Ada yang berbeda dari penampilan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo
(Jokowi) akhir-akhir ini. Beberapa helai rambut di kepalanya memutih. Tumbuh uban
di kepala Jokowi.
"Ya, iyalah, ndak disemir," kata Jokowi saat blusukan beberapa waktu lalu.
Mengutip
salah satu blog kesehatan, kemunculan uban dipicu stres berkepanjangan.
Stres menyebabkan macetnya produksi pigmen pewarna rambut yang disebut
melanin. Melanin ini dihasilkan oleh sel tubuh bernama melanosit. Stres
yang terjadi pada seseorang diketahui menghentikan produksi melanosit.
Lantas,
apa yang mengganggu pikiran sang Jokowi? Hal itulah yang terungkap di
meja makan rumah dinasnya di Jalan Taman Suropati, Nomor 7, Menteng,
Jakarta, Senin (18/11/2013).
"Pusing banget saya. Ada 884 saluran penghubung ndak bisa kita apa-apain. Ndak bisa normalisasi, ndak bisa dikeruk. Padahal, sudah masuk ke musim hujan," curhat politisi PDI Perjuangan itu.
Kepusingan Jokowi itu terlontar seusai ia blusukan
ke Kali Nipah di Petogogan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kali itu
adalah satu dari 884 penghubung di Jakarta. Kondisi ratusan penghubung
itu sama. Mampet karena sampah dan terdapat lumpur puluhan sentimeter serta yang tak kalah bikin pusing adanya permukiman di tepinya.
Endapan
lumpur dan sampah mungkin tak begitu jadi persoalan untuk
menormalisasi. Namun, keberadaan permukiman warga itu tentu sangat
mengganggu jalannya normalisasi. Tak ada celah ke saluran mengakibatkan
alat berat pun tak bisa menormalisasinya.
"Tantangan yang paling berat itu memang menggeser yang ada di atas dan pinggir saluran. Teknis normalisasinya mudah," ujarnya.
Berkaca
di negara-negara maju, lanjut Jokowi, seluruh saluran penghubung bersih
dari permukiman, sampah, serta endapan lumpur. Hal itu terjadi lantaran
pemeliharaan dilakukan setiap hari.
"Yang paling benar adalah
warga pindah ke rusun, lahan yang dulu ditinggali dibuat ruang terbuka
hijau. Salurannya tiap hari dikeruk. Kita alat dredging sudah ada, tapi dipakai di Sunter Utara doang. Karena, itu paling mungkin. Kan sangat disayangkan," tutur Jokowi.
Keberuntungan
menimpa Jokowi di Kali Nipah itu. Persis di tepian saluran, tengah ada
penataan kampung deret. Otomatis, rumah warga pun tengah dibongkar
sehingga memudahkan normalisasi kali yang saban musim hujan selalu
menyebabkan banjir tersebut.
Lantas, bagaimana dengan 883 saluran
penghubung yang lain? Jokowi tetap berupaya menormalisasi meski
diakuinya belum maksimal. Normalisasi hanya dilakukan di titik-titik
saluran yang bersih dari permukiman. Sisanya? Inilah yang jadi persoalan
kedua.
"Mau normalisasi, warga harus dipindah. Dipindah ke mana? Wong rusun saja belum ada yang jadi. Tambah pusinglah," ucap Jokowi.
Mau
tak mau, kata Jokowi, Pemprov DKI bekerja beriringan. Di satu sisi,
Pemprov DKI tetap melaksanakan normalisasi 884 penghubung, tetapi dengan
cara manual. Di sisi lain, Pemprov DKI terus membebaskan lahan untuk
pembangunan rumah susun sewa atau rusunawa.
Mengubah perilaku warisan dulu
Hal
lain yang memusingkannya adalah perilaku buang sampah sembarangan oleh
masyarakat di tepi sungai atau saluran tersebut. Fasilitas gerobak
sampah sudah ada, tempat sampah lingkungan warga telah diberikan, tetapi
warga entah kenapa masih bandel.
Denda Rp 500.000,- bagi warga
yang tertangkap membuang sampah sembarangan, diakui Jokowi, tidak perlu
dilakukan jika kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat telah
ada. Jokowi mengaku dalam waktu dekat, dirinya akan menggandeng psikolog
Universitas Indonesia untuk ikut serta menyosialisasikan hidup bersih
dan sehat masyarakat bantaran sungai dan saluran.
"Masyarakat China butuh waktu tujuh tahun supaya ndak buang ludah sembarangan. Saya sudah ngobrol-ngobrol, kalau di-drill terus, satu atau dua tahun bisalah masyarakat di sungai Jakarta itu ndak lagi buang sampah sembarangan di sungai kita," ujarnya.
Rantai
permasalahan tersebut, Jokowi menuding, sebagai akibat dari kebobrokan
penerapan birokrasi di masa lalu. Alergi terhadap hal-hal yang
berhadapan dengan warga adalah penyakit birokrat. Hasilnya, persoalan di
lapangan pun akhirnya dibiarkan menumpuk.
"Ini kan problem yang bertumpuk-tumpuk ndak diselesaikan dari sebelumnya. Harusnya kan periode pertama selesai 10 persen, periode kedua 20 persen, ini ndak, bergunung-gunung," ujarnya.
Bisikan
dari sang ajudan yang mengingatkan Jokowi akan agenda selanjutnya
memutus curhatan sang Gubernur di meja makannya. Helaan napas panjang
dan dalam mengakhiri diskusi Jokowi dengan wartawan terkait
persoalan-persoalan di Jakarta Senin siang itu.
"Ayo, kita kerja sajalah yang penting," tutupnya.
Sumber :
tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar