Warga Tanah Galian meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk segera
membentuk Rukun Tetangga dan Rukun Warga di permukiman mereka.
Perwakilan warga bertemu anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta, Rabu
(17/7/2013) kemarin, di ruang rapatnya.
Salah satu anggota
Komisi A DPRD DKI William Yani mengatakan, pihaknya akan menghimpun
tuntutan perwakilan warga Tanah Galian. Ia akan berkomunikasi dengan
Pemerintah Provinsi Jakarta untuk mewujudkan permintaan warga di sana.
"Kasus
ini hampir sama dengan kasus Tanah Merah di Jakarta Utara. Belum jelas
siapa pemiliknya bisa diakui dua tiga pihak. Tanah Merah saja selesai,
masak ini enggak," ujar William saat dihubungi Kompas pada Kamis (18/7/2013) pagi.
William
melanjutkan, meski ada permasalahan status tanah, Pemprov DKI tak bisa
menutup mata bahwa ada sekitar 500 kepala keluarga yang membutuhkan
akses ke kebijakan Pemprov DKI. Misalnya, Kartu Jakarta Sehat (KJS),
Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan sejumlah program lainnya.
Jika
warga tak memiliki KTP sesuai domisili, kata William, warga tidak mampu
mengakses sejumlah program pemerintah. "Pemda DKI paling tidak membentuk
RT dan RW untuk sementara, sampai terbentuknya RT dan RW yang baru,"
lanjutnya.
Menurut William, masyarakat di sana pun menjadi warga
ilegal juga karena luntang-lantungnya kepengurusan RT dan RW hingga
menyebabkan tak bisa mengurus KTP sesuai domisili. Padahal, jika
pemerintah memberikan solusi itu, warga dengan senang hati menjalankan
kewajibannya.
"Warga juga dapat menjalankan kewajiban dan
mendapatkan hak sebagai warga negara, termasuk juga ditetapkan sebagai
wajib pajak atas pajak bumi dan bangunan (PBB)," lanjut William.
Memicu Konflik Horizontal
Warga
Tanah Galian adalah sebutan bagi warga yang tinggal di tanah sengketa
di Cipinang Melayu, Makasar, Jakarta Timur, sejak bertahun-tahun. Kedua
pihak, yakni TNI AU Halim Perdanakusuma dan warga saling klaim
kepemilikan atas tanah itu. Di lahan itu, warga belum memiliki RT dan RW
resmi. Warga masih memperjuangkannya ke Gubernur DKI dan Wali Kota
Jakarta Timur.
Tahun 2012 TNI AU membangun waduk seluas 32
hektare untuk menciptakan daerah resapan. Namun, keberadaan waduk malah
menyebabkan banjir bukan hanya di daerah Tanah Galian tapi juga di
permukiman yang tidak masuk sengketa. Sebab, air waduk tak mengalir ke
Kanal Banjir Timur lantaran belum ada saluran penghubung.
Kondisi
ini yang kerap menyebabkan konflik horizontal tak hanya antara TNI AU
dengan warga Tanah Galian, namun juga warga Tanah Galian dengan warga
yang resmi bermukim. Warga resmi berpendapat bahwa warga Tanah Galian
seharusnya digusur agar permukimannya tidak menjadi korban kebanjiran.
Sementara warga Tanah Galian berpendapat Pemprov DKI harus membuat
penghubung secepatnya agar banjir tak terjadi terus menerus.
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar