Partai pendukung bekas pasangan calon presiden dan wakil presiden
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa berupaya mendominasi posisi krusial
seperti kursi di legislatif dan jabatan kepala daerah di pemerintahan
Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Kami akan sapu bersih," ujar Bambang
Soesatyo, anggota Fraksi Golkar di kompleks Senayan Jakarta, pekan lalu.
Secara hitungan matematis, kursi koalisi PDI Perjuangan kalah jumlah
ketimbang modal koalisi Partai Gerindra.
Koalisi
Jokowi hanya memperoleh 207 dari 560 kursi di DPR. Ada empat partai
pendukung, yakni PDI Perjuangan dengan 109 kursi, Partai NasDem 35
kursi, Partai Kebangkitan Bangsa 47 kursi, dan Partai Hanura 16 kursi.
Adapun
koalisi pendukung Prabowo mendulang 353 kursi DPR. Partai Gerindra yang
menjadi pengusung memperoleh 73 kursi, ditambah lima parpol lainnya,
yakni Partai Golkar 91 kursi, Partai Amanat Nasional 49 kursi, Partai
Persatuan Pembangunan 39 kursi, Partai Keadilan Sejahtera 40 kursi, dan
Partai Demokrat 61 kursi.
Perebutan kekuatan di legislatif
terjadi karena sesuai dengan tata tertib Undang-Undang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (MD3), pimpinan dan alat kelengkapan DPR dan DPRD dipilih
melalui sistem paket. Jadi, nama lima calon diusung oleh fraksi yang
berbeda dan dipilih melalui voting.
Saat
ini partai pengusung Prabowo sudah membagi jatah paket pimpinan DPR.
Posisi Ketua MPR bakal didapat Partai Demokrat dan Partai Golkar
mengklaim bakal mendapat jabatan Ketua DPR. Sedangkan paket Wakil Ketua
DPR diambil Gerindra, PAN, PPP, dan PKS.
Di tingkat DPRD, koalisi
Prabowo juga mendominasi setelah menguasai kursi DPRD di 31 provinsi.
Jika mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD, bukan tidak mungkin
koalisi Prabowo akan mengisi mayoritas posisi kepala daerah.
PDI
Perjuangan yang menang dalam pemilu legislatif lalu kini mengajukan uji
materi UUMD3 di Mahkamah Konstitusi. Mereka ingin penentuan pimpinan
DPR kembali ke aturan lama, yakni peraih suara terbanyak dalam pemilihan
legislatif. [tempo]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar