Sudah seharusnya momentum pilpres mendatang menjadi ajang adu ide, misi, dan program nyata untuk perbaikan bangsa, bukan sekadar adu popularitas belaka. Tak banyak dari beberapa nama bakal capres memiliki program dan misi jelas, khususnya di bidang ekonomi dan perpajakan.
Permasalahan pajak di negeri ini seharusnya menjadi perhatian semua bakal capres yang akan bertarung pada Juli nanti.
Hampir 80% APBN ditopang oleh penerimaan pajak, maka sudah sewajarnya jika semua bakal capres tak hanya mengobral janji, tetapi seyogyanya mereka memikirkan bagaimana meningkatkan aliran uang masuk ke kas negara untuk pembiayaan pembangunan dan mendistribusikan kemakmuran.
Nampaknya baru dua bakal capres yang berani menyentuh isu pajak ini: Jokowi dan Prabowo. Jokowi pernah berkomentar mengenai kemungkinan menjadikan otoritas pajak sebagai kementerian sendiri terpisah dari Kementerian Keuangan. Sedangkan Prabowo jauh hari sebelum pileg sudah sangat spesifik ingin menaikkan target tax ratio penerimaan pajak dari 12% menjadi 16%. Dengan kenaikan 4% tersebut berarti ada tambahan penerimaan pajak sekitar Rp 300 triliun. Suatu jumlah yang sangat signifikan untuk membangun negeri ini. Namun, pertanyaannya bagaimana mencari tambahan uang pajak sebanyak itu?
Salah satu caranya adalah dengan menjadikan pajak sebagai sebuah otoritas independen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dengan adanya independensi otoritas pajak, kewenangan dan efektivitas serta efisiensi kebijakan pajak pun akan lebih mudah diterapkan. Termasuk juga penegakan hukum bagi para pengusaha nakal dan pengemplang pajak pun akan lebih efektif.
Setidaknya ada tiga alasan pentingnya pajak menjadi sebuah otoritas tersendiri. Pertama, terwujudnya pemisahan fungsi belanja dan penerimaan negara. Selama ini, Kementerian Keuangan menjalankan semua fungsi tersebut, tugas yang sangat berat tentunya. Otoritas tersebut hendaknya bisa mewadahi semua instansi penerimaan negara yang ada selama ini. Jadi tidak hanya pajak, tetapi termasuk juga bea cukai dan organisasi penghimpun penerimaan bukan pajak lainnya.
Kedua, optimalisasi penggalian potensi pajak. Dengan independensi otoritas pajak, kenaikan tax ratio atau naiknya penerimaan pajak dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) bisa lebih berdaya. Dengan masih rendahnya tax ratio Indonesia (12%) dibandingkan dengan tax ratio rata-rata negara ASEAN lainnya sebesar 21% (Sumber: OECD, 2013), menjadi indikator bahwa potensi penerimaan pajak masih sangat tinggi dan belum tergali secara optimal. Dengan menjadi lembaga sendiri, penghimpunan penerimaan pajak akan menjadi lebih bertaring karena sudah menjadi lembaga setingkat menteri, yang akan memudahkan koordinasi penerapan kebijakan-kebijakan perpajakan ke depannya.
Ketiga, negara-negara maju di dunia sudah memposisikan lembaga pemungut pajak sebagai otoritas independen dan bertanggung jawab langsung kepada kepala pemerintahan, dalam konteks Indonesia adalah presiden. Berdasarkan sumber dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), OECD sebagai wadah dari organisasi yang peduli mengenai ini, sudah cukup lama merekomendasikan agar DJP segera menjadi otoritas independen.
Siapa bakal capres, selanjutnya capres, yang punya integritas, kepemimpinan kuat, memenuhi syarat-syarat, dan berani memperkuat institusi pajak, sebagai instrumen solidaritas dan partisipasi pembangunan, dialah presiden masa depan.[detik]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar