Ide dari calon presiden (capres) Joko Widodo (Jokowi) mengenai
perlunya dilakukan revolusi mental terhadap bangsa ini dianggap tidak
realistis. Ide itu dinilai semata-mata sebagai jargon kampanye menjelang
pemilihan presiden (pilpres) yang sulit direalisasikan.
"Jangan-jangan cuma bagian dari jargon kampanye pilpresnya Jokowi.
Cuma retorika. Cuma jual janji dengan memakai kata revolusi," kata
Direktur Eksekutif The President Center (TPC) Didied Mahaswara di
Jakarta, Sabtu (17/5).
Sebagaimana diketahui, pekan lalu, dalam sebuah surat kabar nasional, Jokowi menulis artikel berjudul ''Revolusi Mental''.
Intinya berupa ajakan mengenai perlunya revolusi mental bagi bangsa
ini karena sudah terjadi krisis mental yang parah, seperti maraknya
praktik korupsi, terjadi pelecehan seksual terhadap anak, meluasnya
sikap intoleransi, dan sebagainya.
Didied menjelaskan, yang dimaksud dengan revolusi lazimnya adalah
berupa perubahan ketatanegaraan, pemerintahan, atau keadaan sosial yang
dilakukan dengan cara cepat dan terdapat unsur mobilisasi fisik di
dalamnya.
Sedangkan ''mental'' berkaitan dengan batin, tidak bersifat badaniah,
menyangkut perasaan atau emosi manusia. Mental adalah sesuatu dalam
diri manusia, tidak tumbuh, tidak berbentuk, hanya bisa dirasakan,
dihayati, karena mental berhubungan dengan sikap dan watak manusia.
Karena itu, antara judul dan isi tulisan dinilai tidak konkret dan tidak implementatif, tapi hanya sebagai wacana atau imbauan.
"Mungkin Jokowi mau nyindir Prabowo yang oleh umum dianggap
suka emosi, karena itu emosinya harus direvolusi," ujar penggagas
Institut Kandidat Presiden ini. [beritasatu]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar