Sejumlah catatan menyebutkan pada 1977, Presiden Soeharto pernah
berseteru dengan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Persoalannya
sederhana, Soeharto merasa tidak nyaman karena popularitas Ali Sadikin
dari hari ke hari semakin menanjak. Soeharto beserta orang-orang
dekatnya khawatir bila suatu ketika popularitas Ali Sadikin melampaui
Soeharto.
Jika popularitas Ali Sadikit terus meroket, maka Bang
Ali --begitu Ali Sadikin suka dipanggil-- sangat potensial menjadi
capres pesaing Soeharto. Apalagi sinyal ke arah itu mulai nampak.
Misalnya, ketika itu Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) Universitas Indonesia
(UI), Dipo Alam yang saat ini menjabat sebagai Menteri Sekretaris
Kabinet RI, secara terbuka mengajukan Bang Ali jadi capres alternatif.
Suatu tindakan yang terhitung berani dan tabu ketika itu.
Soeharto
segera bersikap. Judi kasino di Jakarta yang selama ini menjadi sumber
dana dan dikelola penuh Pemda DKI Jakarta dicabut izinnya. Pencabutan
izin judi kasino ketika itu sama sekali bukan sebagai sikap politik
Soeharto mengapresiasikan kehendak dan keinginan umat Islam, tetapi
lebih kepada strategi ‘membunuh’ Ali Sadikin.
Sebagai gantinya,
melalui Departemen Sosial Soeharto membuat Porkas, dimana dana yang
diperoleh dari judi versi baru itu bebas dari kekuasaan Gubernur DKI
Jakarta. Tidak hanya itu, beberapa waktu sebelum masa jabatan kedua
sebagai Gubernur DKI Jakarta berakhir, dengan sejumlah alasan
administratif Bang Ali dicopot dari jabatannya itu.
SBY vs Jokowi
Rivalitas
serupa antara Presiden dengan Gubernur sepertinya kembali terulang.
Sejumlah pemberitaan media mengisyaratkan adanya ‘rivalitas’ yang sedang
berlangsung antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Joko
Widodo (Jokowi), mantan Wali Kota Solo yang saat ini menjabat Gubernur
DKI Jakarta. Bahkan, ada media yang terang-terangan menyebutkan bahwa
pangkal terjadinya ‘rivalitas’ antara SBY-Jokowi bermula dari soal
popularitas dan populisme.
Sikap dan tindakan Jokowi yang gemar
blusukan oleh mayoritas media dikampanyekan sebagai sikap populis dari
Jokowi. Penampilan dan kinerja Jokowi selama menjabat Gubernur DKI
Jakarta dijustifikasikan media sebagai sebuah tindakan merakyat dari
seorang Gubernur DKI Jakarta yang sebelumnya jarang dilakukan para
pejabat di Indonesia.
Lebih menarik lagi, sejumlah media dengan
berani mengisyaratkan penampilan dan gaya SBY sebagai sangat berbeda
dengan Jokowi. Bahkan, Christianto Wibisono dalam satu tulisannya
menceritakan bahwa sejak Jokowi terpilih dan berkiprah sebagai Gubernur
DKI Jakarta, sejumlah media sosial sudah mulai membenturkan gaya
tampilan SBY dan Jokowi. Kalau Jokowi dipersepsikan sebagai sosok
populis, maka SBY dipersepsikan sebagai ‘neolib’ (Kompas, 11/11/2013).
Soal
popularitas Jokowi memang layak membuat SBY dan Partai Demokrat galau.
Sejumlah survei menyebutkan bahwa Jokowi memiliki elaktabilitas yang
tinggi. Capres Jokowi sering menempati posisi teratas dalam sejumlah
survei. Terbaru, Jokowi menjadi capres dengan komunikasi paling bagus
dalam penelitian Lembaga Demokrasi Bertanggungjawab. Sebelumnya, survei
lain, di antaranya CSIS, Indonesia Research Center, dan Political
Weather Station menempatkan Jokowi pada posisi pertama sebagai capres
popular.
Ledakan popularitas Jokowi yang kemungkinan besar akan
diusung PDIP sebagai calon presiden tentu saja mengganggu konsolidasi
politik yang sedang dilakukan Partai Demokrat, yang saat ini sedang
melangsungkan proses konvensi partai untuk menjaring capres ideal yang
selanjutnya akan diperjuangkan dalam pilpres mendatang.
Sebagai
petahana, jelas dan pasti SBY ingin mengakhiri masa tugas periode
keduanya dalam suasana khusnul khatimah. Sangat logis bila SBY ingin
agar presiden penggantinya adalah figur yang memiliki hubungan
‘batiniah’ dengan dirinya. Sehingga pasca-alih kekuasaan berbagai
kebijakan positif koinstruktif yang selama ini dijalankan dapat
dilanjutkan oleh presiden penggantiya. Siapa saja presiden, akan merasa
bangga dan bahagia bila di ujung jabatannya berhasil ‘memfasilitasi’
terpilihnya presiden baru yang disenanginya.
Kritik terbuka
Kritik
terbuka yang disampaikan SBY kepada Jokowi juga menjadi indikasi adanya
“rivalitas” antara antara SBY dengan mantan Wali Kota Solo itu.
Sebagaimana ditulis Kompas (Senin, 11/11/2013), dengan gaya sersan
(serius tapi santai), satu pekan sebelumnya atau tepatnya pada Senin
(4/11/2013), Presiden SBY melemparkan kritikannya kepada Jokowi.
“Saya
dari Istana ke Sahid memenuhi undangan Agung Laksono perlu 45 menit
karena saya tidak pernah minta ditutup jalan kalau lewat. Ipar saya
sempat mengecek saya di rumah, tapi diisukan menyetop jalan, di East
Asia Summit di Bandar Seri Begawan, para pemimpin ASEAN mengeluh
kemacetan Jakarta. Saya jawab, itu tanggung jawab Gubernur, bukan
Presiden”, kata SBY dalam pertemuannya dengan jajaran Kadin.
Gayung
pun bersambut. Besoknya, Selasa (5/11/2013), Jokowi segera menjawab
dengan tegas kritikan SBY itu. “Kemacetan Jakarta merupakan tanggung
jawab semua pihak termasuk pemerintah pusat, karena jalan protokol dan
jalan negara adalah urusan Kementerian PU. Kebijakan transportasi juga
di tangan pusat dan Jakarta memang memerlukan otoritas transportasi
Jabodetabek yang terintegrasi, yang tidak mungkin hanya ditangani
Gubernur DKI Jakarta,” tegas Jokowi.
Yang ‘menyerang’ Jokowi
ternyata bukan hanya Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Sejumlat elite
partai berlambang merci ini juga ikut-ikutan menembak, antara lain
Ketua Fraksi Partai Demokrat Nurhayati Asegaf dan Ruhut Sitompul. Materi
kritik yang dilemparkan beragam, mulai dari kebijakan Jokowi terkait
banjir Jakarta sampai soal penertiban Topeng Monyet.
Ada yang
menduga ketidaksukaan Partai Demokrat kepada Jokowi dikarenakan Jokowi
pernah menolak ikut konvensi penjaringan Capres Partai Demokrat. Pilihan
politik Jokowi ini bias saja dianggap mempermalukan Partai Demokrat dan
karenannya tidak boleh dibiarkan.
Andai saja SBY dan sejumlah
petinggi demokrat lainnya sedikit mengendalikan diri, tidak ‘menyerang’
Jokowi secara terbuka, maka publik tidak menjadi tahu ada ‘rivalitas’
antara SBY-Jokowi. Publik juga tidak menduga ada ‘persaingan keras’
antara Partai Demokrat yang terus dielus-elus SBY dengan PDIP yang
digawangi Megawati. Nyaris dapat dipastikan pada pilpres yang akan
datang Partai Demokrat dan PDIP akan mengajukan capres yang berbeda.
Tanda-tanda alam
Gesekan
antara Jokowi dengan sejumlah elite Demokrat mungkin saja merupakan
tanda-tanda alam, bakal terjadinya ‘pertarungan mematikan’ antara PDIP
dengan Partai Demokrat di masa yang akan datang. Barangkali pidato
Megawati yang mengatakan: “Menjadi presiden mudah, tapi menjadi pemimpin
itu sulit,” adalah tendangan bola pertama yang dilakukan Megawati
sebagai pemanasan menjelang pertandingan sesungguhnya. ‘Tendangan’
Megawati itu ternyata juga ditanggapi serius SBY melalui akun
twitter-nya.
Mari kita tunggu hasil akhir dari ‘rivalitas’
SBY-Jokowi. Akhir dari rivalitas Soeharto-Ali Sadikin adalah kemenangan
telak di pihak Soeharto. Lalu siapa yang akan muncul sebagai pecundang
dari ‘rivalitas’ SBY-Jokowi? Waktulah yang kan menjawabnya!
Sumber :
tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar