Tuduhan bahwa lembaga survei memenangkan pasangan Jokowi-JK tidak kredibel, dinilai sebagai tuduhan tak masuk akal serta tak berdasar.
Sebab, yang dituding itu adalah lembaga yang selama ini dikenal kredibel amat kredibel. Plus, salah satunya adalah lembaga milik publik yang sahamnya dikuasai pemerintah.
"Bagaimana mungkin bisa memanipulasi 8 lembaga survei dan didalamnya ada RRI?" kata Pengamat Politik dari Universitas Gadjah mada (UGM) Yogyakarta, Ari Dwipayana, Kamis (10/7/2014).
"Dan satu lagi yang mengejutkan adalah hasil hitung cepat Poltracking Institute. Lembaga survei ini awalnya justru dikontrak TV One yang condong ke Prabowo-Hatta.
Namun, di tengah jalan akhirnya menarik diri karena memprediksi kemenangan Jokowi dengan angka 53,37 persen di atas Prabowo Hatta 46,63 persen," ucapnya.
Calon Presiden Prabowo Subianto mengatakan terdapat bermacam-macam survei dan sebagian besar sifatnya komersial. Ada juga survei yang juga merangkap sebagai konsultan politik.
Bahkan, ada lembaga-lembaga survei yang berani menjamin akan memenangkan dirinya. Banyak juga lembaga survei yang tidak kredibel. "Jadi survei itu banyak yang bisa direkayasa," tegas Prabowo usai bertemu Presiden SBY di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/7/2014) dini hari.
Karenanya, Prabowo menegaskan, meski kubunya memiliki keyakinan menang, dia menyerahkan sepenuhnya kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menentukan dan menetapkan siapa pemenang Pemilu Presiden (Pilpres).
Ari Dwipayana menambahkan kembali, dari rilis hasil quick count terlihat ada pengelompokan, dimana ada 8 lembaga survei yang memprediksi kemenangan Jokowi-JK dengan selisih sampai 1,9 persen-6,74 persen.
Sedangkan ada 4 lembaga survei yang mengunggulkan Prabowo Hatta dengan selisih 0,28 persen-4,1 persen.
RRI yang merupakan lembaga penyiaran publik dan dimiliki Pemerintah, hasil hitung cepatnya memprediksi kemenangan Jokowi JK 52,71 persen di atas suara Prabowo Hatta 47,29.
Selain RRI, 7 lembaga survei yang memprediksi kemenangan Jokowi adalah lembaga survei yang sering menjadi rujukan utama dalam prediksi pemilu maupun pilkada. Dan selama ini, sejak 2004, hasil quick count mereka tak jauh dari hasil yang sebenarnya.
Ari melanjutkan pengelompokan hasil quick count yang berbeda itu seharusnya tidak terjadi jika lembaga survei konsisten dalam menerapkan methdologi dan berjalan dalam kaidah-kaidah etika surveyor. Dengan metode quick count yang sama, seharusnya hasil yang diperoleh juga sama.
Fenomena perbedaan hasil quick count itu menyiratkan urgensi audit lembaga survei abal-abal, baik dari sisi pertanggungjawaban metodologi maupun sumber dananya.
"Tanpa itu, lembaga survei abal-abal hanya menjadi alat untuk propaganda politik, digunakan sebagai alat politik pragmatisme pihak yang takut kalah dan akhirnya membodohi rakyat," tandas Ari Dwipayana. [tribun]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar