Pasca peristiwa pembongkaran rumah warga bantaran waduk Pluit pada Kamis (22/8/2013) lalu, ulu hati Suryadi terasa sakit. Dia sibuk memikirkan kondisi rumahnya yang telah diratakan oleh petugas Satpol PP Pemprov DKI Jakarta. Akibatnya dia sering lupa makan.
Kini dia tinggal di sebuah kontrakan kecil berukuran 3x3 meter. Ada sejumlah barang, seperti kursi kayu, gerabah, dan beberapa bungkusan pakaian yang menyesaki ruangan. Hanya ada sedikit ruang tersisa yang dapat dijadikan menggelar kasur untuk rebahan atau tidur.
“Sejak bongkaran, saya lupa makan karena mikirin ini, sampai sakit ulu hati, hanya rokok dan kopi,” kata Suryadi, Rabu (28/8/2013).
Suryadi mengklaim, semestinya rumah dia tidak ikut digusur, karena terletak 40 meter dari bibir tanggul waduk Pluit. Sementara syarat dari Pemprov DKI minimal permukiman terletak 20 meter dari bibir waduk.
Sementara terkait kericuhan saat pembongkaran rumah warga, Kamis pekan lalu dia menyebut adalah akibat banyaknya calo di Waduk Pluit. Para calo itu selalu mempengaruhi warga agar mau menerima uang ganti rugi, dan direlokasi dari kawasan tersebut.
“Calo-nya orang sini juga. Mereka pengkhianat itu, salah satunya tetangga saya,” kata ayah dua anak ini. Para calo tersebut menurut dia sengaja direkrut oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mempengaruhi warga.
Kepada warga, para calo tersebut menawarkan uang sebagai ganti rumah yang dibongkar dengan harga beragam. Mulai dari Rp 10 juta, Rp 15 juta sampai Rp 20 juta, tergantung dari kondisi bangunan. Sebelum dibongkar pada Kamis lalu warga sudah mengambil uang ganti rugi tersebut.
Para calo tersebut menurut Suryadi, memperoleh uang dengan jumlah yang sangat besar dari uang ganti rugi bongkaran di waduk Pluit. Mereka mengambil keuntungan dari orang yang mampu dipengaruhi untuk menerima uang bongkaran melalui jalur calo.
Ada sekitar 60 warga yang menerima uang bongkaran tersebut dan telah direlokasi ke rumah susun sewa sederhana Marunda Jakarta Utara dan rusun Cengkareng di Jakarta Barat. Hanya ada satu warga yang menurut dia tidak mengambil uang ganti rugi dari calo. “Kalau gak lewat calo bisa dapat (ganti rugi) Rp 40 juta,” kata Suryadi.
Dia mengaku juga didatangi oleh calo tersebut agar mau menerima uang ganti rugi atas rumahnya, namun dia menolak. Suryadi memilih ikut bersama sekitar 20 warga yang bertahan. Saat ini mereka tengah membahas langkah selanjutnya terkait uang ganti rugi.
“Saya milih ikut sama warga yang bertahan, gak mau jadi penghianat, biar dibayar Rp100 juta saya gak mau kalau belum ada kesepakatan,” kata Suryadi.
Soal adanya calo juga diakui warga Muara Baru lainnya, Omah Gendis, 38 tahun. Bahkan menurut dia, praktik calo tersebut tidak hanya terjadi saat pembongkaran pekan lalu saja, namun juga pada pembongkaran pertama Maret lalu.
Rutina, warga RT 19, RW 17, Kelurahan Penjaringan, juga mengakui adanya calo. Hanya calo yang pernah dia temui adalah yang menawarkan memberi bantuan relokasi. Bahkan dia sudah memberikan uang sebanyak tiga kali kepada calo tersebut.
Masing-masing dengan besaran Rp 80 ribu dan Rp 100 ribu. “Ada yang dari warga saya kenal muka saja. Tapi, ada juga yang dari luar. Katanya buat ngurusin pindah ke rusun. Eh, tahunya kayak begini,” kata Rutina.
Sementara Sukirno, 48 tahun warga RT 18 RW 17, Kelurahan Penjaringan mengaku belum pernah memberikan uang kepada calo itu karena tidak ada kepastian jaminannya. Seharusnya, kata dia, lebih baik petugas kelurahan dan kecamatan yang jemput bola datang ke rumah warga secara bertahap agar tidak adanya pungutan dari calo.
Selasa lalu, sejumlah warga Waduk Pluit melaporkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi), dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) serta Satuan Polisi Pamong Praja ke Kepolisian Daerah Metro Jakarta.
Sumber :
detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar