Program kampung deret yang digalakkan di Jakarta berangsur menunjukkan hasil positif. Perlahan, warga mulai mengubah perilaku, khususnya terkait kebersihan dan kerapian lingkungan. Walaupun ada sejumlah kelemahan, semangat menata masyarakat urban perlu didukung.
Menurut pantauan Kompas, situasi resik tampak di RT 014 RW 001 Kelurahan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Lokasi ini merupakan lokasi proyek kampung deret pertama yang diresmikan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) pertengahan 2013.
Para penghuni dari 38 rumah yang menjadi sasaran program tampak mulai beradaptasi dengan keadaan hunian yang teratur. Wilayah itu dibangun ulang setelah terbakar pada Maret 2013.
Selang delapan bulan sejak diresmikannya, kampung deret Tanah Tinggi terlihat rapi. Memang masih ada potongan sampah yang tercecer di jalan beraspal, tetapi jumlahnya tak seberapa, terutama apabila dibandingkan dengan kondisi RT 013 yang letaknya tepat di sebelah kampung deret ini. RT 013 tidak termasuk sasaran proyek kampung deret.
Budi Anto (45), salah satu warga kampung deret Tanah Tinggi, mengatakan, masyarakat kini mulai terbiasa membuang sampah di tempatnya. ”Bukan hanya orang dewasa, melainkan anak kecil pun begitu meskipun belum semuanya,” kata Budi.
Tak lama setelah Budi berkata demikian, di tengah cuaca yang panas terik, seorang anak berusia sekitar 7 tahun yang bermain di jalan tampak berjalan ke arah tempat sampah organik, membuka tutupnya, dan membuang bungkus minuman dinginnya ke dalam tempat sampah berwarna biru itu.
Titi Handayani (29), yang sudah tinggal 20 tahun di RT 013 RW 001 Tanah Tinggi, tampak menyapu dan memunguti sampah yang berceceran di jalan depan rumahnya. ”Kalau tidak saya bersihkan, bisa kotor. Saya kan di sini juga jualan makanan, jadi sekitar saya harus tetap bersih,” kata Titi, yang membuka warung makan di depan rumahnya.
Budi mengatakan, warga kampung deret Tanah Tinggi sekarang hidup lebih bersih dan sehat. Ketua RW sejak awal sudah mengimbau warga agar tidak membuang sampah sembarang. ”Kan, tempat sampahnya sudah disediakan,” kata Budi sembari menunjuk dua tempat sampah ramah lingkungan di depannya.
Di depan deretan rumah bercat hijau muda itu, tersedia tempat sampah dengan warna berbeda, yakni biru untuk sampah organik dan jingga untuk sampah anorganik. Meski kesadaran membuang sampah di tempatnya mulai ditegakkan, warga belum mampu membedakan sampah organik dan anorganik.
Tempat sampah organik, contohnya, masih menampung sampah berjenis plastik dan kertas. Sementara tempat sampah anorganik turut menampung sampah basah, seperti sayuran bekas.
Rizky (16), penghuni kampung deret, duduk sambil mengisap rokok. Tangan kanannya memegang sebungkus es teh manis yang setengah terisi. Tidak jauh dari tempat ia duduk, terdapat dua tempat sampah berwarna biru dan jingga.
”Bagaimana, ya? Setahu saya, yang sampah ini ke tong berwarna biru,” ujar Rizky sambil mengangkat bungkus minuman dingin di tangan kanannya.
Lalu, sampah yang bahannya dari kertas ke tempat sampah berwarna oranye.
Senada dengan Rizky, Budi mengakui hal tersebut. ”Saya juga tidak mengerti sampah mana yang harus masuk ke tempat sampah biru dan oranye itu. Yang penting, saya tidak buang sampah sembarangan,” kata Budi.
Ia menambahkan, sosialisasi tentang pemilahan jenis sampah memang belum pernah dilakukan di lingkungan kampung deret Tanah Tinggi.
Kamis lalu, Wali Kota Jakarta Selatan Syamsudin Noor yang wilayahnya menjadi sasaran sejumlah proyek kampung deret mengatakan, mengubah pola pikir warga yang terbiasa hidup di permukiman kumuh merupakan tantangan dalam penyelenggaraan proyek kampung deret.
Ia mencontohkan kampung deret Petogogan di wilayahnya. Kampung tersebut sudah diresmikan, sebagian sudah dihuni warga, dan akan dijadikan kampung percontohan.
”Sosialisasi dan pelatihan tetap harus digencarkan. Setiap tempat sampah organik dan anorganik akan disertai penjelasan agar warga dapat membaca dan memilah sampahnya sebelum membuang,” kata Syamsudin.
Transformasi Positif
Secara terpisah, dosen Psikologi Perkotaan dan Psikologi Lingkungan Universitas Tarumanegara, Bonar Hutapea, mengatakan, perubahan lingkungan fisik biasanya berperan langsung kepada psikologi warga. Hal itu misalnya di Singapura. Dengan lingkungan fisik yang baik, warga cenderung kooperatif dan mau menjaga lingkungannya tetap bersih.
Menurut Bonar, hal tersebut diharapkan terjadi pada permukiman kumuh yang menjadi sasaran program kampung deret di Jakarta. Lingkungan fisik yang layak dan sehat sudah tercipta sejak awal. Namun, diperlukan tindak lanjut untuk mempertahankan kondisi tersebut.
”Rasa kepemilikan harus timbul di kalangan warga agar mereka terdorong menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan. Jangan sampai perilaku bersih dan sehat itu hanya terjadi di awal saja,” ujar Bonar.
Ia memandang perlu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempertimbangkan situasi sesudah pembangunan kampung deret. Bantuan dari berbagai pihak akan sangat membantu dalam mendukung perubahan perilaku warga. Hal itu misalnya lewat lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi dari perguruan tinggi, dan dari warga kampung deret sendiri, seperti ketua RT dan RW, kalangan ibu-ibu PKK, serta para pemuda.
”Mereka dapat menjadi contoh bagi lingkungan sekitarnya,” kata Bonar.
Sumber :
tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar