Jokowi belum dilantik sebagai presiden. Tapi berbagai elemen sudah
berdatangan. Minta kasus HAM diagendakan untuk dituntaskan. Ada yang
‘ngluruk’ agar dilibatkan. Dan tidak sedikit yang meminta jatah menteri.
Bagaimana kemungkinan sepak terjang Jokowi yang dipersonifikasikan
sebagai Petruk yang jadi ratu (presiden) itu?
Diingkari atau tidak, saat ini negara memang sedang punya masalah.
Berdasar garis besar pikir Machiavelli, politik itu kekuasaan an sich.
Semuanya ditujukan untuk itu. Tidak ada kebaikan untuk memperbaiki
tatanan. Juga tidak ada keburukan untuk memperburuk keadaan. Adagium
menghalalkan segala cara sah dilakukan. Dan dalil Lord Acton kekuasaan
itu cenderung korup perlu diberi penegasan, bahwa kekuasaan itu memang
korup.
Apologi dari otak-atik itu, Jokowi jadi presiden. Laki-laki sederhana
asal Solo ini kariernya bak roket. Dari menjabat Walikota Solo yang
tidak sampai tuntas, melejit menjadi Gubernur DKI yang juga idem dito.
Seperti naik jet, kini Jokowi terpilih sebagai presiden Republik
Indonesia.
Tampilnya Jokowi sebagai Satrio Pinilih ini menyerupai naiknya Gus Dur
menjadi presiden. Kala itu situasi politik memanas. Konflik kepentingan
sudah sampai di ubun-ubun. Diperlukan ‘bagi-bagi kuasa’. Dan Gus Dur
yang cacat phisik akhirnya tampil sebagai ‘Satrio Pinandhito’. Terpilih
sebagai presiden untuk memimpin negeri ini.
Masalah yang melatari terpilihnya Jokowi memang beda. Itu karena banyak
cerdik-pandai yang tidak cerdik dan tidak pandai. Semua hampir berpikir
sama. Berpikir demi tujuan sesaat. Kaya. Korupsi dianggap lumrah. Ini
justifikasi radikalnya perubahan dari filosofi budi ke filosofi materi
dalam budaya bangsa ini. Tidak dibutuhkan lagi Tuyul atau Nyi Blorong
untuk mendapatkan harta secara instan. Pejabat-pejabat itu sudah katam
mengaji ilmu memburu harta itu. Apalagi tumbalnya cuma tinggal di rumah
prodeo.
Akibat itu agama terpuruk dibuatnya. Hanya jadi kedok dan topeng
menutupi kebobrokan moral dan budi pekerti. Ini sebagai tanda, belum
muncul gerakan menuju kebaikan. Martir belum terdeteksi. Belum ada
pendeta (kiai) bersabuk tanah seperti isyarat Jangka Jayabaya. Jamaah
korupsi (mungkin) masih akan mencuat lagi. Tinggal tunggu saat dan
kesempatan.
Saat negara terlilit masalah itu, Babad Tanah Jawi memberi kesaksian
yang unik. Akan mulai bermunculan batu-batu hitam, diikuti gabus-gabus
yang tenggelam (keleme gabus, kambange watu item). Orang baik mulai
banyak yang masuk pemerintahan. Menggusur pejabat yang suka tipu-tipu,
tidak kapabel, dan koruptif.
Paham optimis ini dibarengi dengan slogan khas paria, ‘yen wis ana umbul-umul klaras soko kulon ngetan parane, iku tanda yen Zaman Jayabaya wis tumeko’. (Jika sudah ada umbul-umbul daun pisang kering dari timur menuju ke barat, itu tanda era Jayabaya sudah tiba).
Era Jayabaya yang dimaksud adalah kejayaan dan kemakmuran sebuah negara.
Dan dari timur ke barat diidentifikasi sebagai peralihan dari
Pemerintahan SBY (Pacitan-Jawa Timur) ke Jokowi (Solo-Jawa Tengah).
Tampilnya tokoh yang ‘tidak ditokohkan’ itu bak ‘udan salah mongso’.
Hujan yang tidak datang sesuai waktunya. Dalam lakon wayang, ini
disimbolkan dalam kisah carangan Petruk Dadi Ratu. Rakyat bawah yang
‘tidak punya maqom sebagai penguasa, tetapi kemudian berkuasa’.
Petruk adalah lambang rakyat jelata. Dia berasal dari keluarga papa yang
ribut dengan urusan ekonomi tak kecukupan, direcoki dengan
pikiran-pikiran ‘arus bawah’ (seks), yang ujung dari problem itu adalah
keluarga berantakan. Bersama Gareng, sejak kecil Petruk hidup
menggelandang. Untung bertemu Semar, Bodronoyo, lurah yang budiman dan
diambil sebagai anak. Nah Petruk dengan latar belakang seperti itu yang
kemudian menjadi raja.
Ini gara-gara jimat negara yang bernama Jamus Kalimasada hilang tercuri.
Dewi Mustakaweni, putri dari Kerajaan Imantaka, menyamar sebagai
Gatotokaca, berhasil menipu Bambang Irawan dan Bambang Priyambodo (anak
Arjuna). Keduanya setelah tahu tertipu gagal merebut. Justru Petruk yang
berhasil mengamankan. Sayang dia harus berkalang tanah akibat keris
Kiai Jalak Adipati Karna dari Astina.
Gandarwa sakti menghidupkannya. Mengubah wujud Petruk sebagai
Duryudana Raja Astina. Adipati Karna tertipu. Jamus Kalimasada
diserahkan pada Petruk, yang menjadi sangat sakti ketika azimat itu
diletakkan di atas kepalanya. Adipati Karna dikalahkan. Para dewata
lintang pukang. Termasuk para raja dari berbagai kerajaan yang
disinggahi.
Dalam tiap penaklukan, Petruk yang bergelar Prabu Welgeduwelbeh
(Belgeduwelbeh) itu selalu mengingatkan tiga perkara. Jangan sembrono
soal azimat negara. Jangan sombong jika sedang berkuasa. Jangan sakiti
hati rakyat kalau masih ingin berkuasa. Untuk itu Petruk juga mendapat
atribut Prabu Kanthong Bolong, karena uang di sakunya selalu tandas
untuk berderma.
Saya yakin Jokowi tahu filosofi itu. Dia paham implementasi dari laku
yang mampu mendistorsi kuasa ‘para raja’ dan ‘dewata’ itu. Ini terlihat
dari sepak terjangnya selama ini. Ketika berlaga di Solo, Jakarta, dan
Pilpres yang memenangkannya. Juga dirangkulnya Yayasan Kalimasadha
Nusantara saat baru beranjak maju nyapres. Kalau konsisensi itu tetap
terjaga, dijamin Jokowi akan memegang kekuasaan dalam dua periode.
Namun bagaimana membuatnya lengser? Seperti cerita Petruk Dadi Ratu.
Yang bisa membuat Jokowi menyerahkan kekuasaan itu hanya satu ‘bau’.
Kedua saatnya tiba, kuasa dikembalikan pada yang layak berkuasa. ‘Bau’
yang dimaksud adalah ‘kebosanan‘ karena paria masa lalunya memberi
nostalgia indah. Ingin kembali menjadi rakyat biasa. Sedang kedua, jika
sudah dua periode memerintah, dia dipaksa undang-undang menyerahkan
jabatan pada penggantinya.
Akankah Jokowi akan benar tampil sebagai Petruk Dadi Ratu? Memerintah
dengan hati demi memperbaiki nasib rakyat jelata yang mayoritas menghuni
negeri ini? Ataukah dia lupa diri dan berubah jadi ‘kere munggah bale’,
si paria alpa asal-usul? Waktu jua yang akan menjawabnya. [detik]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar