survei.
Namun harmonisasi Jokowi dengan Mbak Mega itu kini mulai mengusik. Selentingan yang kian santer itu menggelindingkan rumor baru. Mega akan tetap maju nyapres, dan Jokowi dijadikan wakilnya. Ambisi Ketum PDIP ini nampaknya masih belum padam. Dia berapi-api dan ingin tampil lagi. Menangkah?
Untuk jawaban itu saya sudah menuliskannya dalam kolom ini bulan Juli lalu (Jokowi Kuda Troya PDIP, Jumat, 12/07/2013 09:58 WIB). Itu jauh sebelum lembaga survei memunculkan hasil siginya, juga survei internal yang dilakukan partai banteng moncong putih ini. Ke depan saya yakin, bahwa tulisan itu masih bisa dipakai sebagai tengara. Tapi mengapa Mbak Mega tetap ngotot maju?
Ini adalah kegelisahan Megawati. Sebagai trah Soekarno, dia resah terhadap apa yang bakal terjadi. Jika Jokowi dilepas nyapres yang kemungkinan jadi, maka revolusi atau evolusi akan berdampak terhadap PDIP. Partai akan terbuka, dan dengan terpaksa mengakomodasi pemimpin-pemimpin baru yang bukan trah Soekarno.
Memang bisa saja Jokowi dipasangkan dengan Puan Maharani atau Prananda. Tetapi ini juga sulit untuk diputuskan Mbak Mega. Dua-duanya anak, yang mempunyai kekurangan dan kelebihan. Puan lebih moncer dan lebih berpengaruh terhadap perolehan suara di kalangan akar rumput PDIP, tetapi Puan itu siapa?
Puan Maharani adalah putri Mega dengan Taufik Kiemas almarhum. Dia diajak kemana-mana. Diberi kasih sayang berlebih. Diberi jalan lapang agar tampil sebagai politisi handal. Tetapi bagi marhaenis yang menguri-uri dogma Bung Karno, Puan kurang bisa diterima. Ada banyak alasan yang tidak etis untuk dituliskan disini.
Kekurangan Puan itu berbalik dengan Prananda. Dia dianggap representasi trah Bung Karno. Nama lelaki ini mengalir dalam menu kelesak-kelesik batin pengagum Soekarno. Itu pangkal datangnya penyebutan Satrio Piningit atau sejenisnya yang dialamatkan padanya. Tetapi siapa yang tahu dia? Namanya baru muncul ketika Taufik Kiemas tiada.
Kesulitan menentukan pendamping Jokowi jika dicapreskan dan buramnya trah Soekarno di PDIP mendatang itu sinyalemen resahnya Mbak Mega. Tetapi kalau keresahan ini sampai berlarut-larut , maka ketidak-jenakan itu akan menular pada calon legislatif partai ini. Suara PDIP tidak bakal naik signifikan, atau justru merosot di luar nalar.
Asumsinya, jika Jokowi belum dicapreskan sebelum pileg, maka suara PDIP diprediksi stagnan atau mengalami penurunan kecil. Tetapi kalau Jokowi dicawapreskan mendampingi Mbak Mega, maka diramal suara PDIP akan semburat kemana-mana. Itu karena rakyat telah punya catatan tentang Mbak Mega yang tidak terhapuskan.
Fenomena munculnya PDIP Projo (pro Jokowi) jangan dianggap main-main. Itu adalah kriwikan (kebocoran kecil) yang punya peluang menjadi grobokan (kebocoran besar). Jika tanda ini tidak diantisipasi, maka bisa pula dipakai arena bergabung bagi partai lain yang menginginkan Jokowi, dan tentu, simpatisannya.
Kini kartu ada di Mbak Mega. Menaikkan suara partai dengan punya presiden, atau tetap galau dengan memikirkan prospek trah ke depan yang belum tentu berbuah kenyataan. Benar kata Mbak Mega, jangan gambling capreskan Jokowi.

Ditulis Oleh: 
Djoko Suud Sukahar adalah pemerhati sosial budaya. Penulis tinggal di Jakarta.
Dikutip dari : detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar