Belum genap satu tahun menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, nama
Joko Widodo atau Jokowi melesat menjadi sosok yang digadang-gadang
sebagai calon presiden (capres) 2014. Di berbagai riset yang diadakan
lembaga survei, elektabilitasnya jauh meninggalkan politisi-politisi
senior.
Kondisi ini tak ayal membuat banyak orang kebat-kebit.
Baik kawan maupun lawan politik sibuk menafsirkan sikap politiknya.
Berbagai manuver yang dilakukan partai politik, kalangan intelektual,
maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) menunjukkan kegelisahan (atau
ketakutan?) yang tidak bisa disembunyikan.
Jokowi digoyang
kanan-kiri oleh mereka yang mendukung maupun menolaknya. Ada yang
mengajak Jokowi ikut konvensi pemilihan calon presiden, menyerangnya
melalui hak interpelasi, ada yang membentuk barisan sukarelawan
pendukung Jokowi, dan yang terakhir, ada LSM yang mempersoalkan dana blusukan Jokowi sebagai bentuk pemborosan.
Yang
menarik, Jokowi tetap diam dalam menanggapi berbagai isu pencapresannya
tersebut. Beberapa kali justru wakilnya– Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok–yang mesti mengklarifikasi setiap pertanyaan mengenai isu tersebut.
Pilihan untuk diam dalam isu pencapresan 2014 ini jelas berbeda dengan
sikap Jokowi yang ceplas-ceplos dan responsif dalam berbagai
kebijakannya.
Jokowi tidak mengiyakan akan maju menjadi calon
presiden. Dia juga tidak menolak dengan tegas. Sampai sejauh ini, sikap
diam yang dilakukan Jokowi sudah selayaknya kita apresiasi. Mengapa? Pertama,
dengan diam Jokowi sedang menjaga agar semangat akan perubahan anak
buahnya di jajaran pemerintahan serta rakyatnya di DKI Jakarta tetap
terjaga. Agenda reformasi birokrasi serta perbaikan pelayanan publik
tentu membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan bisa diandalkan.
Dengan
diam dan terus bekerja, Jokowi juga membuktikan bahwa ia masih
konsekuen memegang amanat rakyat untuk memimpin Ibu Kota negeri ini. Blusukan untuk
mendengarkan keluh kesah warga terus ia lakukan. Ia menjadi pemimpin
yang penuh inisiatif, inspiratif, dan menggerakkan. Bukan pemimpin yang
hanya mengeluh dan menunggu laporan. Karakteristik ini yang tidak
dimiliki oleh banyak pemimpin di Indonesia.
Mengumumkan keinginan
untuk menjadi calon presiden saat ini jelas bukan momentum yang tepat.
Bahkan, hal tersebut akan membuat jajaran birokrasi serta rakyat di
Jakarta kecewa. Selain kontraproduktif terhadap kinerjanya sejauh ini,
pilihan itu juga bisa menjadi blunder politik karena masyarakat akan
menganggap Jokowi sebagai orang yang haus kekuasaan.
Bagaimanapun Jokowi sudah membuat janji-janji membuat perubahan ketika kampanye pemilihan gubernur yang mesti ia penuhi. Kedua,
diamnya Jokowi berbanding terbalik dengan popularitasnya yang terus
meroket. Ini akan membuatnya terus diperhitungkan. Partai-partai politik
saat ini sudah ancang-ancang untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 dan
saling mengukur kekuatan.
Jika Jokowi memutuskan tidak maju
menjadi presiden, berbagai aktor politik akan lebih mudah
mengonsolidasikan diri. Siapa yang akan maju menjadi calon presiden
memang sudah mulai mengerucut. Sudah ada beberapa nama yang dengan
percaya diri mencalonkan diri sebagai calon presiden seperti Wiranto dan
Aburizal Bakrie.
Namun, dengan diam, Jokowi menjaga agar peta
politik tetap buram dan tidak terbaca. Ia bisa saja muncul tiba-tiba di
tikungan akhir proses politik 2014 dan menjungkirbalikkan berbagai
persiapan yang telah dilakukan partai politik. Toh dengan begitu kita
juga bisa melihat bagaimana watak asli beberapa aktor politik yang
sedang berebut kue kekuasaan.
Membaca watak ini akan terasa mudah
karena hampir semua elemen politik dan sosial tak berhenti membuat
manuver baik melalui tindakan politik atau sekadar pernyataan sikap.
Misalnya saja bisa dilihat dari beberapa pihak yang dulu mencaci-maki
dan meremehkan Jokowi. Mereka kini justru berlomba-lomba mendukungnya.
Saksi
Nama
Jokowi menjadi citra pemimpin yang dekat dengan wong cilik. Dengan
demikian, melakukan politik konfrontasi dengannya hanya akan berarti
kehilangan simpati dari rakyat. Sampai di sini, pilihan diam Jokowi
secara langsung maupun tidak langsung menjadi stimulus agar masyarakat
luas mampu menjaga akal sehat dalam melihat tingkah polah aktor-aktor
politik yang mendekatinya.
Mana yang konsisten, mana yang
pragmatis, semua terlihat gamblang. Media massa dan publik menjadi
saksi. Dalam literatur komunikasi, seperti diungkapkan Paul Watzlawick,
ada ujaran one cannot not communicate. Pernyataan ini menegaskan
bahwa setiap bentuk aktivitas yang dilakukan adalah bentuk komunikasi.
Setiap aktivitas akan memunculkan tafsir yang plural.
Jika
ditarik ke dalam ranah politik, diam pun merupakan sikap politik itu
sendiri. Beragam tafsir yang muncul justru semakin mengukuhkan kekuatan
politik diam tersebut. Jokowi membiarkan orang-orang terus berkutat
dalam keramaian. Sikapnya menjelma magnet yang mau tak mau membuat
setiap perhatian terus diarahkan kepada dirinya.
Catatan penting,
sikap diam ala Jokowi ini tidak menunjukkan bahwa dirinya seorang
pemimpin yang peragu atau kebingungan untuk bersikap. Faktanya, hanya
dalam sedikit isu saja Jokowi memutuskan diam. Artinya, pilihan diam ini
adalah bentuk strategi jangka panjang yang cerdik.
Jokowi
(barangkali dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP?) sedang
menarik aktor-aktor politik untuk masuk ke dalam labirin rumit yang ia
ciptakan. Setiap aktor politik harus hati-hati mengukur agar tidak salah
langkah dan terperosok jauh.
Tentu saja diam ada batasnya. Pada
satu titik, seorang pemimpin mesti dengan tegas menunjukkan sikapnya.
Sambil menunggu batas itu tiba, mari kita nikmati hiruk-pikuk kegaduhan
di tahun politik dan menyaksikan Jokowi menuntaskan tugas-tugasnya
sebagai gubernur.
Sumber :
solopos.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar