Kritik datang ke Presiden Jokowi terkait urusan Kapolri. Kritikan datang
dari Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra.
Dinilai keputusan Jokowi yang menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan dan
mengangkat Komjen Badrodin Haiti menjadi Plt tak menyelesaikan masalah.
"Visi
revolusi mental Jokowi.
Kelemahan itu terlihat dari pilihan Jokowi
menyikapi penolakan publik dengan dua langkah: (1) Menunda pelantikan
BG; (2) Memberhentikan Kapolri Sutarman dan menetapkan Pelaksana tugas
(Plt) Kapolri oleh Wakil Kapolri Badarodin Haiti," jelas Saldi, Senin
(19/1/2015).
Menurut Saldi, dalam hal penundaan pelantikan BG,
persoalan baru akan muncul, Jokowi tidak memberikan batas waktu akhir
penundaan. Apakah penundaan tersebut sampai jatuhnya putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap terhadap BG atau tidak.
"Jika itu
yang menjadi pertimbangan penundaan Jokowi, maka penundaan dapat
berlangsung lama karena panjangnya proses peradilan dari tingkat
pertama, banding, hingga Mahkamah Agung. Proses yang panjang itu akan
membuat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tak memiliki pimpinan
tetap dalam jangka yang panjang," urai Saldi.
Saldi juga menilai,
penundaan itu sejalan dengan pandangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang menghendaki pelantikan BG karena status tersangka korupsi (rekening
gendut) tidak menghapus haknya untuk dilantik sebagai Kapolri. DPR
beralasan status tersangka tidak berarti seseorang melakukan tindakan
pidana dengan bersandar kepada asas praduga tidak bersalah (presumption
of innocent).
"Pandangan itu memperlihatkan bahwa konsep hukum
pidana sebagai satu-satunya jalan kelua dalam melihat proses pelantikan
aparat penegak hukum. Padahal proses pelantikan itu harus pula sesuai
dengan konsep hukum tata negara dan administrasi negara," tegas Saldi.
"Dalam
sudut pandang hukum tata negara, lembaga penegak hukum (kepolisian dan
kejaksaan) berada di bawah kekuasaan eksekutif yang dipimpin Presiden
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Itu sebabnya Presiden memiliki kewenangan
prerogatif untuk memilih orang yang terbaik menjalankan tugas penegakan
hukum tersebut," tambahnya lagi.
Dalam konsep kewenangan prerogatif, Sambung Saldi, Presiden tidak dapat
pula menggunakannya secara sewenang-wenang. Jika Presiden
sewenang-wenang menjalankan kewenangan prerogatif-nya tersebut akan
bercita-rasa konsep monarki sebagai asal-mula lahirnya kewenangan
prerogatif tersebut.
Sehingga kewenangan prerogatif Presiden
harus pula dijalankan dengan mempertimbangkan banyak hal. Apalagi dalam
konteks penunjukan Kapolri, kewenangan prerogatif Presiden tidak murni
karena membutuhkan persetujuan DPR pasal 11 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun
2002 tentang Polri.
"Pembatasan kewenangan prerogatif Presiden
agar tidak kebablasan seperti yang sering terjadi dalam prerogatif Raja
(monarch), khususnya dalam penunjukan Kapolri, mengindikasikan bahwa
Presiden harus memperhatikan banyak hal, terutama ketentuan hukum dan
pendapat masyarakat banyak.
"Tidak mungkin bagi Presiden
melantik Kapolri yang berstatus tersangka korupsi padahal untuk syarat
menjadi penegak hukum terendah sekalipun akan diprasyaratkan memiliki
kelakuan baik dan tidak sedang menjalan proses hukum," tutur dia.
Secara
hukum administrasi negara, apabila Presiden tetap memaksa melantik
seorang tersangka sebagai Kapolri, maka potensi surat keputusannya
dipermasalahkan secara hukum akan terbuka luas.
"Bukan tidak
mungkin keputusan tersebut digugat ke pengadilan tata usaha negara
(PTUN). Apalagi jabatan Kapolri merupakan jabatan yang bersinggungan
langsung dengan kepentingan publik. Jika keputusan itu dibatalkan oleh
pengadilan, Presiden tidak hanya akan dipermalukan tetapi juga
menjatuhkan kewibawaannya," tutur dia.
Sementara status tersangka
BG yang dianggap tidak perlu dipermasalahkan karena menurut DPR dan
Istana asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) harus
dikedepankan, menurut Saldi malah sebaliknya. Dalam konsep hukum pidana,
asas praduga tidak bersalah tidak berdiri sendiri.
"Pada asas praduga tidak bersalah berkelindan di dalamnya asas praduga bersalah (presumption of quilt)," urianya.
Karena
itu, Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
meminta Presiden Jokowi segera membatalkan penunjukkan BG sebagai calon
Kapolri karena disebabkan potensinya melalui proses hukum yang panjang.
"Presiden
segera mengajukan calon Kapolri baru yang bebas dari masalah dan
presiden segera melakukan reformasi menyeluruh di tubuh Polri terutama
yang terkait dengan kepemilikian dugaan rekening gendut Polri oleh
petinggi Polri," tutupnya. [detik]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar