Jumat, 13 Juni 2014

Prabowo Harus Dipastikan Tidak Lakukan Perbuatan Tercela

Jauh lebih baik bila masyarakat Indonesia mendapat kepastian sejak awal apakah calon presidennya merupakan seseorang yang 'tak pernah melakukan perbuatan tercela', daripada ketahuan belakangan setelah seandainya terpilih menjadi presiden.
Karena itu, sebelum perhelatan pilpres 2014, sebaiknya segera diperjelas soal apakah Keppres nomor 62 nomor 1998 dan Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) ABRI soal pemberhentian Prabowo dari dinas kemiliteran adalah merupakan perbuatan tercela atau tidak.
Hal itu diungkapkan Peneliti dari Trisakti Legal Research Center, Jeremia Napitupulu, di Jakarta, Jumat (13/6).
Menurutnya, ada hubungan sebab akibat diantara Keppres dan Keputusan DKP ABRI itu. Keppres yang dikeluarkan BJ Habibie itu merupakan hasil rekomendasi Pangab saat itu, Wiranto. Sementara Wiranto mendasarkannya pada rekomendasi DKP.
Di dalam rekomendasi DKP ABRI, Prabowo mengakui secara jelas bahwa dirinya memang terlibat di dalam penculikan aktivis, dan dibuktikan telah melanggar aturan ketaatan pada garis komando.
Bagi Jeremia, bisa diduga kuat bahwa kedua keputusan itu mengarahkan Prabowo bisa dianggap telah melakukan perbuatan tercela.
"Seandainya kita membiarkan ada salah satu capres yang diduga melakukan perbuatan tercela lolos sebagai presiden, nantinya di pasal 6 UUD 1945, Konstitusi kita mengatur presiden dapat di-impeach melalui MK bila terbukti melakukan perbuatan tercela," kata Jeremia.
"Inikan dampaknya jauh lebih besar. Buat saya, lebih bermanfaat jika pada saat masih menjadi capres dibatalkan, ketimbang ketika sudah jadi presiden dilengserkan karena melakukan perbuatan tercela."
Jeremia menilai pembatalan pasangan Capres-Cawapres merupakan hal yang wajar, karena dulu Alm. Gus Dur juga pernah tidak diloloskan karena tidak memenuhi syarat kesehatan.
Di UU Pilpres saat ini, lanjut Jeremia, sudah diatur adanya pasal 5 huruf i yang menyatakan bahwa capres tak pernah melakukan perbuatan tercela. Namun ada problem tersendiri karena UU tak mengartikan lebih lanjut apa makna dari frasa 'melakukan perbuatan tercela' sehingga menyulitkan buat KPU atau pihak-pihak lainnya dalam hal mengartikannya.
Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, "tercela" diartikan: "sesuatu yg menyebabkan kurang sempurna; cacat; sehingga menimbulkan multitafsir.
Di penjelasan pasal 5 huruf i itu dijelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan "perbuatan tercela" itu, antara lain seperti judi, mabuk, pecandu narkoba, dan zina. Tapi itu cuma contoh, karena ada frasa "antara lain". Artinya, sebenarnya ada pengertian yang lebihg luas dari sekedar contoh-contoh tersebut.
Maka itu, cara yang paling tepat adalah mengajukan lebih dulu ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan penafsiran atas bunyi pasal 5 huruf i dimaksud.
"Kalau UU sendiri menganggap judi, mabuk, dan sebagainya adalah perbuatan tercela, apalagi kita melihat pemecatan (Prabowo) itu," kata Jeremia.
Dia melanjutkan kopian putusan DKP sudah beredar dimana terungkap bahwa berdasarkan hasil sidang, Prabowo terbukti pernah memberikan perintah untuk melakukan penangkapan, penahanan terhadap para aktivis. Dimana hal tersebut bukan kewenangannya.
Prabowo terbukti sering keluar negeri tanpa ijin, tidak tunduk kepada atasan, dan lain-lain. Perbuatan-perbuatan itu menegaskan bahwa Prabowo mengabaikan system operasi, hierarki, dan hukum yang berlaku di lingkungan ABRI. Bahkan dalam huruf J putusan DKP tersebut dituliskan; "Tindakan Prabowo merugikan kehormatan Bangsa dan Negara".
"Menurut saya, alasan itu sudah cukup untuk menyatakan perbuatan tercela. Saya yakin kalau hal ini dibawa ke MK, seandainya MK objektif, maka MK akan memutus pasal 5 huruf i ini dengan bersyarat," lanjutnya.
Jeremia mengakui bisa saja kemudian ada kampanye bahwa yang mengajukan masalah itu ke MK 'dibayari' salah satu capres, dalam hal ini Jokowi. Namun, kata Jeremia, harus selalu ditekankan bahwa ini semata-mata demi menegakkan hukum supaya kedepannya presiden terpilih memiliki Konstitusional yang kuat.
"Karena toh ini hasil kristalisasi pemikiran masyarakat yang memang menginginkan capres yang tak pernah melakukan perbuatan tercela," ujarnya.
"Kalau mereka ingin mempermasalahkan Jokowi karena meninggalkan jabatan gubernur ke MK, karena Jokowi sudah berjanji ya silahkan saja. Kalau Prabowo, yang dilakukannya itu kan sudah delik pidana dan merupakan kejahatan HAM yang disebut sebagai extraordinary crime."  [beritasatu]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar