Elektabilitas Gubernur Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) mencapai 32,5 persen pada survei Kompas, Senin (26/8/2013), meningkat dua kali lipat dari survei 2012, menunjukkan gambaran kecenderungan perilaku memilih, meninggalkan sikap konservatisme politik.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Mulyana W Kusumah menilai, naiknya keterpilihan Jokowi menurut responden survei Kompas, telah mengubah paradigma ketokohan berdasar pencitraan semu penuh rekayasa yang kebijakannya justeru tidak prorakyat.
"Mereka tidak lagi mendasarkan pilihan pada tokoh yang mengedepankan bentuk pencitraan palsu, yaitu memadukan penampilan pribadi yang direkayasa, atau dengan gagasan pernyataan publik yang terkesan santun bergaya akademik,” kata Mulyana di Jakarta Senin (26/8/2013).
Direktur Eksekutif Seven Strategic Studies ini menambahkan, para pemilih sudah meninggalkan tokoh-tokoh klasik dengan rekam jejak yang dinilai tidak akan membawa perubahan ke arah Indonesia yang lebih baik.
"Belum ada tokoh nasional lain yang menjadi bintang politik baru. Hanya tersisa waktu sekitar 6-7 bulan Pemilihan Legistatif 2014, kesempatan membuka bagi tampilnya bakal calon presiden lain. Waktu sisa, terlalu singkat untuk membangun eligibilitas, akseptabilitas publik ,apalagi elektabilitas,” katanya.
Sekitar 30 tokoh lain yang sejauh ini sudah mewacanakan diri atau diwacanakan menjadi bakal Calon Presiden, harus bekerja keras dengan segenap sumberdaya politik yang dimiliki, termasuk mengupayakan dukungan elektoral koalisi parpol, untuk memenuhi syarat presidential threshold, untuk dapat bersaing menandingi popularitas dan elektabilitas Jokowi.
"Namun dengan sempitnya waktu, terlalu singkat untuk mampu membangun elektabilitas seperti Jokowi,” ujarnya.
Menurut Mulyana, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), tentu harus menggunakan fenomena keunggulan elektoral Jokowi sebagai kesempatan historis untuk memasuki kembali pusat kekuasaan.
Sumber :
tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar