Komisi Nasional dan Hak Asasi Manusia mendukung rencana presiden
terpilih Joko Widodo (Jokowi) yang akan membentuk pengadilan HAM Ad
Hoc. Anggota Komnas HAM, Roichatul Aswidah mengatakan, ada tujuh kasus
pelanggaran HAM berat yang harus diselesaikan pemerintah.
“Ini
yang sudah lama kami tunggu,” ujarnya ketika dihubungi, Sabtu (23/8/2014).
Hingga kini, kata Roichatul, Komnas HAM belum dihubungi
tim Jokowi terkait rencana penerbitan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang tentang Hak Asasi Manusia, khususnya membentuk pengadilan
HAM Ad Hoc itu.
Ketujuh kasus yang telah diselidiki Komnas HAM
antara lain, kasus Trisakti Semanggi 1 dan 2, kerusuhan Mei 1998, kasus
Talangsari, kasus penghilangan orang secara paksa 1998-1999, kasus
pembunuhan misterius, Tragedi 1965, dan kasus Wasior di Wamena. Menurut
Roichatul, secara prosedural yang paling siap untuk diperiksa di
pengadilan HAM ad hoc adalah kasus penghilangan orang secara paksa.
Alasannya,
panitia khusus DPR pada 2009 lalu sudah merekomendasikan kasus tersebut
kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk diperiksa di depan
pengadilan HAM ad hoc. “Dari hasil penyelidikan Komnas HAM, penghilangan
orang secara paksa indikasi pelakunya satuan Kopassus,” ujar Roichatul.
Dia
enggan membeberkan nama-nama yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.
Roichatul beralasan terganjal ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26
tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia. “Kami sudah ada nama-namanya.
Kejaksaan Agung yang berhak menetapkan sebagai tersangka. Kami tunduk
kepada hasil penyidikan Kejagung,” ujarnya.
Roichatul mengklaim
berkas penyelidikan ketujuh kasus tersebut sudah lengkap. Hanya saja,
Juni lalu dikembalikan oleh Kejagung lantaran ada perbedaan persepsi
soal kewenangan masing-masing. Karena itu, Roichatul dan tim kembali
akan kembali membahas tujuh kasus yang dikembalikan Kejaksaan Agung pada
pekan ini. “Bagaimana Komnas dan Kejagung akan mencari titik temu. Kami
berjanji usai pemilihan presiden untuk menyelesaikannya,” kata dia.
Tujuh
kasus itu, menurut Roichatul, tak semuanya diselesaikan dengan
pengadilan HAM ad hoc. Untuk kasus Wasior, ujar dia, karena terjadi di
atas tahun 2000 maka diselesaikan melalui pengadilan HAM permanen.
Sedangkan tragedi 1965, Komnas HAM merekomendasikan dua cara, yakni
dengan pengadilan HAM adhoc atau penyelesaian non yudisial.
Kontras Tak Percaya
Di lain pihak, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan meragukan
pernyataan Wakil Ketua Tim Transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla, Andi
Widjajanto, bila usai pelantikan presiden terpilih Jokowi segera
menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang Hak
Asasi Manusia, khususnya membentuk pengadilan HAM Ad Hoc.
Koordinator
KontraS Harry Azhar meragukan pernyataan Andi lantaran pekan lalu
mengaku sudah bertemu KontraS soal pengangkatan A.M Hendropriyono
sebagai anggota tim transisi. "Kami mau pernyataan langsung dari
Jokowi," ujar Harry ketika dihubungi, Sabtu (23/8/2014). Dia juga
masih meragukan keseriusan Jokowi dalam pembentukan pengadilan HAM Ad
hoc karena baru sebatas pernyataan Andi.
Harry mensinyalir ada
ketidakseriusan dari tim Jokowi soal pengusutan korban ketidakadilan hak
asasi manusia. Dia mencontohkan dari hal sepele, seperti undangan untuk
pertemuan yang selalu berubah dan tak ada surat resminya. Awalnya, dia
dihubungi Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti untuk menggelar
pertemuan soal tindak lanjut pembentukan pengadilan HAM bersama tim
Andi, Murobi, pada Selasa, 26 Agustus ini. Lalu diundur pada Jumat, 29
Agustus. Kemudian diubah lagi pada Senin, 1 September 2014. "Saya minta
undangan resmi, kalau tidak ada undangan saya tidak mau. Ini menunjukkan
belum ada itikad baik," kata Harry.
Terkait Perppu pembentukan
pengadilan HAM, dia bersama komisi hak asasi manusia lainnya sudah
membuat draft-nya dan sudah diserahkan ke Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono melalui Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny
Indrayana dan Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto pada 2009. Karena
itu, ujar Harry, bila Jokowi punya itikad baik, tinggal minta draft
tersebut ke Yudhoyono. "Kalau konkrit, minta ke SBY, jangan minta ke
kami," ujarnya.
Ketika sudah membentuk pengadilan, Harry juga
meminta agar Jokowi mendorong kejaksaan mengadili beberapa jenderal yang
diduga terlibat. Di antaranya anggota dewan penasihat tim transisi
Jokowi yang juga mantan Kepala Badan Intelijen Nasional A. M.
Hendropriyono, anggota koalisi partai pendukung Jokowi Mantan Panglima
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Jenderal (Purnawirawan) Wiranto,
dan Mantan Komandan Jenderal Kopassus Prabowo Subianto. [tempo]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar