Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menghalalkan umat Islam mengucapkan
selamat Natal kepada pemeluk agama Nasrani. "Kalau sebatas ucapan tidak
apa-apa," ujar Ketua PBNU, Slamet Effendy Yusuf, ketika dihubungi,
Kamis, 18 Desember 2014.
Sebelumnya, Front Pembela Islam
mengharamkan ajaran yang memperbolehkan umat Islam memberikan ucapan
selamat Natal.
Kalau mereka melakukan, kata dia, berarti mereka sudah
murtad. "Tak terkecuali bagi siapa pun, termasuk Presiden Jokowi," kata
Majelis Syuro FPI Misbahul Anam.
Misbahul
Anam ketika dihubungi, Kamis, 18 Desember 2014 menyatakan ucapan natal
memiliki dampak pengakuan terhadap eksistensi agama lain. Sebab,
definisi Natal dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti hari
kelahiran Yesus Kristus. "Jadi ketika ada orang Islam yang mengucapkan
natal, artinya mereka memberi selamat atas kelahiran Yesus," kata
Misbahul Anam.Bagi Selebaran Anti-Natal, JAS: Bagian dari Dakwah
Dengan
pengertian itu, kata Misbach, perdebatan seputar ucapan selamat Natal
memiliki dampak serius bagi aqidah seorang muslim. "Padahal dalam Islam
jelas Tuhan itu lam yalid wa lam yulad. Tuhan itu tidak dilahirkan dan
tidak melahirkan," ujarnya.
Namun, menurut PBNU memberikan
ucapan selamat merupakan wujud toleransi beragama. Sikap itu dinilai
tidak akan mempengaruhi aqidah dan identitas seorang. "Sikap saling
menghormati seperti itu tidak ada urusannya dengan pengakuan imani,"
kata Slamet Effendy Yusuf.
Dalam
ajaran Islam, lanjut Slamet, sikap toleransi itu tidak berarti seorang
muslim boleh menghadiri dan merayakan Natal. "Karena aktifitas yang
bersifat ibadati jelas dilarang. Islam menegaskan prinsip beribadah
menurut ajaran masing-masing," katanya.
Dalam perkembangannya,
kata Slamet, sejumlah ulama memperkenalkan istilah tasyabbuh yang
artinya menyerupai pemeluk agama lain. Istilah itu muncul karena laku
budaya seseorang merupakan bagian dari identitas agama tertentu.
"Jadi,
Islam tidak mengharapkan pemeluk agama lain untuk menggunakan sarung,
kopiah dan baju koko saat perayaan Hari Raya Idul Fitri. Sebaliknya,
umat Islam tidak perlu menggunakan pakaian ibadah agama lain saat mereka
merayakan hari raya," kata Slamet.
Meski demikian, kata Slamet,
NU masih mentolerir jika ada umat Islam yang menggunakan simbol agama
tertentu, asalkan itu tidak terkait dengan masalah ibadah. "Misalnya
jika ada penjaga toko yang harus menggunakan pakaian sinterklas," kata
Slamet.
Menurut Slamet, prilaku itu bisa dibenarkan asalkan
karyawan itu memahami apa yang mereka lakukan. "Tapi harus dipahami
bahwa pekerjaaan itu tidak ada urusannya dengan ibadah. Intinya seorang
muslim harus kokoh aqidahnya," kata Slamet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar