Sejumlah warga bantaran Waduk Pluit di RT 19/17 Muara Baru, Kelurahan
Penjaringan, Jakarta Utara, melaporkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), serta
Satpol PP ke Polda Metro Jaya, Selasa lalu, terkait pembongkaran secara
paksa rumah warga Waduk Pluit oleh Satpol PP.
Ketua Perhimpunan
Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jakarta, Poltak Agustinus
Sinaga, mengatakan adanya oknum calo dadakan yang mencari keuntungan
dari warga Waduk Pluit muncul setelah jamuan makan siang Gubernur Jokowi
yang pertama terhadap warga pada Mei lalu.
Poltak mengatakan
sebagian oknum berasal dari warga Waduk Pluit yang sengaja meminta duit
untuk melancarkan urusan relokasi. Sebagian warga yang awam dan tidak
paham hanya bisa memberikan uang dengan harapan tidak bermasalah kalau
jadi direlokasi ataupun tidak. Seharusnya, kata dia, pihak Pemprov DKI Jakarta bisa mengantisipasi hal ini dengan sering mengimbau lewat pejabat lurah
serta camat setempat.
Cara ini, menurut Poltak, bisa menjelaskan secara langsung ketimbang
menunggu instruksi penertiban dari Jokowi. “Jangan sampai ujungnya jadi
banyak calo yang nawarin rumah warga. Terus ditakut-takutin, eh, kalau
lo enggak bayar begini nanti enggak dapat apa-apa lho. Setelah
diselidikin itu uang masuk juga ke Polsek, Polres. Ya, warga yang polos,
sekarang kesal lah,” beber Poltak, Rabu (28/8/2013).
Dia
menambahkan sebenarnya langkah Jokowi untuk mengajak makan siang warga
agar bisa berdialog itu sudah bagus. Cara ini bisa mendekatkan antara
pemimpin dan rakyat. Namun, perlu diikuti jajaran bawahannya yang
bergerak secara positif untuk persoalan ini karena ini menyangkut nasib
kehidupan ribuan orang.
Poltak menekankan tidak bisa persoalan
waduk Pluit ini diatasi hanya duet Jokowi dan Ahok. “Iya, semuanya
perangkat harus gerak maksimal kalau ingin warga ngerti juga. Warga
banyak yang belum paham. Enggak bisa cuma andalkan Jokowi-Ahok saja,”
jelasnya.
Ihwal laporan warga ke Polda, menurut Poltak pihaknya hanya mendampingi
warga yang mendapat perlakukan kekerasan dari Satpol PP saat penertiban
rumah di bantaran Waduk Pluit, Kamis pekan lalu (22/8/2013).
Ia menilai
Pemprov DKI dalam hal ini Jokowi melanggar perjanjian yang sudah
disepakati dengan Komnas HAM agar proses penertiban dilakukan dengan
menghindari kekerasan. Namun, kenyataan di lapangan berbeda karena
beberapa warga melaporkan dipukul serta diseret karena menghalangi
proses penertiban rumah liar.
Bahkan, ia menyebut petugas satpol
masih menggunakan pentungan dan tameng saat proses penertiban.
Menurutnya, pemukulan disertai perusakan paksa itu ada hukum yang
mengatur dan bisa dilaporkan kepada pihak terkait.
“Legal PBHI
yang mahasiswa magang saja ditonjok mukanya. Ya, ada belasan warga lah
yang menjadi korban. Tapi, baru tiga orang yang divisum. Mereka
rata-rata dipukul, diseret. Pemimpin juga harus terima kritikan. Jangan
seolah-olah sikapnya selalu dianggap benar,” urainya.
Kepala
Divisi Advokasi PBHI Jakarta, Simon Fernando Tambunan, mengatakan
laporan kepada polisi tersebut sebagai bentuk agar ada persamaan hukum
dalam proses kekerasan. Menurutnya, upaya ini juga dilakukan agar pihak
pemerintah bisa sadar dan bertanggung jawab terhadap kebijakannya.
“Ya,
dilaporkan dengan pasal 355 karena perbuatan tidak menyenangkan dan
pasal 170 atas pengrusakan rumah warga dan penganiyaan. Enggak ada itu
istilahnya Gubernur atau para Satpol PP bisa lepas dari hukum,” katanya, Rabu (28/8/2013).
Sumber :
detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar