Senin, 18 November 2013

Rivalitas SBY vs Jokowi

Sejumlah catatan menyebutkan pada 1977, Presiden Soeharto pernah berseteru dengan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Persoalannya sederhana, Soeharto merasa tidak nyaman karena popularitas Ali Sadikin dari hari ke hari semakin menanjak. Soeharto beserta orang-orang dekatnya khawatir bila suatu ketika popularitas Ali Sadikin melampaui Soeharto.
Jika popularitas Ali Sadikit terus meroket, maka Bang Ali --begitu Ali Sadikin suka dipanggil-- sangat potensial menjadi capres pesaing Soeharto. Apalagi sinyal ke arah itu mulai nampak. Misalnya, ketika itu Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) Universitas Indonesia (UI), Dipo Alam yang saat ini menjabat sebagai Menteri Sekretaris Kabinet RI, secara terbuka mengajukan Bang Ali jadi capres alternatif. Suatu tindakan yang terhitung berani dan tabu ketika itu.
Soeharto segera bersikap. Judi kasino di Jakarta yang selama ini menjadi sumber dana dan dikelola penuh Pemda DKI Jakarta dicabut izinnya. Pencabutan izin judi kasino ketika itu sama sekali bukan sebagai sikap politik Soeharto mengapresiasikan kehendak dan keinginan umat Islam, tetapi lebih kepada strategi ‘membunuh’ Ali Sadikin.
Sebagai gantinya, melalui Departemen Sosial Soeharto membuat Porkas, dimana dana yang diperoleh dari judi versi baru itu bebas dari kekuasaan Gubernur DKI Jakarta. Tidak hanya itu, beberapa waktu sebelum masa jabatan kedua sebagai Gubernur DKI Jakarta berakhir, dengan sejumlah alasan administratif Bang Ali dicopot dari jabatannya itu.

SBY vs Jokowi
Rivalitas serupa antara Presiden dengan Gubernur sepertinya kembali terulang. Sejumlah pemberitaan media mengisyaratkan adanya ‘rivalitas’ yang sedang berlangsung antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Joko Widodo (Jokowi), mantan Wali Kota Solo yang saat ini menjabat Gubernur DKI Jakarta. Bahkan, ada media yang terang-terangan menyebutkan bahwa pangkal terjadinya ‘rivalitas’ antara SBY-Jokowi bermula dari soal popularitas dan populisme.
Sikap dan tindakan Jokowi yang gemar blusukan oleh mayoritas media dikampanyekan sebagai sikap populis dari Jokowi. Penampilan dan kinerja Jokowi selama menjabat Gubernur DKI Jakarta dijustifikasikan media sebagai sebuah tindakan merakyat dari seorang Gubernur DKI Jakarta yang sebelumnya jarang dilakukan para pejabat di Indonesia.
Lebih menarik lagi, sejumlah media dengan berani mengisyaratkan penampilan dan gaya SBY sebagai sangat berbeda dengan Jokowi. Bahkan, Christianto Wibisono dalam satu tulisannya menceritakan bahwa sejak Jokowi terpilih dan berkiprah sebagai Gubernur DKI Jakarta, sejumlah media sosial sudah mulai membenturkan gaya tampilan SBY dan Jokowi. Kalau Jokowi dipersepsikan sebagai sosok populis, maka SBY dipersepsikan sebagai ‘neolib’ (Kompas, 11/11/2013).
Soal popularitas Jokowi memang layak membuat SBY dan Partai Demokrat galau. Sejumlah survei menyebutkan bahwa Jokowi memiliki elaktabilitas yang tinggi. Capres Jokowi sering menempati posisi teratas dalam sejumlah survei. Terbaru, Jokowi menjadi capres dengan komunikasi paling bagus dalam penelitian Lembaga Demokrasi Bertanggungjawab. Sebelumnya, survei lain, di antaranya CSIS, Indonesia Research Center, dan Political Weather Station menempatkan Jokowi pada posisi pertama sebagai capres popular.
Ledakan popularitas Jokowi yang kemungkinan besar akan diusung PDIP sebagai calon presiden tentu saja mengganggu konsolidasi politik yang sedang dilakukan Partai Demokrat, yang saat ini sedang melangsungkan proses konvensi partai untuk menjaring capres ideal yang selanjutnya akan diperjuangkan dalam pilpres mendatang.
Sebagai petahana, jelas dan pasti SBY ingin mengakhiri masa tugas periode keduanya dalam suasana khusnul khatimah. Sangat logis bila SBY ingin agar presiden penggantinya adalah figur yang memiliki hubungan ‘batiniah’ dengan dirinya. Sehingga pasca-alih kekuasaan berbagai kebijakan positif koinstruktif yang selama ini dijalankan dapat dilanjutkan oleh presiden penggantiya. Siapa saja presiden, akan merasa bangga dan bahagia bila di ujung jabatannya berhasil ‘memfasilitasi’ terpilihnya presiden baru yang disenanginya.

Kritik terbuka
Kritik terbuka yang disampaikan SBY kepada Jokowi juga menjadi indikasi adanya “rivalitas” antara antara SBY dengan mantan Wali Kota Solo itu. Sebagaimana ditulis Kompas (Senin, 11/11/2013), dengan gaya sersan (serius tapi santai), satu pekan sebelumnya atau tepatnya pada Senin (4/11/2013), Presiden SBY melemparkan kritikannya kepada Jokowi.
“Saya dari Istana ke Sahid memenuhi undangan Agung Laksono perlu 45 menit karena saya tidak pernah minta ditutup jalan kalau lewat. Ipar saya sempat mengecek saya di rumah, tapi diisukan menyetop jalan, di East Asia Summit di Bandar Seri Begawan, para pemimpin ASEAN mengeluh kemacetan Jakarta. Saya jawab, itu tanggung jawab Gubernur, bukan Presiden”, kata SBY dalam pertemuannya dengan jajaran Kadin.
Gayung pun bersambut. Besoknya, Selasa (5/11/2013), Jokowi segera menjawab dengan tegas kritikan SBY itu. “Kemacetan Jakarta merupakan tanggung jawab semua pihak termasuk pemerintah pusat, karena jalan protokol dan jalan negara adalah urusan Kementerian PU. Kebijakan transportasi juga di tangan pusat dan Jakarta memang memerlukan otoritas transportasi Jabodetabek yang terintegrasi, yang tidak mungkin hanya ditangani Gubernur DKI Jakarta,” tegas Jokowi.
Yang ‘menyerang’ Jokowi ternyata bukan hanya Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Sejumlat elite partai berlambang merci ini juga ikut-ikutan menembak, antara lain Ketua Fraksi Partai Demokrat Nurhayati Asegaf dan Ruhut Sitompul. Materi kritik yang dilemparkan beragam, mulai dari kebijakan Jokowi terkait banjir Jakarta sampai soal penertiban Topeng Monyet.
Ada yang menduga ketidaksukaan Partai Demokrat kepada Jokowi dikarenakan Jokowi pernah menolak ikut konvensi penjaringan Capres Partai Demokrat. Pilihan politik Jokowi ini bias saja dianggap mempermalukan Partai Demokrat dan karenannya tidak boleh  dibiarkan.
Andai saja SBY dan sejumlah petinggi demokrat lainnya sedikit mengendalikan diri, tidak ‘menyerang’ Jokowi secara terbuka, maka publik tidak menjadi tahu ada ‘rivalitas’ antara SBY-Jokowi. Publik juga tidak menduga ada ‘persaingan keras’ antara Partai Demokrat yang terus dielus-elus SBY dengan PDIP yang digawangi Megawati. Nyaris dapat dipastikan pada pilpres yang akan datang Partai Demokrat dan PDIP akan mengajukan capres yang berbeda.

Tanda-tanda alam
Gesekan antara Jokowi dengan sejumlah elite Demokrat mungkin saja merupakan tanda-tanda alam, bakal terjadinya ‘pertarungan mematikan’ antara PDIP dengan Partai Demokrat di masa yang akan datang. Barangkali pidato Megawati yang mengatakan: “Menjadi presiden mudah, tapi menjadi pemimpin itu sulit,” adalah tendangan bola pertama yang dilakukan Megawati sebagai pemanasan menjelang pertandingan sesungguhnya. ‘Tendangan’ Megawati itu ternyata juga ditanggapi serius SBY melalui akun twitter-nya.
Mari kita tunggu hasil akhir dari ‘rivalitas’ SBY-Jokowi. Akhir dari rivalitas Soeharto-Ali Sadikin adalah kemenangan telak di pihak Soeharto. Lalu siapa yang akan muncul sebagai pecundang dari ‘rivalitas’ SBY-Jokowi? Waktulah yang kan menjawabnya!

Sumber :
tribunnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar