Kursi pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan
Rakyat akhirnya dikuasai Prabowo Subianto dan kroninya melalui perserikatan yang berjuluk Koalisi Merah Putih (KMP).
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) - Jusuf
Kalla (JK) akan menemui banyak ganjalan dari parlemen setelah mereka dilantik
20 Oktober 2014.
Ada kecemasan terjadi kebuntuan pemerintahan akibat
konflik pemerintah dengan DPR yang dikuasai Prabowo dan kroninya.
Sistem pemerintahan presidensial yang dipilih Indonesia memang
memungkinkan terjadinya kebuntuan semacam itu.
Sejak tahun 2004, Indonesia menerapkan sistem pemerintahan
presidensial murni, yang ditandai dengan dilakukannya pemilihan presiden
secara langsung. Sebelum itu, presiden dipilih MPR atau tidak dipilih
langsung oleh rakyat.
Salah satu ciri sistem presidensial ialah keterpisahan antara lembaga
eksekutif dan legislatif. Keduanya sama-sama dipilih langsung oleh
rakyat dan tidak bisa saling menjatuhkan.
Presiden tak bisa membubarkan parlemen. Sebaliknya, DPR juga tidak
bisa langsung memecat Presiden. Pemakzulan memang dapat dinisiasi oleh
DPR, tetapi proses selanjutnya masih panjang dan rumit karena harus
melibatkan Mahkamah Konstitusi untuk kemudian dibawa ke dalam sidang
MPR.
Keterpisahan eksekutif dan legislatif dalam sistem presidensial
memunculkan kritik terhadap sistem pemerintahan itu. Kebuntuan yang
mungkin terjadi akibat konflik berlarut-larut antara eksekutif dan
parlemen dikhawatirkan dapat menghancurkan demokrasi. Kegagalan sistem
presidensial di negara-negara Amerika Latin, seperti Brasil dan
Argentina, pada 1960-an dan 1970-an, sering dijadikan alasan keberatan
terhadap penerapan sistem tersebut.
Dalam sistem pemerintahan parlementer, perdana menteri sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan bisa diberhentikan lewat prosedur yang
lebih mudah ketimbang presiden di sistem presidensial.
Persaingan
Pada 2004, pemilihan pimpinan DPR juga diwarnai aroma persaingan
sisa-sisa pilpres. Ketika itu, koalisi pendukung capres-cawapres yang
kalah, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, berhasil merebut posisi
pimpinan DPR dengan Agung Laksono (Partai Golkar) menjadi Ketua DPR.
Namun, presiden-wakil presiden terpilih waktu itu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Jusuf Kalla (JK) berhasil menarik satu
per satu kekuatan koalisi pendukung Mega-Hasyim. Kubu yang berseberangan
dengan SBY-JK pun menjadi tidak solid lagi.
Saat itu, akhirnya tinggal PDI-P yang tersisa tanpa perwakilan di
pemerintahan SBY-JK. Keberhasilan JK menjadi Ketua Umum Partai Golkar
ikut membantu memperkuat posisi pemerintah. Selama 2004-2009, meski
tetap menghadapi sejumlah ganjalan, pemerintahan SBY-JK dapat berjalan
dengan selamat hingga akhir masa tugas.
Pada 2009, posisi pimpinan DPR dikuasai kubu pendukung presiden dan
wakil presiden terpilih SBY-Boediono. Aburizal Bakrie yang menjadi Ketua
Umum Partai Golkar menggantikan JK membawa partainya untuk mendukung
SBY-Boediono, meski saat Pilpres 2009 secara resmi Golkar mendukung
JK-Wiranto dalam Pilpres 2009.
SBY-Boediono juga memberikan kursi menteri kepada sejumlah kader partai pendukung mereka.
Terulang
Situasi saat ini mirip tahun 2004. Pimpinan DPR dikuasai oleh kubu
yang berseberangan dengan presiden-wakil presiden terpilih.
Perbedaannya, pada 2004, SBY-JK akhirnya berhasil mengurangi kekuatan
koalisi partai politik yang berseberangan dengan mereka. Sementara itu,
KMP masih terlihat solid.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang di pilpres lalu bergabung
dengan KMP, ketika pemilihan MPR, memang bergabung dengan Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) yang ketika pilpres mendukung Jokowi-JK. Namun,
sampai saat ini belum ada kepastian apakah PPP resmi bergabung dengan
KIH atau tetap di KMP. Meski PPP bergabung ke KIH, juga belum dapat
dipastikan kondisi itu akan membuat KMP lemah.
Sejarah politik Indonesia di era Reformasi menunjukkan, tawaran
posisi menteri, meski tidak selalu, dapat membuat partai politik
berpindah posisi. Namun, hingga saat ini belum ada kepastian apakah
Jokowi-JK akan menggunakan strategi menawarkan kursi menteri tersebut
atau tidak.
Padahal, menambah kekuatan koalisi partai pendukung di parlemen
menjadi salah salah langkah yang dapat dilakukan Jokowi-JK untuk
mengurangi potensi kebuntuan pada pemerintahannya nanti, mengingat
posisi pimpinan MPR dan DPR telah dikuasai KMP. Langkah Presiden
menggunakan pendekatan koalisi dalam relasinya dengan legislatif bisa
mengurangi peluang terjadinya kebuntuan dalam sistem presidensial
multipartai (Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di
Indonesia).
Cara lain untuk mencegah kebuntuan pemerintahan adalah dengan menjaga
komunikasi intensif antara pemerintah dan parlemen. Pertemuan rutin
secara formal dan informal perlu selalu dijalankan oleh kedua belah
pihak.
Kegagalan komunikasi dan kerja sama antara parlemen dan pemerintah
dapat menjadi awal dari kebuntuan pemerintahan. Jika dibiarkan, kondisi
ini akan mengganggu pelaksanaan program-program untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pembangunan demokrasi pun bakal terhambat dan
Indonesia berpotensi menjadi contoh negara yang kurang berhasil
menerapkan demokrasi. Kita tentu menginginkan hal itu tidak terjadi. [indonesiamedia]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar