Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Teddy Lesmana menilai
kalau rakyat Indonesia belum matang dalam berpolitik maupun berideologi,
sehingga secara substansi belum mengetahui siapa capres-cawapres yang
cocok untuk memimpin Indonesia ke depan. Karena itu, melambungnya citra
capres sering melebihi kemampuan dirinya sendiri, sehingga dalam
berpolitik kita masih ikut-ikutan.
Kedua capres pun dalam menyampaikan visi misinya dalam debat
capres-cawapres pada Senin (9/6/2014) lalu masih normatif. Harusnya bisa
menjelaskan lebih konkret terhadap program pembangunan yang akan
dijalankan lima tahun ke depan, misalnya terkait tantangan di dalam
negeri maupun luar negeri atau ancaman global.
“Kalau di Amerika Serikat selain sudah matang secara ideologi, maka
visi misi capres sejalan dengan program pembangunan yang akan
dijalankan. Jokowi misalnya, hanya menyampaikan pengalamannya selama
menjadi Walikota dan Gubernur Jakarta. Sedangkan Prabowo masih
normatif,” tegas Teddy dalam dialog perspektif Indonesia ‘tantangan
pembangunan ekonomi daerah’ bersama Direktur Riset dan Reformasi
Kelembagaan PSHK Indonesia Muhammad Nur Sholikin, dan Direktur eksekutif
NCID Nurjaman center for Indonesian democracy, Jajat Nurjaman di
Gedung DPD RI Jakarta, Jumat (13/6/2014).
Lembaga survei pun menurut Teddy, tidak mencerminkan daya tawar dari
program capres-cawapres. Seperti revolusi mental Jokowi, ternyata sampai
perdebatan capres kemarin, tidak ada langkah-langkah kokretnya seperti
apa? “Ditambah lagi tak ada keteladanan, maka rakyat makin bingung,”
tambahnya.
Sholikin mengatakan kedua capres belum menyinggung mengenai
tumpang-tindihnya peraturan daerah (Perda) dengan Perda atau dengan UU
yang lain, dan tak ada kontrol untuk sungguh-sungguh melaksanakan
otonomi daerah sejalan dengan UU No.32 tentang otonomi daerah tersebut.
“Relasi pemerintah pusat dan daerah khususnya terkait Perda oleh
Kemendagri dan keuangan, pajak dan distribusi daerah oleh Kemenkeu RI
sesuai UU No.28/2009, maka wajib dikontrol,” jelasnya.
Sholikin mengingatkan jika Perda selama ini belum mengakomodir
kepentingan daerah dalam kerangka desentralisasi daerah. “Perda mudah
dikeluarkan, tapi sulit dilaksanakan, apalagi hasilnya. Karena itu, yang
dilakukan oleh pemerintah daerah hanya terkait pemasukan dan
distribusinya, bukan bagaimana mewujudkan desentralisasi sesuai amanat
UU No.32 itu,” pungkas Sholikin. [beritasore]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar