Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) masih belum mau memberikan kepastian terkait capres.
Kemunculan Jokowi dalam panggung politik mengubah hampir seluruh peta politik nasional. Ia mengacak-ngacak komposisi kekuatan partai politik dan juga elektabilitas kandidat calon presiden yang diusung partai lain.
Survei terbaru yang digelar The Indonesia Institute dan Indikator Politik Indonesia yang bekerja sama dengan Sinar Harapan lewat metode eksperimental menunjukkan hal tersebut. Hasil survei akan diturunkan selama tiga hari berturut-turut, mulai Senin (18/11/2013) ini.
Terlepas dari maraknya hasil survei opini publik yang menunjukkan tingginya popularitas dan elektabilitas Joko Widodo alias Jokowi, hingga saat ini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) masih belum mau memberikan kepastian terkait capres dari PDIP.
Mereka menyerahkan hal ini pada kebijakan Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDIP. Partai ini lebih memfokuskan parpol pada upaya pemenangan di Pemilu Legislatif (Pileg) 2014.
Namun, tetap menarik mengetahui seberapa signifikan efek Jokowi terhadap pilihan partai, terutama dengan cara pembuktian secara ilmiah. Pembuktian itu dengan menerapkan kaidah eksperimental dalam survei opini publik.
Dari berbagai hasil survei opini publik yang selama ini, Jokowi masih menempati peringkat teratas dengan perolehan suara yang cenderung jauh meninggalkan kandidat-kandidat kuat dan potensial lainnya yang sudah beredar namanya di publik. Nama Jokowi bahkan mendominasi posisi puncak hasil survei capres, meskipun penetapan capres 2014 belum final.
Survei eksperimental yang digelar 10-20 Oktober 2013 dengan melibatkan 1.200 responden membuktikan secara jelas, kuat, valid, dan ilmiah bahwa pencapresan Jokowi oleh PDIP memiliki dampak positif dan sangat signifikan bagi peningkatan elektabilitas PDIP. Terutama jika pemilihan anggota DPR dilaksanakan saat eksperimen dilakukan.
Pertama, tanpa pencapresan Jokowi oleh PDIP, elektabilitas partai ini saat survei dilakukan sekitar 22 persen. Kedua, dengan treatment jika Jokowi dicapreskan oleh PDIP, elektabilitas partai ini melonjak hampir dua kali lipat, menjadi 38 persen.
Ketiga, dengan treatment jika Jokowi tidak dicapreskan PDIP, elektabilitas PDIP mengalami penurunan sekitar 14 persen. Survei ini membagi tiga kelompok sampel yang diberikan pertanyaan terpisah dan berbeda terkait efek Jokowi.
Perlu dicatat, proporsi dan profil responden dalam masing-masing kelompok ini sama, misalnya 50 persen laki-laki dan 50 persen perempuan. Margin of error (MoE) untuk 400 responden yang terlibat dalam masing-masing kelompok ini kurang lebih 5 persen.
Kelompok sampel menjawab pertanyaan pertama yang sifatnya non-treatment/kontrol (tanpa memasukkan nama Jokowi dalam pertanyaan), “Bila pemilihan anggota DPR sekarang, partai atau calon dari partai mana yang dipilih?”.
Survei menunjukkan mereka memilih PDIP (21,6 persen), Golkar (17,5 persen), Demokrat (9,2 persen), Gerindra (9,1 persen), PPP (4,7 persen), PKB (4,5 persen), Hanura (4,1 persen), Nasdem (3,7 persen), PKS (3,1 persen), PAN (1,2 persen), PBB (0,9 persen), PKPI (0), dan yang belum tahu pilihannya (20,3 persen).
Hal yang menarik dari metode ekperimental ini, di kelompok sampel yang menjawab pertanyaan kedua, di mana diberikan treatment satu lewat pertanyaan “Jika Jokowi dicalonkan sebagai Presiden oleh PDIP, partai atau calon dari partai mana yang dipilih?”.
Hasilnya menunjukkan lonjakan yang signifikan terhadap perolehan suara PDIP, dari 21,6 persen lewat pertanyaan non-treatment/kontrol, menjadi 37,8 persen (hampir dua kali lipat lonjakan elektabilitasnya).
Dimasukkannya nama Jokowi sebagai treatment 1, yaitu jika Jokowi dicalonkan sebagai capres dari PDIP, secara lebih jauh memengaruhi elektabilitas partai lain. Dimasukkannya Jokowi dalam bursa capres ikut “menghisap” suara pemilih dari partai lain.
Berikut persentase elektabilitas partai lain berdasarkan hasil survei terhadap kelompok responden yang menjawab pertanyaan survei TII dan IPI dengan treatment 1: Golkar (14,6 persen), Gerindra (6,6 persen), Demokrat (5,4 persen), PPP (3,6 persen), Hanura (3,5 persen), PAN (2,5 persen), PKB (2,5 persen), Nasdem (1,4 persen), PKS (0,6 persen), PBB (0,3 persen), PKPI (0), dan yang belum tahu memilih partai apa (21,2 persen).
Lebih jauh, efek Jokowi dapat dilihat dengan jelas dari temuan hasil survei eksperimental di kelompok sampel yang menjawab pertanyaan dengan treatment 2. Treatment ini mengondisikan PDIP tidak mencalonkan Jokowi sebagai capres.
PDIP mengalami penurunan elektabilitas yang cukup berarti menjadi 14,4 persen dibandingkan respon terhadap pertanyaan non-treatment dan treatment 1 dengan elektabilitas PDIP masing-masing 21,6 persen dan 37,8 persen.
Kondisi dengan pertanyaan treatment 2 tersebut juga menunjukkan jika PDIP tidak mencalonkan Jokowi sebagai capres, partai lain yang diuntungkan dari swing voters dan/atau “hukuman” terhadap PDIP yang tidak mencalonkan Jokowi.
Persentase parta lain untuk kondisi ini adalah Golkar (21,8 persen), Gerindra (11,1 persen), Demokrat (8,2 persen), Hanura (6 persen), PPP (3,5 persen), PKB (5,8 persen), Nasdem (3,9 persen), PKS (2,7 persen), PAN (1,1 persen), PBB (0,3 persen), PKPI (0,7 persen), dan yang belum tahu (20,5 persen).
Bukan Prediksi
Temuan survei eksperimental ini bukan prediksi terhadap kemenangan partai dalam pemilihan legislatif mendatang. Survei ini untuk mengetahui dan membuktikan secara ilmiah signifikansi efek Jokowi terhadap elektabilitas partai, baik PDIP maupun partai-partai lainnya berdasarkan pada jawaban responden pada saat survei dilakukan. Dengan catatan, pemilu dilaksanakan saat survei dilakukan.
Penjelasan lebih komprehensif mengenai konteks , jawaban, pandangan responden atau pihak terkait lainnya, serta pemahaman tentang efek Jokowi harus dilengkapi penelitian kualitatif, misalnya lewat studi literatur, wawancara mendalam, atau focus group discussion yang melibatkan sumber data acuan yang dapat diandalkan dan narasumber yang relevan dengan kebutuhan penelitian.
Penelitian kualitatif juga sangat penting dan dibutuhkan, misalnya untuk memahami lebih lanjut alasan responden masih cenderung menyukai dan memilih Jokowi, sementara masalah banjir, kemacetan, dan sebagainya masih belum dituntaskan di Jakarta.
Tentu banyak faktor yang memengaruhi preferensi dan perilaku pemilih yang dapat diperkaya dan diperdalam lewat penelitian kualitatif, terutama untuk menjawab kesenjangan antara asumsi atau teori yang ideal dengan temuan di lapangan.
Temuan survei eksperimental ini lebih jauh menunjukkan dalam pemilu legislatif pengaruh pencapresan Jokowi sangat terlihat terhadap elektabilitas Partai Golkar, apalagi jika pencapresan Jokowi olehh PDIP sebagai keputusan politik partai diketahui pemilih nasional.
Perlu dicatat, untuk mengetahui efek pencapresan Jokowi oleh PDIP terhadap partai lain secara signifikan, perolehan suara partai-partai dalam survei setidaknya harus 5 persen atau lebih atau di atas rata-rata MoE atau MoE-nya diperkecil menjadi 1 persen. Namun, hal ini membutuhkan sampel dan biaya yang sangat besar.
Temuan ini seharusnya memberikan peringatan penting yang mendesak tidak hanya untuk PDIP, tetapi juga partai-partai lain. Hal ini melihat dampak dari efek pencapresan Jokowi.
Lebih jauh, temuan survei ini memberi catatan bagi PDIP dan partai-partai lainnya bahwa masih ada sekitar 20 persen responden survei yang menyatakan belum tahu partai yang akan dipilih jika pemilihan anggota DPR dilakukan saat survei dilakukan.
Hal tersebut menjadi tantangan sekaligus kesempatan yang dapat dimanfaatkan partai politik untuk bergiat dalam rangka memelihara basis konstituen yang ada, maupun mendulang suara pendukung dari konstituen baru, khususnya pemilih yang masih belum menentukan pilihan partainya.
*Penulis adalah peneliti pada The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research
Sumber :
centroone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar