Wasekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fahri Hamzah, menyatakan
dirinya meyakini Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, alias Jokowi, takkan
pernah dicalonkan oleh PDI Perjuangan sebagai capres di pemilu 2014.
"Saya tak percaya Jokowi akan dicalonkan PDIP. Karena itu akan
menjadi modal bagi lawan-lawan politik PDIP dan Jokowi untuk menyerang
motif aji mumpung mereka," kata Fahri di Jakarta, Selasa (4/3/2014).
Dalam kerangka itu, serangan-serangan itu akan membuat PDIP
kehilangan DKI Jakarta sebagai basis pembangunan politik yang sudah lama
lepas dari tangan mereka.
Apalagi kalau Jokowi hendak dicapreskan menjelang pemilu legislatif 9
April. Menurut Fahri, hal itu akan berbuah negatif karena semua kubu
parpol dan capres akan menggalang seluruh kekuatan kampanye mereka untuk
menyerang PDIP.
"Dan yang paling akan menjadi operatornya adalah partai yang selama
ini dikorbankan oleh naiknya PDIP, yakni partai pemerintah," kata dia.
Alasan kedua yang membuat Fahri tak yakin PDIP akan mencapreskan
Jokowi, adalah partai banteng merah itu belajar dari kasus Mangku
Pastika di Bali dan Bibit Waluyo di Jateng. Yakni terkait loyalitas.
Baik Pastika atau Bibit, agak mirip Jokowi dimana basis mereka bukan
kaderisasi internal.
Karena itu, Fahri menyatakan dirinya tak percaya bahwa Megawati akan
menyerahkan senjata pamungkas, posisi capres itu, kepada Jokowi secara
sungguh-sungguh.
"Kecuali hanya untuk diiming-imingkan saja. Terutama Megawati, beliau
sangat sakit hati dengan kejadian di Bali dan Jateng itu," kata dia.
Argumen loyalitas, lanjutnya, juga menjadi titik tolak untuk menilai
masa depan PDIP sendiri sebagai partai yang mempertahankan trah presiden
Soekarno.
Kalaupun disebut Megawati, sebagai ketua umum PDIP, bisa saja
mengontrol Jokowi sebagai presiden, seperti terjadi di India dengan
Sonia Gandhi, menurut Fahri, hal itu takkan mungkin terjadi.
Menurut Fahri, Megawati dan Sonia Gandhi berbeda. Di India, Sonia tak
boleh jadi Perdana Menteri (PM). Tapi sebagai ketua partai, dia bisa
mengontrol 100 persen PM Singh karena negara itu menerapkan sistem
parlementer.
"Dalam sistem demikian, nyawa itu di ketua partai. Kalau di
Indonesia, presiden adalah penguasa prerogatif. Ketua partai tak ada
gunanya," kata Fahri.
"Jadi mustahil kalau Megawati membiarkan seolah-olah dia akan bisa mengontrol Jokowi," tandasnya.
Sumber :
beritasatu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar