Pengamat Perkotaan, Yayat Supriyatna, menyesali kenaikan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) dan tarif restribusi parkir yang mencapai 100-300
persen di DKI Jakarta, tanpa sosialisasi bagi masyarakat. Seharusnya
menurut Yayat di era keterbukaan informasi publik yang sudah dipayungi
oleh UU KIP, pemerintah provinsi DKI Jakarta yang dipimpin oleh Gubernur
DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) bisa menerapkan hal itu.
“Masyarakat DKI
Jakarta tidak tahu apa-apa tentang kenaikan PBB dan juga retribusi
parkir.
Tiba-tiba masyarakat dibenturkan saja dengan kebijakan itu,
mengapa tidak ada sosialisasi sebelumnya?Kalau ini kebijakan harusnya
ada sosialisasi. In era keterbukaan publik yang ada payung hukumnya juga
yaitu UU KIP, tapi hal ini masih terjadi.Masyarakat berhak menanyakan
kepada pemprov DKI Jakarta mengapa mengambil kebijakan tanpa ada
sosialisasi,” ujar Yayat ketika dihubungi wartawan, Selasa(18/2).
Terlebih
menurut Yayat, kenaikan tarif ini tidak disertai dengan perubahan dalam
pembenahan sistem perparkiran maupun sistem penerimaan PBB di DKI
Jakarta.Pelayanan parkir dan juga pelayanan umum kepada masyarakat
dengan kenaikan tarif ini masih belum berubah. “Selain itu transparansi
penenerimaan APBD dari retribusi parkir terutama ini juga masih belum
berubah. Masyarakat sampai sekarang tidak tahu berapa penerimaan dari
parkir dan untuk apa saja digunakan,” tambahnya.
Yayat menambahkan
pengelolaan dana parkir yang sudah diusulkan sejak lama di pemerintahan
periode-periode lalu di DKI Jakarta misalnya dengan menggunakan sistem
online, tidak juga dilaksanakan hingga saat ini. “Untuk parkir misalnya
itu masih menggunakan sistem setoran.Pengelola diwajibkan untuk
menyetorkan 20 persen pendapatannya, tapi kita tidak tahu berapa
sebenarnya yang para pengelola parkir itu dapatkan.Kalau dulu saja sudah
banyak bocor, maka dengan kenaikan ini maka kebocoran akan bertambah
besar lagi,” jelasnya.
Gubernur DKI Jakarta sampai saat ini tidak
memberikan penjelasan mengapa dia menaikan tarif parkir.”Kalau alasannya
agar masyarakat pindah dari moda transportasi pribadi ke moda
transportasi umum, rasanya saat ini juga belum tepat karena pemprov
belum menyediakan sarana transportasi umum yang memadai.Kalau semua
pindah ke transportasi umum sebelum pembenahan transportasi umum itu
sendiri, terus bagaimana caranya mau mengangkut masyarakat?,” tanyanya.
Di
era demokrasi ini menurut Yayat, seharusnya Gubernur DKI Jakarta harus
bisa memberikan alasan kenaikan tersebut sebelum kebijakan dijalankan.
Jika Pemda DKI memang menargetkan untuk meningkatkan APBD, maka
seharusnya upaya meningkatkan pendapatan asli daerah itu tidak sekedar
untuk mencapai target saja tanpa harus memberikan pelayanan yang
optimal.
“Kebutuhan pembangunan memang besar, makanya masyarakat
diminta kerelaannya untuk lebih besar pengorbanannya dengan membayar
pajak ataupun retribusi yang lebih banyak, tapi pemerintah provinsi juga
harus bisa memberikan apa yang menjadi hak masyarakat dan merupakan
kewajiban pemda. Dalam konteks pelayanan masyarakat setiap kenaikan
tarif harus disertai dengan pemberian pelayanan yang lebih baik, jika
tidak artinya ada yang tidak beres,’ tegasnya.
Ditanyakan mengapa
Jokowi menaikan target APBD sementara APBD 2013 lalu saja banyak yang
tidak terserap, Yayat mengatakan bahwa untuk hal itu karena memang
banyak program yang belum bisa dilaksanakan sehingga tidak terpakai.
“Penggunaan APBD juga harus disertai tanggungjawab bukan sekedar habis,”
tegasnya.
Jokowi sendiri sudah memutuskan kenaikan PBB sebesar
100 persen sementara untuk retribusi parkir untuk mobil naik dari Rp
2000 untuk satu jam pertama menjadi Rp 3000. Sementara untuk motor
kenaikan tarif mencapai 300 persen yaitu dari Rp 500 menjadi Rp 2000.
Dengan kenaikan ini terutama retribusi tarif parkir motor, Jokowi
terlihat tidak pro rakyat kecil yang banyak menggunakan motor karena
ketidakmampuan Jokowi merealisasikan janjinnya menyediakan
transporatasi umum yang layak dan mencukupi.
Sumber :
Pos Kota
Tidak ada komentar:
Posting Komentar