Warga bantaran Waduk Pluit yang sudah direlokasi ke rumah susun sewa
sederhana (Rusunawa) Marunda menganggap surat perjanjian menghuni rusun
bak buah simalakama. Warga kini mengklaim terpaksa menandatangani surat
tersebut karena pada saat itu terdesak kebutuhan akan tempat tinggal.
“(Surat)
ini ibarat buah simalakama, gak ditandatangani gak bisa di sini (rusun
Marunda), ditandatangani begini kalimatnya, saya memaksakan diri
(menandatangani), “ kata Jhony Erly, seorang warga yang direlokasi ke
rusun Marunda kepada detikcom di rumah sewanya, kemarin, Kamis (22/8/2013).
Menurut
Jhony, pasal–pasal yang tertera pada surat perjanjian tersebut sama
sekali tidak berpihak kepada warga relokasi dan tidak mencerminkan
peraturan yang merupakan program buat orang miskin yang terkena banjir.
“Ini
namanya aja program orang miskin, (tapi) ini tidak berpihak pada orang
miskin peraturan ini,” ujar pria penghuni Blok 7 ini.
Dia
mencontohkan, seperti pada pasal 1 tentang jangka waktu. Pada pasal 1
ayat 1 tertulis bahwa jangka waktu perjanjian ini adalah terhitung sejak
ditandatanganinya sampai dengan bulan Mei 2015 dan dapat diperpanjang
sesuai kesepatan para pihak (warga dan pengelola) paling banyak 3 kali.
Dalam ayat 2 disebutkan perjanjian dapat diperpanjang untuk jangka waktu
yang sama dengan mengajukan permohonan. “Iya kalau dia sepakat, kalau
dinaikkan (harga sewa) di dua tahun ke depan, saya gak terima, saya
kalah dong. Tapi ini kalau jangka tertentu menjadi hak milik, itu warga
bersemangat, apapun dilakukan,” Ujarnya
Sementara itu, pada pasal
10 ayat 4 dijelaskan jika warga tidak melaksanakan pembayaran uang
retribusi (uang sewa), tagihan rekening air bersih dan listrik selama 3
bulan berturut–turut dan tidak mentaati, melaksanakan tata tertib
penghunian rumah susun, maka pengelola akan mengosongkan unit rumah
susun secara paksa dengan terlebih dahulu diberi surat peringatan (SP)
hingga SP III dengan selisih waktu selama tujuh hari pada setiap SP.
Sumber :
detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar