Selasa, 18 Februari 2014

Ayam Jantan Berkokok

Seminggu terakhir ini saya kurang sehat. Namun, erupsi Gunung Kelud, setelah sebelumnya Sinabung, tanah longsor, serta banjir yang melanda hampir seluruh pelosok Tanah Air, mendorong penulis membuka beberapa data lain, seperti target produksi minyak bumi tahun 2014 dan realisasi pajak tahun lalu.
Dari sedikit data tersebut, secara simplistis bisa disimpulkan, beban hidup bangsa tahun ini akan lebih berat daripada tahun lalu.
Rusaknya lahan-lahan pertanian karena serangkaian bencana alam akan mendorong peningkatan impor pangan. Demikian juga dengan penurunan produksi minyak bumi dari sekitar 850.000 barrel per hari (bph) menjadi 820.000 bph tahun ini. Situasi itu diperberat dengan target pajak yang tak terpenuhi dan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang mencapai sekitar Rp 340 triliun pada 2013.
Dengan gambaran seperti itu, optimisme hanya mungkin bangkit kalau kepemimpinan nasional saat ini berani mengambil kebijakan drastis, misalnya memotong subsidi BBM. Apabila hal ini tidak dilakukan, siapa pun yang menjadi presiden pada Oktober nanti, dia akan menghadapi jebakan sedahsyat bom nuklir, khususnya terkait dengan pangan, subsidi BBM, dan pertumbuhan penduduk.
Sehubungan dengan hal itu, apabila kepemimpinan nasional sekarang lepas tangan terhadap beberapa masalah yang bisa menjadi bom waktu bagi pemerintahan mendatang, partai politik sebenarnya bisa menjadi juru selamat dari situasi yang suram itu. Di sini, partai dapat menjalankan fungsi tertingginya, sebagai kristalisasi beberapa fungsi, yaitu mencalonkan tokoh yang dikehendaki publik, yang pada diri figur itu hadir aspirasi rakyat, perekrutan kepemimpinan, dan ideologi yang hidup.
Ibarat ayam jago yang berkokok karena matahari terbit, tokoh itu lahir dari rahim konsolidasi dan kaderisasi partai politik. Kelahirannya sebagai ”juru bangun”, yaitu membangunkan masyarakat untuk bergerak, mengais rezeki, dan mencari kehidupan. Oleh karena pemimpin yang dimunculkan partai politik tersebut berselimut kejujuran, kesederhanaan, dan mempunyai dignity (martabat), dia bisa menggenggam hati rakyat dan memandu mereka menjalani kehidupan bernegara.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemetaan terhadap partai politik peserta pemilu menunjukkan bahwa kelahiran seorang figur yang diharapkan publik ternyata tidak bisa muncul dalam waktu singkat. Selain itu, juga belum tentu lahir dari rahim partai politik berkuasa dan koalisinya. Ini memang kesimpulan sementara dan membalik cara pikir yang selama ini berlaku.

Belum munculkan jago
Argumen umum yang berkembang selama ini adalah partai politik berkuasa akan dengan mudah melakukan kaderisasi dan memperkuat cengkeraman jejaring kekuasaannya. Demikian juga dengan partai-partai lain yang bergabung dalam koalisi penguasa. Namun, buktinya, Partai Demokrat, Partai Golkar, dan beberapa partai lain yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan Koalisi Partai Politik Pendukung Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Setgab) sejauh ini belum mampu memunculkan ”jago” yang menjadi preferensi publik. Calon presiden mereka belum dianggap sebagai pemandu tepercaya oleh masyarakat.
Sebaliknya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang selama dua pemilu berada di luar pemerintahan, seperti dinyatakan Philips J Vermonte dari Centre for Strategic and International Studies, telah mengajarkan nilai politik penting bahwa menjadi oposisi tidak berarti harus mati. Menjadi oposisi juga berarti bisa fokus menjalankan konsolidasi dan kaderisasi di tubuh partai politik. Hasilnya, selain PDI-P menjadi solid dan berwibawa, juga melahirkan sejumlah kepala daerah yang baik dan politisi muda mumpuni.
Terkait dengan itu, saya menambahkan bahwa faktor kepemimpinan ketua umum partai memegang peranan penting dalam menjaga ketenangan partai tersebut. Apabila partai politik bergejolak dan terbelah, konsolidasi internal dan kaderisasi sulit dijalankan.
Oleh sebab itu, suka atau tidak, Megawati Soekarnoputri selama ini telah bekerja dalam diam guna mempersiapkan lahirnya para politisi muda PDI-P tersebut. Belum tentu politisi lain mampu melakukan apa yang ia jalani, yaitu menjaga biduk partai tetap solid selama lebih dari dua dasawarsa.
Tidak mengherankan jika pemilik narasi politik di ranah kepartaian saat ini adalah PDI-P. Adapun pemilik narasi untuk calon presiden juga melekat pada kader yang dibesut Megawati Soekarnoputri, yaitu Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi). Dalam realitas politik, narasi seperti ini, meminjam Alfred North Whitehead, ibarat prinsip pengkristalan (principle of concretion) sehingga secara rasional sulit dikalahkan, termasuk oleh politik uang dan manipulasi.
Hal itu disebabkan pemilik narasi pada dasarnya adalah pemilik sejarah. Apabila ada pihak yang secara ekstrem berkehendak membelokkan sejarah dengan sumber daya politik yang dimilikinya, secara prediktif bukan sekadar apatisme publik yang menebar, melainkan juga letupan konflik yang luas dengan intensitas yang sulit diprediksi.
Hal itu terkait dengan sikap kritis kelas menengah yang kini jumlahnya diperkirakan sekitar 130 juta. Meski kelas menengah Indonesia sering dianggap mendua, alam bawah sadar mereka tetap didominasi kesadaran kritis kognitariat. Apabila ayam jantan berkokok, mereka akan mengamplifikasinya. Oleh karena itu, biarlah pemimpin baru lahir memandu bangsa Indonesia.

Sumber :
kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar