Sabtu, 23 Agustus 2014

Tanggapan Komnasham dan Kontras Seputar Rencana Jokowi Buat Pengadilan HAM Ad Hoc

Komisi Nasional dan Hak Asasi Manusia mendukung rencana presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) yang akan membentuk pengadilan HAM Ad Hoc. Anggota Komnas HAM, Roichatul Aswidah mengatakan, ada tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang harus diselesaikan pemerintah.
“Ini yang sudah lama kami tunggu,” ujarnya ketika dihubungi, Sabtu (23/8/2014).
Hingga kini, kata Roichatul, Komnas HAM belum dihubungi tim Jokowi terkait rencana penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, khususnya membentuk pengadilan HAM Ad Hoc itu.
Ketujuh kasus yang telah diselidiki Komnas HAM antara lain, kasus Trisakti Semanggi 1 dan 2, kerusuhan Mei 1998, kasus Talangsari, kasus penghilangan orang secara paksa 1998-1999, kasus pembunuhan misterius, Tragedi 1965, dan kasus Wasior di Wamena. Menurut Roichatul, secara prosedural yang paling siap untuk diperiksa di pengadilan HAM ad hoc adalah kasus penghilangan orang secara paksa.
Alasannya, panitia khusus DPR pada 2009 lalu sudah merekomendasikan kasus tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk diperiksa di depan pengadilan HAM ad hoc. “Dari hasil penyelidikan Komnas HAM, penghilangan orang secara paksa indikasi pelakunya satuan Kopassus,” ujar Roichatul.
Dia enggan membeberkan nama-nama yang diduga terlibat dalam kasus tersebut. Roichatul beralasan terganjal ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia. “Kami sudah ada nama-namanya. Kejaksaan Agung yang berhak menetapkan sebagai tersangka. Kami tunduk kepada hasil penyidikan Kejagung,” ujarnya.
Roichatul mengklaim berkas penyelidikan ketujuh kasus tersebut sudah lengkap. Hanya saja, Juni lalu dikembalikan oleh Kejagung lantaran ada perbedaan persepsi soal kewenangan masing-masing. Karena itu, Roichatul dan tim kembali akan kembali membahas tujuh kasus yang dikembalikan Kejaksaan Agung pada pekan ini. “Bagaimana Komnas dan Kejagung akan mencari titik temu. Kami berjanji usai pemilihan presiden untuk menyelesaikannya,” kata dia.
Tujuh kasus itu, menurut Roichatul, tak semuanya diselesaikan dengan pengadilan HAM ad hoc. Untuk kasus Wasior, ujar dia, karena terjadi di atas tahun 2000 maka diselesaikan melalui pengadilan HAM permanen. Sedangkan tragedi 1965, Komnas HAM merekomendasikan dua cara, yakni dengan pengadilan HAM adhoc atau penyelesaian non yudisial.

Kontras Tak Percaya
Di lain pihak, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan meragukan pernyataan Wakil Ketua Tim Transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla, Andi Widjajanto, bila usai pelantikan presiden terpilih Jokowi segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, khususnya membentuk pengadilan HAM Ad Hoc.
Koordinator KontraS Harry Azhar meragukan pernyataan Andi lantaran pekan lalu mengaku sudah bertemu KontraS soal pengangkatan A.M Hendropriyono sebagai anggota tim transisi. "Kami mau pernyataan langsung dari Jokowi," ujar Harry ketika dihubungi, Sabtu (23/8/2014). Dia juga masih meragukan keseriusan Jokowi dalam pembentukan pengadilan HAM Ad hoc karena baru sebatas pernyataan Andi.
Harry mensinyalir ada ketidakseriusan dari tim Jokowi soal pengusutan korban ketidakadilan hak asasi manusia. Dia mencontohkan dari hal sepele, seperti undangan untuk pertemuan yang selalu berubah dan tak ada surat resminya. Awalnya, dia dihubungi Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti untuk menggelar pertemuan soal tindak lanjut pembentukan pengadilan HAM bersama tim Andi, Murobi, pada Selasa, 26 Agustus ini. Lalu diundur pada Jumat, 29 Agustus. Kemudian diubah lagi pada Senin, 1 September 2014. "Saya minta undangan resmi, kalau tidak ada undangan saya tidak mau. Ini menunjukkan belum ada itikad baik," kata Harry.
Terkait Perppu pembentukan pengadilan HAM, dia bersama komisi hak asasi manusia lainnya sudah membuat draft-nya dan sudah diserahkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana dan Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto pada 2009. Karena itu, ujar Harry, bila Jokowi punya itikad baik, tinggal minta draft tersebut ke Yudhoyono. "Kalau konkrit, minta ke SBY, jangan minta ke kami," ujarnya.
Ketika sudah membentuk pengadilan, Harry juga meminta agar Jokowi mendorong kejaksaan mengadili beberapa jenderal yang diduga terlibat. Di antaranya anggota dewan penasihat tim transisi Jokowi yang juga mantan Kepala Badan Intelijen Nasional A. M. Hendropriyono, anggota koalisi partai pendukung Jokowi Mantan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Jenderal (Purnawirawan) Wiranto, dan Mantan Komandan Jenderal Kopassus Prabowo Subianto.   [tempo]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar