Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dituntut untuk segera memutuskan
pimpinan PT MRT Jakarta yang baru. Sebab, kekosongan pucuk pimpinan di
tubuh PT MRT Jakarta akan mengganggu proses pembangunan mega proyek mass
rapid transit (MRT) tersebut.
Untuk diketahui, pada Oktober 2012
Wishnu Subagio Jusuf mengundurkan diri dari jabatan sebagai Direktur
Konstruksi. Ditambah kemarin, Joko Widodo menyampaikan bahwa masa
jabatan Direktur Utama PT MRT Jakarta Tribudi Rahardjo habis pada 19
Februari 2013 dan tidak diperpanjang. Oleh sebab itu, secara otomatis
proyek MRT dipikul seorang diri oleh Direktur Keuangan dan Administrasi
Corporate Secretary, Erlan Hidayat.
Pengamat Transportasi
Universitas Indonesia (UI) Ellen Tangkudung menyampaikan, kosongnya dua
jabatan direktur di PT MRT Jakarta akan sangat menggangu roda usaha
perusahaan tersebut. Ia berasumsi, kinerja PT MRT menjadi tak efektif
karena hanya dipikul oleh seorang direktur saat ini.
Meski bisa
dikendalikan oleh komisaris, kata Ellen, tapi sifatnya tak akan seintens
pengendalian oleh direktur. Hal ini dikarenakan roda usaha lebih
dominan dijalankan oleh direksi, dan bukan di level komisaris.
"Sampai
kapan (kekosongan) ini terjadi? Kalau cukup lama, ini bisa jadi sebuah
gejala yang menunjukkan proyek pembangunan MRT semakin tidak jelas
nasibnya," kata Ellen, saat dihubungi wartawan, Selasa (19/3/2013) pagi.
Ellen
menegaskan, bila kekosongan direksi itu benar-benar memengaruhi rencana
pembangunan MRT, terlebih sampai batal, tentu akan memberikan kerugian
yang tidak sedikit karena rancangan pembangunan MRT telah dilakukan
sejak lama yang memakan waktu, pikiran, dan biaya besar.
"Semua tergantung Pemprov DKI sebagai pengambil kebijakan atas nasib MRT Jakarta," ujarnya.
Sebagai
Gubernur, Joko Widodo sebenarnya bisa langsung menunjuk direksi PT MRT
Jakarta yang baru. Namun, ia urung melakukannya karena menunggu
rekomendasi dari para pemegang saham. Sampai saat ini, Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS) belum menghasilkan rekomendasi bakal calon
pengganti direktur yang kosong.
Adapun beberapa persoalan yang
masih mengganjal pembangunan MRT adalah belum diumumkannya pemenang
tender proyek, penuntasan pembebasan lahan di sekitar Fatmawati. Bahkan,
sebagian warga masih menolak pembangunan MRT di kawasan itu secara
layang dan menuntut MRT dibangun dengan konsep bawah tanah (subway).
Mengenai
pembiayaan, Pemerintah Pusat telah memutuskan akan menanggung 49 persen
biaya investasi dan 51 persen sisanya ditanggung Pemprov DKI. Pihak
pendonor, Japan International Cooperation Agency (JICA) tidak keberatan
dengan komposisi investasi tersebut.
Sejauh ini, JICA menyetujui
peminjaman dana sebesar Rp 15 triliun untuk proyek MRT di ruas
Depok-Lebak Bulus sampai Sisingamangaraja dengan konsep jalan layang
(luas 9,8 kilometer), dan ruas Senayan sampai Bundaran Hotel Indonesia
(HI) dibangun di bawah tanah dengan luas 5,9 kilometer. Namun, belum ada
persetujuan pinjaman untuk ruas berikutnya dari Bundaran HI ke Kampung
Bandan (8,1 kilometer).
Sumber :
megapolitan.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar